HISKI Jember Selenggarakan Webinar NGONTRAS#4, Mengungkap Fenomena Kuasa Bahasa

Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ), Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (Sind FIB UNEJ), Kelompok Riset Kajian Linguistik Interdisipliner dan Terapan (KeRis KALITAN), dan Asosiasi Tradisi Lisan Komisariat Jember (ATL Jember), usai menyelenggarakan Webinar Nasional dengan tajuk NGONTRAS#4 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-4), Sabtu (6/11/2021).

Dengan tema “Kuasa Bahasa,” Webinar yang diselenggarakan via Zoom Meeting ini mengundang dua profesor sebagai pembicara, yakni Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, M.A., dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM), Yogyakarta, dan Prof. Dr. Bambang Wibisono, M.Pd., dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ), dengan moderator Dr. M. Ilham, M.Si., dosen FIB UNEJ yang sekaligus ketua ATL Jember, dan pewara Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum., dosen FIB UNEJ.

Dekan FIB UNEJ, Prof. Dr. Sukarno, M.Litt., dalam sambutannya mengungkapkan bahwa bahasa bukan sekedar sarana komunikasi, melainkan suatu bentuk tindakan, sehingga mengandung konsekuensi logis dan konsekuensi hukum. Bahasa merupakan instrumen untuk melakukan tindakan sekaligus mengandung instrumen kekuasaan. Dikatakannya bahwa bahasa dipengaruhi oleh kekuasaan si pengguna bahasa tersebut. Oleh karena itu, power memiliki peranan yang sangat penting.

Sukarno juga menjelaskan  bahwa dengan power, maka akan terjadi suatu dominasi, sehingga akan berimplikasi pada ketidaksetaraan. Menurut profesor yang mendalami bidang kajian systemic functional linguistics (SFL) ini, di balik bahasa dapat diungkap kekuasaan-kekuasaan yang tersembunyi. “Dengan berbahasa, kita dapat mempengaruhi mitra tutur. Di balik bahasa dapat diungkap ketimpangan sosial, ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, dan bahkan penindasan,” tandas Sukarno.

Dalam presentasinya, Putu Wijana sebagai pembicara pertama, menjelaskan bahwa manusia memiliki beberapa julukan, di antaranya adalah homo simbolikum, homo loquen, homo sapien, dan homo luden. Disebut homo luden karena manusia merupakan makhluk yang bermain. Penggunaan bahasa adalah permainan. Orang menciptakan puisi, membuat karya ilmiah, atau menggunakan mantra, merupakan permainan bahasa. Permainan tersebut berguna untuk mendewasakan manusia dan membuat manusia menjadi kreatif. “Orang membuat puisi, itu permainan. Tetapi harus mengikuti aturan dalam perpuisian. Orang membaca mantra-mantra, itu juga permainan. Harus sesuai dengan konvensi masyarakat yang mempercayai mantra,” kata Putu.

Putu mencontohkan permainan bahasa yang terkait dengan sinkretisme, yakni fenomena perpaduan antara agama dan kebudayaan. Diungkapkannya bahwa Kalimasada merupakan senjata ampuh Darma Wangsa, untuk membunuh Salya. Senjata tersebut berupa buku. Kalimasada diambil dari bahasa Sansekerta, sehingga tidak ada hubungannya dengan Islam. Banyak dalang wayang kulit yang menghubungkan Jamus Kalimasada dengan “kalimat sahadat”. Kalimat sahadat diucapkan untuk menunjukkan keimanan dalam agama Islam, dengan menyebut Tuhan dan Nabi. Padahal, menurut Putu, sebenarnya tidak ada hubungannya. “Ini merupakan penggunaan bahasa di masyarakat, dengan tujuan tertentu, yakni untuk mengukuhkan kepercayaan seseorang terhadap ajaran agama. Padahal sebenarnya Jamus Kalimasada dengan kalimat sahadat itu tidak ada hubungannya. Tetapi biarlah, ini fenomena kebahasaan di masyarakat, dengan dasar mencocok-cocokkan,” kata Putu.

Putu juga mencontohkan wujud kuasa bahasa yang ada di masyarakat, yang secara langsung dapat dirasakan atau diketahui dengan simpel. Contohnya, mahasiswa tidak mungkin memanggil dosennya dengan menyebutkan namanya secara langsung, harus diawali dengan sebutan bapak atau ibu. Tetapi kalau dosen, bisa memanggil nama mahasiswa secara langsung. Ini bentuk dan wujud kuasa bahasa, yakni kuasa bahasa yang terkait dengan struktur sosial. “Dosen bisa menyuruh mahasiswa untuk mengerjakan tugas, harus dikumpulkan dua jam berikutnya. Tapi mahasiswa tidak mungkin berani menolak. Ini kuasa bahasa,” tandas Putu.

Bambang Wibisono, pembicara kedua, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara kuasa bahasa dan kuasa dalam bahasa. Kuasa bahasa merupakan kesanggupan atau kemampuan yang dapat dilakukan oleh bahasa, sedangkan kuasa dalam bahasa merupakan suatu kekuasaan yang tercermin dalam bahasa. Di dalam bahasa ada daya atau kekuatan. Kekuatan itu adalah daya untuk menyampaikan informasi, dan daya untuk mengharap, bahkan memaksa penutur atau pendengarnya melakukan tindakan tertentu sesuai dengan yang dituturkan. “Kuasa bahasa sudah ada sejak dulu kala, sejak manusia ada,” kata Bambang.

Bambang juga memaparkan bahwa bahasa sebagai sistem kode, di samping berdaya sebagai penyampai informasi, dapat memaksa penggunannya untuk melakukan tindakan tertentu sesuai dengan yang dikatakan. Bahasa adalah tindakan yang memiliki kuasa atau daya, meskipun kekuatan dan pengaruh penggunaan bahasa sangat bergantung pada penuturnya. Disampaikannya bahwa ucapan tidak hanya berfungsi untuk menginformasikan tentang sesuatu, tetapi memiliki daya untuk memaksa pihak yang mengucapkan dan yang mendengarkan untuk melakukan tindakan tertentu. “Ucapan bukanlah sekedar informasi, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan,” jelas Bambang.

Bambang mencontohkan, ucapan yang dikemukakan oleh seseorang di depan panitera atau altar pernikahan, ‘Saya siap melakukan …’, tidak hanya untuk melaporkan adanya peristiwa pernikahan. Pihak yang mengucapkannya harus melakukan tindakan tertentu, yaitu tindakan untuk memperlakukan seseorang yang dinikahi sebagai seorang istri atau pasangan hidupnya dengan segala konsekuensinya. “Jadi, ucapan di dalam pernikahan bukan sekedar pesan atau informasi, tetapi harus dilanjutkan dengan tindakan, yakni tindakan sebagai suami-istri,” kata Bambang.

Keterangan yang disampaikan menjelang dimulainya acara, Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum., Ketua HISKI Komisariat Jember, yang juga dosen FIB UNEJ, menyatakan bahwa NGONTRAS#4 ini sengaja membahas Kuasa Bahasa karena momentumnya masih terkait dengan peringatan Bulan Bahasa. “Semoga forum NGONTRAS#4 mampu menjadi ajang silaturahmi untuk saling berbagi informasi akademis dan perspektif kajian linguistik,” kata Heru.

Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara audiens dan pembicara, dengan sekitar 450-an peserta yang tetap setia menyimak hingga acara berakhir.

Related Posts

Leave a Reply