[:id]Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (Sind FIB UNEJ), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember (FKIP UMJ), dan Kelompok Riset Tradisi Lisan dan Kearifan Lokal (KeRis TERKELOK) usai menyelenggarakan Kuliah Pakar dengan tajuk NGONTRAS#3 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-3) pada Sabtu (16/10).
Diselenggarakan via Zoom Meeting, Kuliah Pakar ini mengangkat tema “Drama Indonesia Zaman Jepang”, dengan menghadirkan pembicara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang sekaligus dosen tamu di Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), Tokyo, Jepang, Dr. Cahyaningrum Dewojati, M.Hum., dan dimoderatori oleh anggota HISKI Jember, Dra. Titik Maslikatin, M.Hum.
Sebelum membuka acara, dalam sambutannya, Dekan FKIP UMJ, Dr. Kukuh Munandar, M.Kes., menyampaikan bahwa forum kuliah pakar dengan tema “Drama Indonesia Zaman Jepang” ini cukup istimewa karena dipaparkan oleh pembicara yang presentasi langsung dari Tokyo, Jepang. Semoga kita dapat meresapi dan mengamalkan ilmu yang dipaparkan oleh pembicara. Masa pendudukan Jepang merupakan bagian penting dari perjalanan sejarah sastra Indonesia. Dengan forum semacam ini, diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap kajian-kajian sastra. “Ini sangat penting. Tetapi mohon maaf, pada zaman pendudukan Jepang tersebut, saya belum lahir,” kata Kukuh.
Di sela-sela memberi sambutan, Kukuh juga melontarkan beberapa pantun untuk memeriahkan acara. “Buah sukun buah kenari, yang rukun akan happy. Buah kenari daun luntas, yang happy ikut NGONTRAS. Batang kelapa namanya glugu, glugu yang baik dari praju. Mari kawan kita bersatu, menggapai harapan kesusastraan maju,” kata Kukuh.
Dalam presentasi Kuliah pakar, Cahyaningrum menjelaskan bahwa karya sastra pada zaman Jepang, terutama drama, cukup penting dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia. Karya drama menjadi bagian penting sebagai sarana propaganda politik Jepang. Drama pada masa itu menjadi media dalam merekam jejak sejarah dan pergulatan ideologi, bahkan merekam propaganda sebagai strategi budaya politik Jepang.
Cahyaningrum juga menyebutkan bahwa pada masa pendudukan Jepang, pemerintah Jepang mendatangkan para seniman, budayawan, sastrawan, sutradara, kartunis, narator film, ke Indonesia untuk mendukung propaganda Jepang. Mereka punya posisi penting dalam kepengurusan di Keimin Bunka Shidosho atau lembaga Pusat Kebudayaan Jepang. Mereka mengontrol, mengawasi, memproduksi, memesan, menyensor, menyebarkan berbagai karya dalam media cetak, termasuk tulisan di koran, majalah, buku-buku karya sastra, drama, film, poster, dan lain-lain. “Keimin Bunka Shidosho ini dibentuk untuk mendukung program Pusat Propaganda atau Sendenbu, di bawah pengawasan militer Jepang, menciptakan karya sastra,” kata Cahyaningrum.
Cahyaningrum juga memaparkan bahwa mahasiswa Jepang saat ini, atau generasi muda Jepang, pada umumnya tidak memahami kondisi kekejaman Jepang pada masa Perang Dunia II, termasuk kekejaman Jepang terhadap Indonesia. Tidak ada dalam buku sejarah di SMP atau SMA di Jepang yang menyebutkan tentang penjajahan Jepang. Sembilan puluh persen mahasiswa Jepang tidak tahu kondisi sejarah Jepang dan kekejamannya terhadap Indonesia. Hal ini dikarenakan pemerintah Jepang berusaha untuk menyembunyikan sejarah kelam tersebut. “Kondisi seperti ini sangat miris. Generasi muda tidak mengetahui sejarah kelam bangsanya. Ini memprihatinkan. Tetapi itulah yang terjadi,” jelas Cahyaningrum.
Menurut Cahyaningrum, peristiwa pendudukan atau penjajahan Jepang merupakan luka lama. Mereka menganggap bahwa penjajahan merupakan aib, sehingga tidak perlu diketahui oleh generasi muda Jepang. Sebaliknya, justru yang ditekankan bahwa Jepang merupakan victim, korban peperangan. Mereka menempatkan diri sebagai korban, bukan sebagai penjajah. “Itu hak mereka. Memposisikan diri sebagai victim. Korban perang. Bukan Penjajah. Itu hak mereka,” kata Cahyaningrum.
Dihubungi menjelang acara, Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum., Ketua HISKI Komisariat Jember, yang juga dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB UNEJ, menyampaikan bahwa Kuliah Pakar diharapkan mampu membuka atmosfer akademik warga kampus, termasuk saling berbagi dan mendiskusikan kajian-kajian terbaru tentang drama Indonesia. “Semoga forum ini menjadi ajang dialog yang saling menginspirasi,” kata Heru.
Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara audiens dan pembicara. Ada sekitar 320-an peserta dari berbagai latar belakang, baik dosen maupun mahasiswa, yang masih menyimak sampai akhir diskusi.[:]