GELIAT PREDATORIK
Masyarakat majemuk terdiri atas dua atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan namun tanpa membaur, dalam satu unit masyarakat. Indonesia sebagai negara besar, berpotensi besar, juga menyimpan tantangan besar untuk mewujudkan kesatuan wilayah, kesatuan politik, dan kesatuan budaya. Oleh karena itu, sejak awal berdirinya Indonesia mencanangkan semangat bhinneka tunggal ika yang mengakui adanya kesamaan dan kesejajaran antarelemen atau tatanan sosial yang membaur dalam suatu unit masyarakat Indonesia. Bhinneka tunggal ika merupakan semangat pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman kelompok dan pandangan, termasuk kelompok minoritas.
Kesatuan antarelemen tersebut saat ini dikembangkan sampai pada tataran regional, seperti yang tampak pada forum pasar bebas Asia tahun 2015. Pernyataan Friedman (2005) bahwa dunia ini bukan bulat tetapi sebenarnya rata, menyebabkan manusia berkesempatan bermain di dalam suatu playing field yang sama. Semua itu menjadi tantangan bangsa dalam mempertahankan konsep negara bangsa (nation-state). Konstruksi masyarakat multikultural di Asia Tenggara berkaitan dengan dialektika sejarah dan arus migrasi yang terjadi di wilayah Asia. Hal tersebut meninggalkan jejak-jejak peninggalan yang tersebar di negara-negara Asia.
Ruang-ruang tersebut mengharuskan bangsa Indonesia semakin menghargai kebhinnekaan, memiliki daya tahan ekonomi, politik, dan budaya untuk menghadapi pasar bebas Asia yang sudah berada di “ambang pintu”. Selain itu, perlu terus diupayakan agar bangsa Indonesia sebagai warga dunia memiliki berbagai andalan dalam berbagai bidang kehidupan untuk bersaing pada tataran regional dan global. Jika tidak memiliki andalan industri dikhawatirkan akan terjadi relasi “predatorik” yang semakin besar dan menempatkan Indonesia sebagai sasaran serbuan negara-negara “predator”. Salah satu penyebabnya, pemerintah mengabaikan pasal 33 UUD 1945 dan membiarkan terdikte pasar-bebas. Penandatanganan AC-FTA (Asean China-tidak seimbang. Relasi predatorik juga dipicu oleh kecenderungan masyarakan yang memiliki semangat konsumtif dan hedonik.
Sebagai negara-bangsa, Indonesia memiliki kearifan-kearifan yang dihidupi oleh setiap komunitas masyarakat pemiliknya. Pada tataran regional dan global, kearifan-kearifan masyarakat tersebut perlu ditata dan diinterpretasi secara komprehensif, dikonfrontasikan, disejajarkan, dan dibandingkan dengan kearifan universal. Akio Morita pendiri perusahaan Sony menganjurkan adanya gerakan glokalisme, yaitu Think Globally, Act Locally. Globalisasi sebagai proses alami tidak dapat ditolak dan dihindari. Melalui proses alami saat ini negara-negara di dunia memiliki ruang yang terbuka secara global. Ohmae (1991) menyebutnya dengan istilah The Borderless World ‘dunia tanpa tapal batas’. Hal tersebut memungkinkan semakin menyatunya dunia dan berlakunya logika waktu pendek. Peristiwa yang terjadi di belahan dunia dalam waktu yang sama dapat disaksikan di belahan dunia yang lain. Peristiwa olah raga, huru-hara, pesta, bencana alam, dan aneka perhelatan dunia dapat disaksikan oleh masyarakat dunia secara bersamaan. Hal tersebut memengaruhi mekanisme kerja, produktivitas, dan semakin beragamnya kebutuhan sebagai simbol kelas dan gengsi seseorang yang cenderung bersifat konsumtif dan hedonis.
Pada tataran global, nilai kearifan lokal berpotensi bersinergi dengan nilai-nilai universal yang modern. Persoalan pembangunan kebudayaan berkaitan dengan tantangan globalisasi dan penguatan ketahanan budaya masyarakat yang sering mengalami stagnasi. Globalisasi sebagai proses alami tidak dapat dihindari, akan tetapi harus diantisipasi melalui revitalisasi kebudayaan. Revitalisasi kebudayaan merupakan proses, upaya, dan tindakan menggiatkan atau menghidupkan kembali kebudayaan suatu masyarakat. Proses menghidupkan kembali direalisasi dalam kegiatan konservasi, pewarisan, pengembangan dan penguatan jatidiri. Penguatan jadidiri masyarakat berpotensi dilakukan melalui internalisasi nilai-nilai tradisi, kesejarahan, seni, religi, pengetahuan, dan teknologi. Revitalisasi kebudayaan juga merupakan kegiatan objektifikasi, pembingkaian, dan komodifikasi yang melibatkan dan mengembangkan masyarakat pendukungnya.
[button link=”http://sastra.unej.ac.id/the-policy-of-culture-and-development-of-civil-society-under-decentralization-model/” newwindow=”yes”] Hanif Nurcholis[/button]
[button link=”http://sastra.unej.ac.id/pemertahanan-bahasa-jawa-sebagai-simbol-jatidiri-bangsa-di-era-global/” newwindow=”yes”] Farida Nugrahani[/button]
[button link=”http://sastra.unej.ac.id/revitalisasi-budaya-daerah-sebagai-basis-penguatan-pengembangan-industri-kreatif-dalam-era-masyarakat-ekonomi-asean-2015/” newwindow=”yes”] Suyitno YP[/button]
[button link=”http://sastra.unej.ac.id/kebijakan-bahasa-dan-daya-saing-bangsa/” newwindow=”yes”] Nanik Sumarsih[/button]
[button link=”http://sastra.unej.ac.id/pengembangan-sdm-seni-di-masyarakat-dan-industri-pariwisata-nasional/” newwindow=”yes”] Sudartomo Macaryus[/button]
[button link=”http://sastra.unej.ac.id/the-contest-for-market-in-java-during-the-1990s-crisis/” newwindow=”yes”] Nawiyanto[/button]
[button link=”http://sastra.unej.ac.id/otonomi-daerah-dan-praksis-wacana-kebijakan-kebudayaan-studi-kasus-di-banyuwangi/” newwindow=”yes”] Muhammad Hadi Makmur dan Akhmad Taufiq[/button]
[button link=”http://sastra.unej.ac.id/pengembangan-media-pembelajaran-sebagai-strategi-diseminasi-dan-konservasi-keberagaman-seni-tradisi-nusantara/” newwindow=”yes”] Karsono[/button]
[button link=”http://sastra.unej.ac.id/kebijakan-kebudayaan-dan-etnografi-kesenian/” newwindow=”yes”] Novi Anoegrajekti, A. Latief Wiyata, dan Sudartomo Macaryus[/button]