Webinar NGONTRAS#16 HISKI Jember, Bahas Persoalan Sastra Indie hingga Sastra Realisme Magis

Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember (FKIP Unmuh Jember), Jurnal Semiotika, dan Center for English Literature and Culture (CELC), kembali usai gelar Webinar NGONTRAS#16 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-16), bahas sastra sebagai media pembelajaran, mulai persoalan sastra indie hingga sastra realisme magis, Sabtu (26/11/2022).
 Webinar Nasional yang diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting ini menghadirkan narasumber Dr. Yulianeta, M.Pd. (FPBS Universitas Pendidikan Indonesia) dan Dr. Hasan Suaedi, M.Pd. (FKIP Universitas Muhammadiyah Jember), dengan moderator L. Dyah Purwita Wardani S.W.W., S.S., M.A., anggota HISKI Jember sekaligus dosen Sastra Inggris FIB UNEJ, sedangkan pewara Sherin Fardarisa, mahasiswa Sastra Indonesia FIB UNEJ. Kegiatan Webinar dibuka secara resmi oleh Dekan FKIP Universitas Muhammadiyah Jember, Dr. Kukuh Munandar, M.Kes.
Dalam sambutannya, Kukuh menekankan pentingnya sastra karena dinilai dapat membuka wawasan, baik terkait estetika maupun nilai rasa. Diungkapkan pula bahwa sastra dapat menjadi media pembelajaran, baik dilakukan guru maupun dosen. “Sastra menjadi sarana keindahan sekaligus penyeimbang otak kanan dan kiri, sehingga kita tidak cukup mengandalkan logika, tetapi juga nilai rasa,” kata Kukuh.
Dr. Yulianeta, M.Pd., sebagai pembicara pertama, menekankan pentingnya sastra sebagai media pembelajaran. Salah satu genre yang dibicarakannya adalah sastra indie. Sastra indie dikatakannya mengalami perkembangan yang luar biasa. Sastra indie mampu menjadi media pembelajaran yang baik, seiring dengan perkembangan zaman yang pesat.
Meskipun demikian, perempuan kelahiran Sragen ini juga mengungkapkan bahwa sastra indie kadang-kadang dipandang dengan sebelah mata. “Hal ini karena terkait dengan realitas bahwa karya tersebut diterbitkan sendiri dan dibaca oleh kalangan terbatas, atau kadang oleh kalangan sendiri,” kata Yulianeta, yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik FPBS UPI.
Namun, Yulianeta justru memandang secara positif dari sisi kemandirian. Artinya, sastra indie merupakan bukti kemandirian, bahwa kita hidup di era teknologi yang semakin marak dan berkembang sangat  pesat. Kita berada di zaman bahwa mempublikasikan karya begitu  mudah, tapi bukan berarti melupakan kualitas karyanya. Wujudnya bisa dalam bentuk teks atau film. “Karya tersebut dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Tentu diselaraskan dengan usia pembelajar dan tujuan yang hendak dicapai,” kata Yulianeta, yang buku terbarunya berjudul Ideologi Gender dalam Novel Indonesia.
Kemudian Yulianeta menceritakan pengalamannya ketika menyelenggarakan lomba menulis puisi dan cerpen pada masa pandemi. Dalam bayangan panitia, tidak banyak yang ikut menjadi peserta lomba. Namun, ternyata jurstru di luar dugaan, karena yang ikut ribuan. “Artinya, sastra dapat digunakan untuk menjadi media berbagi. Orang yang penat dan prihatin menghadapi pandemi,  mencoba untuk berbagi kebaikan melalui tulisan sastra,” kata Yulianeta.
Yulianeta juga menekankan bahwa sastra indie menjadi cerminan pembangun sikap dan penghargaan pada sebuah proses. Sastra indie itu berani mandiri. Semua penulis besar juga berproses. “Sastra Indie merupakan nafas baru dalam kehidupan sastra Indonesia sekaligus semangat zamannya. Ini menjadi media pembelajaran bersama,” tegas Yulianeta, yang artikel terbarunya dimuat di jurnal Semiotika, Representasi Perempuan dalam Novel-novel Pramoedya Ananta Toer.
Media pembelajaran tentang sastra tidak hanya berlaku untuk anak. Yulianeta juga menjelaskan tentang sastra sebagai media pembelajaran BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing). Dirinya telah memiliki pengalaman dalam pengajaran BIPA. Salah satu sarana yang digunakan adalah dengan membuat inovasi dalam pembelajaran BIPA berbasis budaya yang disusun dalam bentuk website.
Website atau laman tersebut berisi teks cerita rakyat Indonesia yang memiliki pengetahuan tambahan berupa pengetahuan budaya dan pengetahuan pariwisata pada setiap teks cerita rakyat. Laman ini dapat diakses secara luas tanpa terbatas ruang dan waktu. Hal ini menjadi media pembelajaran yang menarik. “Karya sastra pada prinsipnya mengajarkan humanisme universal. Ia menjadi media pembelajaran karena mengajarkan karakter yang baik,” tandas Yulianeta.
Dr. Hasan Suaedi, M.Pd. sebagai pembicara kedua, memaparkan materi dengan menekankan tentang sastra realisme magis sebagai media pembelajaran. Dijelaskannya bahwa pembelajaran sastra realisme magis dapat dilakukan melalui jenis cerita fantasi. Namun, harus mempertimbangkan antara tingkat kognisi siswa dengan tingkat kognisi yang ada di dalam cerita tersebut. “Harus disesuaikan antara tingkat kognisi siswa dengan tingkat kognisi dalam karya yang diajarkan. Kalau tidak, akan mengalami kesulitan,” kata Hasan.
Lelaki kelahiran Situbondo ini kemudian menjelaskan bahwa sastra dapat digunakan untuk membina kognitif anak. Bukan hanya novel, film juga bisa digunakan untuk membina kognitif anak. Bahkan, Hasan menggarisbawahi bahwa upaya untuk meningkatan kognitif anak harus dilakukan sejak dini. Namun, tetap mempertimbangkan kesesuaian tingkat kognitif tersebut.
Meskipun demikian, Hasan mengingatkan adanya problem yang harus diantisipasi. Terkait dengan novel realisme magis, pengarang dewasa dan pengarang anak-anak akan memunculkan tingkat kognitif yang berbeda. Pengarang anak-anak akan menghasilkan karya yang tingkat kognitifnya berdekatan dengan pembaca anak. “Hal ini akan memudahkan anak dalam memahami novel sebagai media pembelajaran,” kata Hasan, yang penelitian terbarunya membahas Linguistik Forensik dalam Media Masa.
Sementara itu, problem yang muncul dalam film, terutama film yang diadaptasi dari novel, pada umumnya kurang memunculkan tingkat realisme magisnya. Oleh karena itu, Hasan berpesan bahwa film hasil adaptasi harus dirancang secara serius agar dapat mengungkapkan tingkat realisme magis yang baik, yang mencerminkan isi novel.
Sebelumnya, pada awal presentasi, Hasan juga menjelaskan konsep realisme magis. Dikatakannya bahwa realisme magis merupakan ruang ketiga. Posisinya berada di ruang antara. “Artinya, realisme magis berada di antara marxisme dan postmodernisme, prakolonial dan pascaindustri, serta humanisme dan kekuasaan,” jelas Hasan, yang publikasi terbarunya berjudul Reading in Content Area Across the Curriculum.
Kunci untuk memahami bekerjanya realisme magis, menurut Hasan, dengan memahami cara naratif dikonstruksi agar tersedia konteks yang realistis bagi peristiwa-peristiwa magis dalam fiksi. Dikatakannya bahwa realisme magis banyak tercermin pada genre sastra anak, film, dan lukisan. “Dalam sastra anak, realisme magis memberi sarana yang sempurna bagi anak-anak untuk menjelajahi dunia, tanpa mengorbankan hubungan dirinya dengan dunia nyata,” tandas Hasan.
Acara NGONTRAS#16 yang diikuti 270-an peserta, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Sesi penutupan dilakukan oleh pewara dengan pantun: Gadis manis memakai gincu, berbedak untuk mempercantik paras. Jika Anda masih merasa rindu, kita kan berjumpa di NGONTRAS#17.
Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.***

Related Posts