[:id]Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Komisariat Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (Sind FIB UNEJ), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (FTIK UIN KHAS Jember), dan Kelompok Riset Pemaknaan Sosiologi Sastra (KeRis MAGISTRA), usai selenggarakan Webinar NGONTRAS#5 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-5) dengan tema Tradisi Lisan sebagai Media Pembelajaran, Sabtu (4/12/2021).
Pembicara dalam acara daring melalui zoom meeting tersebut adalah Dr. Gres Grasia Azmin, M.Si. dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta (FBS UNJ) dan Dr. Sukatman, M.Pd., dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember (FKIP UNEJ), dengan moderator Isnadi, S.S., M.Pd., anggota HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen di UIN KHAS Jember, dan pewara Dra. Supiastutik, M.Pd., anggota HISKI Komisariat Jember dan dosen FIB UNEJ.
Dalam sambutannya, Dekan FTIK UIN KHAS Jember, Prof. Dr. Mukni’ah, M.Pd.I., menyampaikan bahwa pembelajaran masa pandemi semacam ini mengandalkan media elektronik dengan jaringan internet. Semua pihak dituntut untuk melek teknologi. Apalagi di Perguruan Tinggi. Dengan melek teknologi, dapat melaksanakan pembelajaran secara fleksibel, baik secara luring maupun daring.
Mukni’ah juga menjelaskan bahwa sesuai tema webinar, tradisi lisan sebagai bagian dari kebudayaan cukup penting untuk media pembelajaran. Tradisi lisan era sekarang juga memanfaatkan teknologi, sehingga kita harus familier dengan teknologi. “FTIK UIN KHAS Jember mendukung kegiatan HISKI Komisariat Jember, baik kegiatan rutin bulanan berupa webinar NGONTRAS, maupun kegiatan-kegiatan akademik lainnya,” kata Mukni’ah.
Gres Grasia Azmin, pembicara pertama, menjelaskan bahwa tradisi lisan dalam genre silat bukan sekedar ciat-ciat semata. Silat bukanlah seni bela diri yang hanya mengandalkan otot semata, tetapi di dalamnya mengandung empat unsur, yakni bela diri, olah raga, mental spiritual, dan budaya. Keempat unsur tersebut menyatu di dalam silat, sehingga menunjukkan produk budaya yang kompleks. “Silat bukan hanya ciat-ciat alias gedebag-gedebug semata. Tapi kental dengan unsur spiritual dan budaya,” kata Gres yang akrab dipanggil Ige.
Gres juga mengungkapkan bahwa silat memiliki fungsi pembelajaran yang kompleks dan lengkap. Perempuan yang sejak awal karier akademisnya fokus di Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) ini, menyebutkan bahwa silat menjadi media pendidikan multikultur, pendidikan katakter, pendidikan seni, pendidikan agama, pendidikan jasmani, dan pendidikan sejarah atau kepahlawanan. “Pendidikan multikultur dapat dicermati dari latar belakang embrio silat, yang sebagian versi berasal dari keturunan Tionghoa. Jadi, perpaduan antara budaya Tionghoa dan budaya Betawi,” jelas Gres.
Gres juga menjelaskan bahwa tradisi lisan dalam pendidikan bukanlah pembelajaran alternatif, tetapi dialah pendidikan itu sendiri. Perkembangan zaman menyebabkan tradisi lisan juga berkembang. Pengelolaan tradisi lisan sebagai media pembelajaran untuk pendidikan formal dan nonformal, harus dilakukan dengan pelibatan aktif pelaku tradisi itu sendiri. “Pelaku tradisi harus menjadi pelaku pembelajaran. Tidak bisa tidak,” tandas Gres.
Sukatman, pembicara kedua, memaparkan tentang Mandalungan, dengan membahasnya dari aspek tradisi lisan, toponimi, dan batu purba Nusantara untuk pengembangan industri wisata dan sumber belajar terpadu. Dalam awal pembahasannya, Sukatman memaparkan tentang harapan dan kenyataan terkait Mandalungan. Disebutkan bahwa idealnya narasi budaya Mandalungan merujuk waktu atau zaman yang definitif dan mapan. Narasi budaya lisan, seperti cerita, mitologi, dan tradisi pada komunitas Mandalungan belum tertata secara historis-kritis.
Di sisi lain, Sukatman juga mengungkapkan bahwa ego sektoral keilmuan (antardisiplin ilmu) dan ego politik sektoral masih terasa, walaupun sudah mulai mencair. Dampaknya, narasi budaya Mandalungan menjadi gamang, masih kira-kira, kurang komprehensif, dan “belum kritis”. “Untuk itu, perlu kajian Mandalungan secara inter-multidisipliner, kritis, dekonstruktif, dan runtut waktu. Itu harus segera kita mulai,” jelas Sukatman.
Sukatman juga menjelaskan asal mula Mandalungan. Disebutkannya bahwa Mandalungan, atau manu handha lunguh hana, menandai adanya (hana) manusia Tangga (manu handha) duduk (lungguh) sebagai raja di Nusantara. Artinya, komunitas Mandalungan menandai adanya Raja Tangga duduk sebagai raja di Nusantara. Tradisi pembuatan tangga di rumah bagian depan menjadi simbol Raja Tangga. Tradisi tersebut memunculkan istilah “rumah tangga” dalam budaya Nusantara. Rumah tangga bermakna setara dengan keluarga. Kemudian muncul kata tetangga (tangga-tangga) yang bermakna ‘rumah sebelah’. “Munculnya budaya teras, atau tanah berundak, atau beranda, menandai adanya Raja Tangga. Hal ini terbukti dari munculnya tradisi punden berundak,” kata Sukatman.
Terkait Mandalungan, Sukatman juga menjelaskan bahwa Mandalungan purba merupakan nenek moyang suku Using (huni singa) atau Raja Singa Kuna. Dinastinya dilanjutkan oleh Raja Sela Mahesa Maya, yang ditandai ritual Kebo-keboan di Banyuwangi. Dalam perkembangan kini, nama Mandalungan cenderung diartikan berbeda dari Using. “Mandalungan merupakan pertemuan antarsuku yang melahirkan budaya hibrida,” jelas Sukatman.
Acara yang dihadiri sekitar 350-an peserta berlanjut dengan diskusi interaktif hingga acara berakhir, dan ditutup dengan pantun oleh pewara: Buah pisang bertanda-tandan, segera matang dengan diperam. Jangan lupa bulan depan, akan datang NGONTRAS keenam.[:]