[:id]
Literasi sastra, pembelajaran sastra, pengajaran sastra, pendidikan sastra, atau sederet istilah lain yang senada, perlu berinovasi dengan menekankan strategi yang merdeka. Dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, pembelajaran sastra perlu dilaksanakan secara diferensiasi, dengan menekankan konten, proses, dan produk. Untuk merayakan strategi yang merdeka dan kontekstual, juga perlu diterapkan pembelajaran secara kolaborasi.
Demikian rangkuman Webinar NGONTRAS#25, yang dilaksanakan atas kerja sama Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ), Jurnal Semiotika, Kelompok Riset Pertelaahan Sastra Konteks Budaya (PERSADA), Kelompok Riset Tradisi Lisan dan Kearifan Lokal (TERKELOK), dan Kelompok Riset Media, Budaya, & Gender (MEDAGEN), Sabtu (26/8/2023).
Pembicara yang menjadi narasumber adalah Mohammad Hairul, S.Pd., M.Pd. (Kepala Sekolah SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, & Pengajar Praktik Guru Penggerak) dan Nurul Ludfia Rochmah, S.Pd., M.Pd. (MAN 1 Banyuwangi). Webinar dipandu oleh moderator Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum., anggota HISKI Jember sekaligus dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB UNEJ, pewara Fatmawati dan host Riski ‘Riri’ Rosalinda, keduanya mahasiswa FIB UNEJ. Kegiatan webinar dibuka secara resmi oleh Ketua Jurusan Sastra Indonesia FIB UNEJ, Dr. Agustina Dewi Setyari, M.Hum.
Dalam sambutannya, Agustina Dewi Setyari menyampaikan apresiasinya atas kegiatan webinar hari ini yang mendiskusikan literasi sastra di sekolah. Dikatakan bahwa dalam dinamikanya perlu adanya adaptasi dan inovasi dalam literasi sastra dengan Kurikulum Merdeka. Hal tersebut tidak mudah, sehingga menjadi tanggung jawab bersama untuk mengembangkannya. Oleh karena itu, menurutnya, perlu adanya strategi yang jitu untuk mempraktikkan Kurikulum Merdeka secara optimal. “Hal ini menjadi tantangan bagi guru dan kita semua, sehingga pembelajaran sastra dapat dilakukan secara optimal dan ada hal-hal menarik yang ditawarkan kepada siswa,” jelas Dewi.
Mohammad Hairul, narasumber pertama, yang memaparkan materi berjudul “Belajar Merdeka Mengajarkan Sastra”, mengawali paparannya dengan menekankan konsep belajar merdeka, yakni pendidik memiliki kemerdekaan dalam membangun jiwa siswa. Lelaki kelahiran Sumenep ini menjelaskan bahwa Kurikulum Merdeka memiliki perbedaan signifikan dari kurikulum sebelumnya, yakni lebih sederhana dan mendalam, lebih merdeka, serta lebih relevan dan interaktif. Dijelaskan pula, terkait dengan kesiapan siswa, perlu adanya asesmen diagnostik (baik kognitif maupun nonkognitif) dan kedekatan emosional.
Pada bagian lain, Hairul menekankan pentingnya pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran tersebut dapat memanfaatkan berbagai metode pengajaran dengan memperhatikan kebutuhan individual setiap siswa, termasuk menekankan konten, proses, dan produk.Disampaikan bahwa kebutuhan siswa cukup beragam sesuai kebutuhan masing-masing individu, hal ini yang perlu diperhatikan dan dipenuhi dalam konteks pembelajaran berdiferensiasi.“Pembelajaran berdiferensiasi juga perlu memperhatikan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam pemberian Tuhan kepada setiap individu berbeda-beda, beragam. Kodrat zaman terkait dengan perkembangan masa depan, juga perlu diantisipasi dalam pembelajaran diferensiasi,” jelas Hairul, Fasilitator Nasional Organisasi Penggerak yang kini sedangan studi S-3 di Unesa.
Pada bagian lain, Hairul menjelaskan “wujud ketersastraan”, yakni pentingnya dalam memilih bentuk/form (sengaja memilih bentuk sastra tertentu), keterungkapan/ekspresi (ada rasa yang dituangkan), dan representasi (ada jeda dan pengendapan, berbeda dari berita). Diungkapkan bahwa dalam pembelajaran kolaboratif, diutamakan berbasis projek dengan membuka ruang diskusi dan merdeka dalam melakukan interpretasi. “Dalam konteks ini, yang terpenting bukan menemukan makna, melainkan memberikan makna. Interpretasi bukanlah kebenaran tunggal,” tegas Hairul, yang telah menulis buku Bukan Guru Kaleng-Kaleng (2020).
Dalam merespons audiens tentang kemungkinan repotnya menuruti setiap individu siswa, Hairul menjelaskan bahwa berdasarkan pengalamannya, di antaranya mendampingi siswa dalam projek untuk mengeksplorasi budaya lokal, maka siswa diterjunkan ke lapangan untuk mengeksplorasi cerita rakyat, mitos, tradisi, ritual, dan berbagai khazanah yang ada. Tindak lanjut dari kegiatan tersebut, selain dituliskan, juga dilakukan pentas dalam program kreasi siswa. “Dalam mementaskan itu butuh banyak personil. Dalam konteks itulah, maka keterlibatan siswa dalam bersastra yang bermanfaat itu, semua mengalaminya. Jadi, semua terlibat, sesuai potensi dan kemampuan masing-masing,” jelas Hairul, yang juga Instruktur Nasional Literasi Baca-Tulis.
Nurul Ludfia Rochmah, narasumber kedua, yang memaparkan materi berjudul “Literasi Sastra di Era Kurikulum Merdeka”, menekankan pentingnya implementasi Kurikulum Merdeka. Meskipun demikian, dipaparkan juga secara sekilas riwayat kurikulum sebelumnya, baik Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) maupun Kurikulum 2013.Perempuan kelahiran Banyuwangi ini menjelaskan bahwa dalam konteks Kurikulum Merdeka, proses kegiatan belajar sastra di sekolah/madrasah perlu dikembangkan dengan sentuhan baru sesuai jiwa dan semangat Kurikulum Merdeka.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam Kurikulum Merdeka, guru diberi keleluasaan menuntaskan kegiatan belajar berdasarkan kebutuhan siswa. Diungkapkan pula bahwa guru harus memperhatikan kemampuan masing-masing siswanya yang beragam, dalam pola diferensiasi pembelajaran. Selain adanya penyederhanaan administrasi untuk guru, juga perlu adanya kolaborasi antarguru mata pelajaran yang sama, guna menunjang penanaman karakter dan keterampilan hidup.
Pada bagian lain, Nurul Ludfia menekankan pentingnya pendampingan belajar sastra. Dijelaskan bahwa dibutuhkan kreativitas guru dalam mengembangkan strategi, skenario, dan materi belajar dengan panduan capaian pembelajaran. Untuk itu, diperlukan diskusi dan kolaborasi. Di sisi lain, pendampingan kepada siswa secara individu sangat diperlukan, bukan hanya pada dimensi kognitif, melainkan juga pada proses kreatif. “Pengalaman dalam mengajarkan penulisan cerpen, saya mendampingi, mulai dari awal, hingga masing-masing siswa setor tulisan, kemudian saya koreksi dan komentari, dilanjutkan siswa merevisi, dan kemudian kita terbitkan bersama,” jelas Nurul Ludfia, yang juga Reviewer Tim Penyusun Asesmen Kompetensi Madrasah Indonesia (2022-2023) dan Instruktur Inti Nasional AKMI Kemenag RI (2023).
Dalam merespons audiens tentang kekhawatiran lemahnya critical thinking karena pembelajaran lebih menekankan proses kreatif, Nurul Ludfia menepisnya. Dijelaskannya bahwa Kurikulum Merdeka tidak semata-mata menekankan proses kreatif atau proses dan produk, tetapi juga konten tentang apresiasi dan kritik terhadap karya sastra. Ditambahkannya bahwa proses untuk menulis atau menghasilkan karya itu sangat penting, tetapi berpikir kritis dalam mengapresiasi karya juga tidak kalah penting. “Pengalaman saya, ketika menyusun asesmen literasi membaca, ada elemen yang mengukur apresiasi siswa berupa kritik atau penilaian terhadap teks sastra. Jadi, ada elemen kritik terhadap karya sastra dengan dasar keilmuan yang memadai,” jelas Nurul Ludfia, yang aktif di Komnasdik Kabupaten Banyuwangi, dengan tulisan buku terbaru Belajar Moto Kece Pakai Hape (Kumpulan Cerita, 2022).
Webinar NGONTRAS#25 yang dihadiri 250-an partisipan, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Sesi penyerahan sertifikat secara simbolis dilakukan oleh Dra. Titik Maslikatin, M.Hum. kepada kedua narasumber.
Moderator dan pewara menutup acara dengan pantun. Menyusun kata merangkai puisi, ternyata kesulitan dalam pemahaman. Terima kasih untuk pemateri, sampai jumpa di NGONTRAS#26. Mahasiswa mendapat tugas puisi, harus dibuat sebanyak empat. Terima kasih untuk pemateri, telah berdiskusi dengan hangat.
Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.***
[:]