POLITIK FILANTROPI: Representasi Kedermawanan dan Hegemoni Kapitalisme dalam Tayangan Reality Show Bagi-bagi Rezeki

ikwan1Ikwan Setiawan

Fakultas Sastra Universitas Jember

Awalan: media dan kemiskinan

Bertambahnya jumlah televisi swasta nasional maupun lokal merupakan faktor penting dalam meningkatnya popularitas televisi di tengah-tengah masyarakat. Pertambahan jumlah tersebut secara langsung juga menyebabkan semakin beragamnya acara. Dari subuh hingga menjelang subuh lagi, beragam acara disuguhkan kepada pemirsa. Para pengelola seperti berlomba-lomba dalam memenuhi dan memanjakan kenikmatan visual mereka. Beberapa jenis acara yang banyak mengisi ruang televisi Indonesia saat ini adalah (1) berita, (2) siraman rohani, (3) musik, (4) sinetron, (5) film, nasional maupun asing, (6) kuis, (7) siaran olah raga, dan (8) reality show. Dengan memberikan keragaman acara tersebut tentu saja para pengusaha televisi ingin mendapatkan belanja iklan dari pihak industri barang dan jasa yang selama ini menjadi sumber finansial utama televisi.[1]

Sebagai sebuah institusi industri budaya (culture industry)[2] pengelola televisi memang dituntut untuk selalu memproduksi tayangan-tayangan yang diprediksikan meraih perhatian penonton sehingga mereka akan meluangkan waktu untuk menonton. Itu berarti rating tayangan tersebut akan naik. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan melakukan komodifikasi (commodification) realitas maupun nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sehingga mereka merasa adanya kedekatan dengan tontonan tersebut. Dalam konteks itulah semua nilai dan peristiwa dalam masyarakat menjadi ‘halal’ untuk ditayangkan dengan sekian penyesuaian. Dari persoalan remaja yang sedang jatuh cinta hingga hebohnya berita kehidupan selebritis.

Reality show merupakan genre tayangan televisi yang saat ini sangat digemari. Tayangan ini banyak menayangkan problem-problem keseharian masyarakat dalam bentuk pengambilan gambar yang diusahakan sealamiah dan serealistis mungkin. Para aktor yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang biasa yang mengalami sebuah masalah dalam kehidupannya. Acara ini memperoleh rating yang cukup bagus karena dianggap sangat realistis dan dekat dengan persoalan yang nyata, tidak terlalu utopis seperti yang terdapat dalam sinetron.

Beberapa acara reality show yang ditayangkan beberapa stasiun televisi swasta nasional bia dikelompokkan ke dalam dua kategori, antara lain: (1) kategori pemberian rezeki kepada yang membutuhkan dan (2) kategori persoalan cinta kalangan remaja. Untuk kategori pemberian rezeki antara lain: (a) Bedah Rumah, Uang Kaget, dan Nikah Gratis, ditayangkan RCTI; (b) Bedah Musholla danPulang Kampung, ditayangkan oleh Trans 7 (dulunya TV7); (c) Tolooooong!, ditayangkan SCTV; dan, (d)Haji Gratis, ditayangkan ANTV. Sedangkan yang masuk kategori percintaan remaja, antara lain: (a)Harap-harap Cemas/H2C, Playboy Kabel, Kontak Jodoh, Cinta Lama Bersemi Kembali, dan CintaLokasi, ditayangkan SCTV dan (b) Katakan Cinta (RCTI).

 

Beragamnya tayangan reality show di atas tentu menandakan betapa acara-acara itu tetap digemari penonton sehingga pemasang iklan tetap berkenan untuk berpromosi di dalamnya. Ini merupakan kejelian para pengelola televisi dalam membaca realitas peristiwa yang ada dalam masyarakat kebanyakan untuk dijadikan komoditas yang laku di pasar media.

Dalam tayangan-tayangan reality show bagi-bagi rezeki, misalnya, kita bisa melihat betapa realitas kemiskinan diolah sedemikian rupa dengan citra-citra visual yang menyentuh hati sehingga orang-orang yang menjadi subjek “orang miskin” kemudian layak untuk diberikan rezeki. Dan yang selalu dikedepankan kemudian adalah unsur kedermawanan dari pihak kreator acara tersebut—tentu saja dalam hal ini adalah production house dan televisi yang menayangkannya—dan euforia mereka yangketiban rezeki tersebut, dengan beragam ekspresi lugu orang-orang miskin yang merasa kedatangan sang mesian.

Berdasarkan pembacaan tersebut reality show bagi-bagi rezeki kiranya cukup menarik untuk dikaji, terutama dalam hal (1) representasi kedermawanan (philanthropy), (2) posisi subjek si miskin dalam tayangan tersebut, serta (3) relasi-relasi apa yang sebenarnya sebenarnya beroperasi di balik tayangan tersebut. Membaca reality show bagi-bagi rezeki memang membutuhkan tidak sekedar kekaguman akan kedermawanan sosial, tetapi juga nalar kritis yang harus dilekatkan dalam analisis-analisis kita karena sesuatu yang tampaknya alamiah bisa jadi memang ‘dialamiahkan’ dengan memperkuat sebuah relasi yang tengah beroperasi di balik tayangan tersebut. Untuk mempermudah analisis dan mendapatkan perbandingan komperhensif, penulis hanya akan mengambil beberapa acara reality show bagi-bagi rezeki, yakni Nikah Gratis, Bedah Rumah, Lunas, dan Pulang Kampung sebagai objek kajian.

Representasi, Wacana, dan Hegemoni: kerangka teoritik

Dalam pembahasannya tentang representasi (representation) dalam perspektif cultural studies, Hall mendefinisikan representasi sebagai (1) penggunaan bahasa untuk sesuatu yang bermakna atau merepresentasikan dunia yang penuh makna kepada orang lain; (2) bagian penting dari proses di mana makna diproduksi dan dipertukarkan oleh anggota kebudayaan; (3) produksi makna melalui bahasa, dan; (4) produksi makna konsep dalam pikiran kita melalui bahasa (proses mental)[3]. Merujuk pada pengertian-pengertian yang diberikan Hall, representasi bisa didefinisikan secara sederhana sebagai makna yang mewujud melalui medium bahasa dan dikomunikasikan kepada pihak lain. Jadi ketika kita melihat sebuah tayangan televisi sebenarnya kita tengah mengkonsumsi representasi yang diwujudkan dalam bahasa visual.

Dalam tayangan reality show sebenarnya kita bisa menemukan makna-makna yang seringkali bersifat ideologis tetapi seringkali kita tidak pernah menyadari kehadiran mereka karena memang adegan dan cerita yang digambarkan memang sangat alamiah dan nyata. Untuk itulah dibutuhkan kerangka teoretik yang tepat sehingga makna-makna tersebut bisa ‘dibongkar’.

Ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk menjelaskan bagaiamana representasi makna melalui bahasa bekerja[4]. Pertama, pendekatan refleksif yang mana makna dipikirkan sebagai sesuatu yang melekat pada objek, orang, ide atau peristiwa di dunia nyata sehingga bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna sebenarnya sebagaimana sudah ada di dunia. Kedua, pendekatan intensional yang mana pembicara atau pengaranglah yang memaksakan maknanya tentang dunia melalui bahasa. Ketiga, pendekatan konstruksionis yang mana menganggap bahwa benda atau sesuatu tidaklah bermakna; kitalah yang memberinya makna. Pendekatan terakhir ini menekankan bahwa bukanlah dunia material yang memberikan makna: sistem bahasalah atau sistem apalah yang kita gunakan untuk merepresentasikan konsep kita.

Dari penjelasan di atas, maka pendekatan yang lebih sesuai untuk menganalisis objek studi dalam kajian ini adalah pendekatan konstruksionis karena dengan pembacaan kritis penulis bisa membongkar representasi ideologis yang ada dalam reality show. Tentu hal itu tidak dimaksudkan sebagai ‘menggampangkan masalah’ karena meskipun kita mempunyai kebebasan untuk menemukan representasi, tetapi kita tetap mengacu pada pembacaan terhadap objek kajian. Jadi dari objek kajian itulah kita bisa menemukan makna.

Dengan pendekatan kostruksionis seorang pengkaji akan menemukan representasi yang ada dengan cara memahami mitos dan wacana yang dibangun dalam sebuah tayangan. Dalam pembahasan ini penulis lebih memilih untuk menggunakan pendekatan konstruksionis guna menemukan wacana yang ada sehingga penulis juga merasa perlu untuk memasukkan perspektif diskursif sebagai pisau analisis untuk membaca representasi dalam reality show.

Michael Foucault—salah satu pemikir pos-strukturalis Perancis—mendefinisikan wacana sebagai:

sekelompok pernyataan yang menghasilkan bahasa untuk berbicara—sebuah cara untuk merepresentasikan pengetahuan tentang—topik tertentu pada momen historis tertentu, sebuah produksi pengetahuan melalui bahasa. Namun…karena semua praktik sosial melibatkan makna, dan makna membentuk dan mempengaruhi apa yang kita kerjakan—kita laksanakan—(maka) semua praktik mempunyai aspek-aspek diskursif.[5]

Titik tekan yang dikemukakan—dari penjelasan di atas—bahwa melalui wacanalah yang kemudian membentuk pengetahuan tertentu. Tentu saja hal itu bisa terjadi ketika sebuah wacana diintrodusir dalam praktik diskursif (discursive practice) yang mana sebuah wacana kemudian dikonstrukkan dalam wacana-wacana serupa sehingga menjelma sebuah pengetahuan (knowledge).

Pengetahuan inilah yang kemudian menjadi rezim kebenaran (regime of truth) yang mempengaruhi pola pikir dan pembicaraan di tataran publik. Inilah yang kemudian melahirkan kuasa (power) dan beroperasi dalam relasi-relasi yang ada dalam sistem masyarakat. Dengan kata lain, relasi yang ada dalam sebuah pengetahuan tidak lagi semata-mata relasi makna, tetapi lebih menjadi relasi kuasa.

Tentu saja untuk menggunakan perspektif diskursif dalam kajian ini dibutukan ‘modifikasi-modifikasi’ teoritis sehingga bisa menjadi kerangka analisis yang tepat. Modifikasi tersebut perlu dilakukan karena kajian terhadap reality show jelas berbeda dengan kajian yang pernah dilakukan Foucault, semisal dalam hal “kegilaan” (madness) dan “hukuman” (punishment). Sebagai sebuah tontonan, reality show tentu bukanlah wacana yang langsung menghadirkan pengetahuan tertentu. Sebaliknya, reality show bisa dibaca sebagai tayangan yang menghadirkan wacana tertentu. Dan, wacana tersebut kemudian akan menjadi pengetahuan bersama bagi para penonton sehingga membangun sebuah relasi kuasa yang sifatnya imajiner. Relasi kuasa imajiner inilah yang kemudian menjadi bagian dari sebuah relasi kuasa besar.

Ketika sebuah relasi kuasa berlangsung terus-menerus dalam reality show, maka secara tidak sadar penonton telah masuk ke dalam sebuah relasi kuasa hegemonik ‘yang sangat halus sifatnya’. Di sinilah perlunya memakai pendekatan hegemoni Gramscian yang lebih menekankan sebuah relasi kuasa yang berlangsung secara konsensual dalam kerangka ideologis dan kultural. Sebuah kekuasaan bisa menjadi sangat hegemonik ketika ia mampu memasukkan kepentingan-kepentingan sosio-kultural kelompok-kelompok subordinat ke dalam kepentingan kekuasaan mereka sehingga kekuatan tersebut bisa memegang kendali masyarakat. Inilah mengapa Chantal Mouffee mengatakan hegemoni sebagai “sintesa-sintesa yang lebih tinggi” sehingga semua elemennya berfusi dalam “keinginan kolektif” yang menjadi protagonis baru dari tindakan politis selama berlangsungnya hegemoni.[6]

Satu target terpenting dari berlangsungnya hegemoni adalah bagaimana agar rakyat kebanyakan mau menerima dan menyetujui apa-apa yang menjadi keinginan kolektif atau kehendak bersama, yang mana tujuan utamanya adalah untuk menaturalkan kepentingan kuasa dari kelas dominan. Dan salah satu syarat berlangsungnya hegemoni adalah peniadaan kekuatan senjata dan digantikan kekuatan yang bersifat ideologis-kultural sehingga kelompok-kelompok subordinat mau menerima dan menyetujui kehendak kelas kuasa karena kepentingan-kepentingan mereka diakomodir dan diartikulasikan dalam sistem baru tersebut. Boggs menjelaskan bahwa:

…..kelas penguasa selalu berusaha untuk menjustifikasi kekuasaan, kekayaan, dan statusnya secara ideologis, dengan tujuan mengamankan penerimaan rakyat kebanyakan terhadap posisi dominanya sebagai sesuatu yang “alamiah”, sebagai bagian dari aturan sosial, sehingga tidak bisa dilawan. Itu menandakan bahwa pengaruh aparatus hegemonik bergantung sepenuhnya pada hal yang mana mekanisme penyebaran nilai, gaya hidup, dan orientasi kultural berhasil dalam mentransformasikan kesadaran populer. Untuk itu, guna melangsungkannya ide-ide kuasa harus mewujud secara mendalam dalam bentuk relasi sosial dan tradisi nasional.[7]

Karena bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan dari masyarakat tanpa melalui kekerasan, hegemoni kemudian memperluas cakupannya meliputi keseluruhan cakupan nilai, sikap, keyakinan, norma-norma budaya, ajaran-ajaran legal, dan lain-lain. Lebih lanjut Boggs menerangkan:

Semuanya menuju satu tingkatan tertentu ataupun tingkatan lain yang masuk ke dalam masyarakat sipil, sehingga memadatkan struktur kelas dan bentuk-bentuk berlipat dominasi yang melaluinnya. Arena-arena penyampaian ideologi-kultural menjadi tak terbatas, bisa melalui: negara, sistem hukum, tempat kerja, sekolah-sekolah, gereja-gereja (lebih umum tempat-tempat ibadah, penulis), birokrasi, aktivitas budaya, media, keluarga, dan lain-lain. Kesemuanya kemudian dinamakan aparatus hegemonik. Hegemoni, dengan kata lain, melibatkan lebih dari ideologi tunggal yang dianggap baik (semisal liberalisme) yang merefleksikan (dan memistifikasi) kepentingan-kepentingan kelas dominan. Dalam masyarakat kapitalis, hegemoni tidak hanya melibatkan individualisme kompetitif yang disebarkan oleh liberalisme tetapi juga atomisasi sosial serta depolitisasi yang dihasilkan oleh birokrasi, fatalisme yang di ajarkan agama, pemujaan negara melalui nasionalisme, serta seksisme yang tumbuh dalam keluarga.[8]

Dalam masyarakat sipil seperti yang sedang banyak dibicarakan saat ini, ternyata hegemoni juga aktif berlangsung. Dalam kebebasan dan pemberdayaan yang mengutamakan kompetisi individu saat ini, sebenarnya terselip satu hegemoni kapital dalam kerangka liberalisme, misalnya. Dan kepentingan tersebut ternyata sinergis dengan kepentingan negara untuk menciptakan tatanan yang stabil demi tercapainya tujuan nasional sehingga hampir semua institusi negara, media, sekolah, maupun institusi-institusi agama berfungsi sebagai aparatus hegemoni yang bertugas menyebarkan kepentingan-kepentingan yang dibawa kelas penguasa. Dan apabila hegemoni ini berhasil, maka bisa dipastikan tidak akan ada perlawanan terhadap kelas penguasa, kecuali kelompok hegemonik mulai menggunakan tindakan koersif (kekerasan senjata) untuk mempertahankan kekuasaannya.

Televisi merupakan media populer yang sangat efektif untuk digunakan sebagai aparat penyebar nilai-nilai hegemonik dari kelas penguasa. Fungsi strategis televisi yang memberikan informasi sekaligus hiburan ternyata mempercepat dukungan konsensual rakyat bagi berlangsungnya kuasa hegemonik. Salah satu negara Eropa yang berhasil menggunakan media—dalam hal ini radio dan televisi—untuk melanggengkan kekuasaan hegemoniknya adalah Inggris dengan BBC-nya.[9] Rezim Orde Baru Indonesia sebenarnya juga mencontoh pola ini, yakni dengan menyebarkan “ideologi pembangunan” melalui RRI dan TVRI yang terbukti cukup efektif melanggengkan kekuasaan selama 32 tahun. Kegagalan pemerintah Orde Baru dalam menjalankan kekuasaan hegemoniknya adalah ketika mereka mulai menjalankan kekuasaan dominasi (kekuasaan dengan senjata) sehingga memunculkan counter-hegemony yang menghasilkan gerakan reformasi dan meruntuhkan rezim tersebut.

Lahirnya iklim keterbukaan yang menjadi semangat reformasi ternyata menghasilkan pemerintah yang semakin dekat dengan kepentingan kapitalisme karena hanya dengan pola itulah pemerintah bisa menjamin berlangsungnya kuasa hegemoniknya. Pertimbangan ekonomi-modal inilah yang kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan populis yang seolah-olah mengartikulasikan kepentingan rakyat kebanyakan yang masih banyak dililit permasalahan ekonomi. Maka lahirlah program semacam BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang bisa dibaca sebagai usaha pemerintah untuk memenuhi tuntutan ekonomi rakyat kecil meskipun pemerintah harus menghutang kepada lembaga donor internasional, seperti IMF, World Bank, maupun CGI. Dengan program tersebut, pemerintah tengah membuat sebuah wacana yang menjadi pengetahuan bersama, bahwa “mereka sangat memperhatikan masalah rakyat kebanyakan.”

Kalangan industri media juga melihat peluang yang sama dari kemiskinan yang melilit masyarakat. Dengan melakukan komodifikasi kemiskinan, kalangan media kemudian berusaha menjual program kepada industri barang dan jasa di Indonesia. Pilihan untuk membuat acara reality show bagi-bagi rezeki, media terkesan memberikan kontribusi bagi mereka yang membutuhkan. Dan lebih jauh, kalangan industri barang dan jasa juga dikesankan memberikan sebagian rezekinya untuk menyelesaikan permasalahan rakyat miskin. Dalam konteks yang lain, kalangan industri ternyata melakukan hal yang sama dengan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) dimana perusahaan memberikan program bantuan kepada masyarakat sekitar, terutama kepada usaha kecil dan menengah. Baik reality show bagi-bagi rezeki maupun CSR ingin mengesankan sebuah tanggung jawab perusahaan untuk ‘mengentaskan’ kemiskinan, namun dalam konteks kuasa, itu semua bisa dibaca sebagai usaha kapitalisme untuk meneguhkan kuasa hegemoniknya di tengah-tengah masyarakat.

“Reality show bagi-bagi rezeki”: sebuah deskripsi acara

Adalah seorang Helmy Yahya melalui bendera Triwasarana Production yang pertama kali mempopulerkan acara reality show bagi-agi rezeki muncul dalam tayangan televisi swasta nasional. Tayangan-tayangan reality show yang pertama-tama dikonsep Helmy Yahya dan kawan-kawan, antara lain Uang Kaget, Bedah Rumah, dan Nikah Gratis yang semuanya ditayangkan RCTI. Kemudian disusulTolooong! dan Lunas yang ditayangkan SCTV. Kemudian Jeremy Thomas dan kawan-kawan membuat acara serupa bertajuk Pulang Kampung yang ditayangkan TV7 (sekarang berganti nama Trans 7). AN Teve seperti tidak mau ketinggalan, membuat acara serupa bertajuk Haji Gratis.

Satu rumus pokok dari acara-acara yang terkesan berbeda-beda tersebut adalah komodifikasi kemiskinan dan masalah-masalah yang menyertainya serta dialami langsung oleh masyarakat. Sementara formula yang dipakai adalah pemberian bantuan secara langsung kepada subjek-subjek yang dianggap terlilit masalah kemiskinan. Bantuan-bantuan yang diberikan biasanya berupa (1) pemberian uang tunai dengan jumlah tertentu yang akan digunakan untuk menyelasaikan masalah-masalah yang ada dan (2) pemberian fasilitas yang bisa membantu si subjek keluar dari masalah-masalah yang dihadapinnya. Nikah Gratis, Bedah Rumah, dan Haji Gratis bisa dikategorikan ke dalamreality show yang memberikan fasilitas kepada subjek yang membutuhkan. Sedangkan Uang Kaget, Lunas, dan Tolooong! masuk ke dalam kategori reality show yang memberikan uang yang nantinya digunakan oleh si subjek untuk menyelesaikan masalahnya.

Nikah Gratis merupakan tayangan yang memberikan bantuan fasilitas kepada mereka yang membutuhkan biaya untuk melaksanakan pernikahan. Subjek yang membutuhkan itu karena kemiskinan yang membelitnya belum bisa melangsungkan pernikahannya dengan perempuan idaman. Si subjek kemudian mengirimkan biodata dan alasan-alasan mengapa ia belum bisa melangsungkan pernikahan kepada production house (PH) penyelenggara acara. Dari sekian surat yang masuk oleh PH kemudian diseleksi dan dipilih siapa-siapa yang berhak mendapatkan bantuan. Selanjutnya seorang pemandu acara mendatangi si subjek dan calon istrinya untuk diberikan tantangan sebagai syarat mendapatkan bantuan untuk nikah gratis. Akad nikah dilangsungkan di lapangan terbuka dengan panggung mewah serta dilengkapi dengan pertunjukan elekton yang menarik kerumunan warga untuk turut menyaksikan perhelatan tersebut. Setelah akad nikah, kedua pasangan diberikan hadiah-hadiah seperti televisi, spring bed, lemari, dan lain-lain serta ditambah bonus menginap gratis di salah satu hotel rekanan dari PH sebagai hadiah bulan madu.

Bedah Rumah digarap dengan konsep perbaikan rumah subjek yang kondisinya cukup memprihatinkan. Biasanya pihak PH menyeleksi surat disertai foto rumah yang dikirimkan tetangga si subjek. Setelah dipilih, seorang pemandu acara datang bersama satu tim renovasi yang siap bekerja dalam waktu 12 jam untuk ‘menyulap’ rumah menjadi lebih baik. Ketika rumah sedang diperbaiki, si subjek pemilik rumah beserta semua anggota keluarganya diajak ke hotel rekanan PH. Setelah 12 jam berlalu, si subjek dan keluarganya diajak pulang ke rumahnya. Di rumah, kerumunan warga sudah siap menunggu kedatangan mereka. Ketika tabir dibuka, maka kagetlah si subjek karena ia menyaksikan rumahnya sudah berubah total dan menjadi lebih baik sehingga tak jarang “si subjek bersujud di atas tanah untuk mengungkapkan rasa syukurnya”. Rumah baru tersebut dilengkapi dengan fasilitas-fasilitias seperti lemari es, televisi, serta spring bed mewah yang tidak pernah bisa dibeli oleh si subjek. Tidak jarang pihak PH juga menghadirkan aparat pemerintah yang turut memberikan bantuan berupa uang maupun fasilitas-fasilitas pelengkap, seperti pemasangan listrik untuk rumah yang belum ada aliran listriknya.

Berbeda dengan kedua reality show di atas, Lunas lebih memilih untuk memberikan bantuan uang tunai kepada subjek yang terlilit hutang kepada pihak lain. Mekanismenya pun sama dengan dua tayangan di atas, PH menyeleksi surat berisi informasi yang berasal dari tetangga si subjek. Seorang pemandu acara akan mendatangi rumah si subjek dan sedikit menanyakan tentang keadaan keluarga si subjek dengan masalah hutang yang mereka hadapi. Biasannya si subjek terlilit hutang yang berkaitan dengan biaya pengobatan salah satu anggota keluarga atau hutang biaya sewa rumah. Si pemandu acara kemudian memberikan uang untuk melunasi semua hutang si subjek. Biasanya si subjek dan keluarganya tidak kuasa untuk menahan air mata sebagai rasa syukur mereka. Segera setelah menerima uang tunai, si subjek langsung melunasi hutang-hutangnya. Selanjutnya si pemandu juga memberikan sejumlah uang tunai tambahan kepada si subjek untuk keperluan mendesak.

Tidak jauh berbeda dengan Lunas, Pulang Kampung juga memberikan bantuan uang kepada subjek tertentu yang merantau di Jakarta dan ia sebenarnya ingin sekali pulang karena rindu untuk bertemu keluarganya. Subjek biasanya digambarkan sebagai individu yang gigih dalam berusaha di kota meskipun penghasilan yang diperoleh tidak seberapa besar. Seorang pemandu akan mendatangi si subjek dan memberikan bantuan uang untuk membeli keperluan yang dirasa mendesak bagi keluarga di kampung. Setelah itu pemandu dengan menggunakan mobil akan mengantarkan si subjek hingga ke kampung halamannya. Setelah si subjek bertemu dengan keluarga di kampung, biasanya ia dan keluarganya menangis serta memeluk pemandu sembari mengucapkan terima kasih. Sesudahnya, pemandu memberikan sejumlah uang kepada si subjek untuk membeli keperluan-keperluan keluarganya.

Kemiskinan dan datangnya ‘sang penolong’ dermawan: wacana dan pengetahuan dalam reality show bagi-bagi rezeki

Penderataan, kemelaratan, dan kesengsaraan merupakan bagian tidak bisa dipisahkan dari kemiskinan. Di Indonesia problem kemiskinan merupakan realitas yang dialami sebagian besar warga negara yang dikatakan gemah ripa loh jinawi ini. Dari zaman penjajahan hingga zaman reformasi ini, ternyata kemiskinan masih saja menjadi satu “wacana besar” yang menempati ‘posisi terhormat’ dalam setiap perdebatan akademik para ilmuwan hingga program-program pemerintah. Wacana kemiskinan telah bergulir menjadi formasi diskursif di mana banyak ilmuwan membicarakannya dalam berbagai seminar dan simposium yang berusaha menemukan solusi-solusi strategis. Di level pemerintah, dari masa ke masa, aparat birokrasi telah berusaha menjadikan kemiskinan sebagai tema utama dalam kebijakan-kebijakan pembangunan yang selalu dikatakan pro-rakyat, meskipun kenyataannya sangat jauh dari harapan.

Pada masa pemerintah Orde Baru, misalnya, kita mengenal program PELITA (Pembangunan Lima Tahun) yang dikatakan bisa meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia, meskipun dalam realitasnya cenderung menguntungkan segelintir orang bermodal besar yang juga dekat dengan lingkaran pejabat. Pada masa reformasi, sebagaimana disinggung sebelumnya, pengurangan tingkat kemiskinan juga tetap menjadi prioritas program yang mendesak untuk direalisasikan. Sebagai akibatnya pemerintah membuat kebijakan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) berupa pemberian subsidi langsung kepada rakyat yang didata sebagai subjek orang miskin, meskipun dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan masalah.

Rupa-rupanya acara reality show bagi-bagi rezeki juga tidak bisa dilepaskan dari wacana besar kemiskinan. Para kreator acara ternyata benar-benar peka bahwa kemiskinan telah menjadi realitas sosial yang dialami oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Apalagi hampir setiap hari siaran berita di masing-masing televisi selalu saja menyuguhkan wacana kemiskinan, mulai dari sengsaranya rakyat miskin ketika harga beras naik hingga tangis menyayat para ibu yang rumahnya menjadi sasaran penggusuran. Tanpa disadari, kemiskinan telah menimbulkan empati dalam benak masing-masing penduduk Indonesia. Maka, Helmi Yahya bisa dianggap sebagai seorang kreator acara yang jenius dan peka terhadap kondisi keseharian rakyat kecil ketika ia mempelopori acara reality show yang membagi-bagikan rezeki kepada mereka. Dengan kata lain, Helmi menggunakan kemiskinan sebagai ‘bahan dasar’ acara-acaranya. Dan bisa ditebak, acara-acara tersebut langsung mendapat sambutan positif dari masyarakat karena mereka sudah lama merasakan penderitaan sehingga melalui acara-acara tersebut mereka menemukan sosok “sang penolong” dermawan di tengah-tengah penderitaan.

Kedermawanan (philantrophy) dengan demikian telah menjadi wacana turunan dari wacana besar bernama kemiskinan. Dan dalam kehidupan sosio-kultural sebenarnya kita bisa menjumpai kedermawanan sebagai praktik yang dianjurkan oleh semua agama. Dalam cerita rakyat kita juga sering mendengar hadirnya tokoh-tokoh mesian yang membantu rakyat jelata. Bahkan konsep kedermawanan juga sering digunakan oleh agama atau partai politik tertentu untuk melancarkan misi keagamaan atau politisnya. Dengan kata lain kedermawanan bisa dikatakan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sosial masyarakat. Adanya pihak-pihak yang akan melakukan kedermawanan dalam segala bentuknya telah menjadi pengetahuan bersama di dalam masyarakat yang mana para aktornya adalah mereka yang mempunyai kelebihan modal.

Dan apa-apa yang disuguhkan oleh reality show sebenarnya tidak lebih dari pencitraan secara visual dari kedermawanan. Reality show dengan demikian merupakan salah satu aparatus intitusional dari kedermawanan yang semakin meneguhkan posisi pihak-pihak yang melakukan praktik kedermawanan dalam masyarakat. Karena acara ini langsung menyentuh kebutuhan mendasar dari masyarakat miskin maka keberadaannya diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak, regime of truth. Pihak-pihak yang berperan serta dalam acara ini kemudian menempati posisi sebagai ‘dewa penolong’ atau ‘juru selamat’ yang dengan gigih telah memperjuangkan nasib si miskin. Lalu siapakah dewa penolong dalam reality show bagi-bagi rezeki?

Karena acara reality show merupakan produksi sebuah rumah produksi yang ditayangkan stasiun televisi tertentu, maka para dewa penolong dalam tayangan tersebut adalah (1) person dalam institusi rumah produksi; (2) stasiun televisi yang menayangkan; dan, (3) para sponsor—dalam hal ini adalah sponsor yang langsung terlibat dalam acara dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan. Ketiga elemen tersebut bisa dikategorikan sebagai dewa penolong karena masing-masing memainkan peran dominan dalam terselenggaranya acara reality show bagi-bagi rezeki. Person-person dalam rumah produksi merupakan elemen pertama yang dengan daya kreatifnya mampu memvisualkan kemiskinan dan kedermawanan dalam sebuah bingkai acara yang begitu menyentuh bagi pemirsa. Stasiun televisi berperan dalam menyiarkan secara luas acara reality show sehingga semakin banyak khalayak yang menontonya. Sedangkan para sponsor berperan sebagai penyedia modal dengan memasang iklan perusahaan mereka dalam acara tersebut. Tanpa sponsor, reality show bagi-bagi rezeki bisa dipastikan tidak akan sukses.

Kuasa hegemonik di balik reality show bagi-bagi rezeki

Integrasi yang cukup sinergis dari ketiga elemen dominan dalam reality show berhasil menghadirkan pencitraan visual yang cukup memukau di layar kaca. Pencitraan visual tersebut lebih mengedepankan satu tawaran pengetahuan bahwa di tengah-tengah penderitaan si miskin tetap ada orang atau pihak bijak yang memberikan sedikit rezekinya demi kebahagiaan si miskin. Dalam hal ini si bijak adalah ketiga elemen tersebut yang merupakan representasi dari kekuatan kapital.

Kedermawanan yang diusung acara reality show bagi-bagi rezeki dilihat dari perspektif kemanusiaan, merupakan perbuatan yang cukup mulia dan bijak karena kekuatan modal berkenan sedikit membantu mereka yang membutuhkan. Namun, yang harus dipahami adalah bahwa kelas modal tidak akan pernah begitu saja memberikan sedikit modalnya tanpa tendensi tertentu. Mereka selalu ingin mengamankan posisinya dalam masyarakat sehingga mereka harus menjalankan program yang cenderung populis, membela kepentingan rakyat kebanyakan. Dengan demikian, rakyat kebanyakan akan merasa kepentingannya juga diartikulasikan oleh kelas modal sehingga mereka larut dalam jejaring kapital tanpa menyadarinya. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa acara reality show bagi-bagi rezeki tengah membawa dan melangsungkan sebuah kuasa yang cukup hegemonik ke tengah-tengah masyarakat.

Kuasa hegemonik yang ditampilkan oleh kelas-kelas modal memang sangat halus karena menggunakan konsep kemanusiaan—berupa kedermawanan—yang secara langsung membantu subjek-subjek miskin. Melalui kedermawanan itu kelas modal ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka juga bisa berbuat baik dan memberikan kebahagiaan kepada mereka yang membutuhkan. Dengan tawaran tersebut, subjek-subjek miskin dan masyarakat awam diyakinkan bahwa kehadiran kelas modal tidak selamanya jahat dan semata-mata mengeruk keuntungan. Lebih dari itu kelas modal hadir untuk memutar roda ekonomi yang mana sebagian keuntungannya juga diberikan kepada mereka yang menderita. Kapitalisme bisa juga berwajah manusiawi. Dengan tawaran itulah, masyarakat kemudian digiring untuk menyetujui berlangsungnya kuasa kapital dalam sistem sosial secara menyeluruh.

Sinergitas antara rumah produksi, televisi, dan sponsor dalam reality show bagi-bagi rezeki dengan demikian menjadi moda kuasa hegemonik canggih yang menutup peluang untuk mengkritisinya, apalagi melawannya. Subjek-subjek miskin yang juga merupakan para korban dari kapitalisme lanjut merasa tidak berdaya untuk melawan ketika pihak yang seharusnya menjadi musuh mereka memberikan bantuan modal untuk melunasi hutang-hutangnya atau untuk biaya pulang kampung. Realitas itulah yang kurang mendapatkan perhatian dari para pemikir Marxis ortodoks yang selalu menganggap bahwa ketimpangan ekonomi akan selalu menghasilkan revolusi sosial.

Bagi mereka yang berperspektif ekonomi, penayangan reality show bagi-bagi rezeki mungkin tidak ada bedanya dengan acara televisi lainnya yang bertujuan untuk meraih sponsor sebanyak-banyaknya dan kehadiran sponsor tidak lebih dari sekedar untuk mempromosikan produk dan jasanya. Memang benar, sponsor juga tidak bisa lepas dari kepentingan promosi. Produsen perabot rumah tangga, misalnya, dengan memberikan fasilitas gratis tentu ingin agar produk mereka dikenal oleh para pemirsa. Demikian juga dengan sponsor yang memberikan bantuan uang untuk pulang kampung ataupun fasilitas hotel untuk menginap bagi para subjek miskin yang rumahnya sedang diperbaiki.

Namun yang harus dengan jeli dilihat adalah bagaimana para sponsor dan media serta rumah produksi mencitrakan diri mereka dalam visualitas dermawan. Kedermawanan yang dicitrakan sedemikian rupa jelas merupakan sebuah modal simbolik (symbolic capital)[10]—meminjam istilah Pierre Bourdieu—untuk memperluas penerimaan publik terhadap kuasa hegemonik yang tengah berlangsung. Relasi ideologis-kultural inilah yang membedakan reality show dengan tayangan-tayangan komersil lainnya. Kalau dalam tayangan sinetron, misalnya, masyarakat hanya diajak mengimajinasikan sesuatu yang jauh dari realitas, sedangkan reality show bagi-bagi rezeki langsung bersentuhan dengan kebutuhan mendesak mereka. Ketika sponsor memasang iklan dalam tayangan sinetron, mereka sebenarnya hanya “menginvestasikan nama” yang diharapkan dikenal oleh pemirsa. Sementara dalam tayanganreality show bagi-bagi rezeki, selain investasi nama, mereka juga “menginvestasikan kesan impresif” tentang kedermawanan sehingga mereka juga menjalankan strategi politis jangka panjang yang sangat efektif dan efisien.

Dengan semakin luasnya penerimaan publik terhadap “politik pilantropi” yang mereka jalankan, kelas modal tentu semakin leluasa memainkan peran dominan karena masyarakat dan pemerintah memberikan dukungan. Pada masa mendatang mereka tentu semakin leluasa untuk memperluas kepentingan bisnis mereka. Politik pilantropi dengan demikian bisa dibaca sebagai moda kuasa hegemonik bagi kelas modal ketika mereka ingin merebut hati rakyat kebanyakan dan sekaligus mengeleminir potensi resistensi rakyat.

Memberi ikan melupakan kail: simpulan

Melihat tayangan Nikah Gratis, Bedah Rumah, Lunas, dan Pulang Kampung secara kritis menggiring kita pada satu pemahaman bahwa para kreator acara-acara tersebut tidak ubahnya hanya “memberikan ikan melupakan kail”. Ini tentu saja tidak jauh berbeda dengan apa-apa yang dilakukan pemerintah yang selalu saja memberikan solusi praktis dari masalah-masalah kemiskinan akut, tanpa bisa menciptakan kebijakan-kebijakan yang bertahap dan strategis. Akibatnya, rakyat miskin akan semakin biasa mengharapkan kehadiran dewa penolong atau juru selamat yang akan langsung memberikan bantuan praktis, bukan bantuan teknis yang bisa digunakan untuk membuat usaha-usaha strategis sehingga mereka bisa mandiri dalam menyelesaikan masalah kemiskinan mereka.

Reality show bagi-bagi rezeki dengan demikian telah menjadi situs pembodohan yang menjadikan rakyat miskin lupa akan akar kemiskinannya dan hanya menjadi subjek-subjek yang selalu mengharapkan bantuan orang lain. Kalau sudah demikian, maka bangsa ini akan semakin terperosok ke dalam kemiskinan akut yang tidak hanya bersifat material, lebih dari itu, juga bersifat ideologis-kultural. Rakyat miskin semakin kehilangan daya kreativitas dan nalar konstruktif sebagai manusia berakal akibat selalu memimpikan datangnya juru selamat yang akan menyeleksi nama-nama mereka dan memperbaiki rumah reyot mereka.

Tapi, mungkin kita harus terpaksa tersenyum manis karena insan-insan media nasional semakin kreatif dalam menggagas sebuah tayangan. Betapa tidak, kemiskinan yang oleh banyak pemikir sosial dianggap sebagai masalah akut, ternyata di tangan mereka bisa menjadi tayangan yang bisa mendatangkan keuntungan finansial yang cukup besar serta keuntungan ideologis-kultural bagi keberlangsungan kuasa hegemonik kelas modal. Dan rakyat miskin hanyalah penerima pesan dan bantuan yang mungkin sangat membantu dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, siapa yang tahu? Ya, inilah realitas paradoksal dari sesuatu yang bernama Indonesia.

Gejayan, akhir tahun hingga awal tahun membaca cahaya, Des ‘06 – Jan ‘07

Catatan akhir

[1] Data dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) tahun 2002 menunjukkan porsi iklan televisi mencapai 60,3% dari total pendapatan iklan nasional yang mencapai Rp. 13,41 triliun (sekitar Rp. 8,09 triliun). Porsi iklan itu tetap didominasi oleh 3 stasiun besar, yakni RCTI (Rp. 1,58 triliun), Indosiar (Rp. 1,54 triliun), dan SCTV (Rp. 1,32 triliun). Sisanya diperebutkan oleh stasiun-stasiun televisi swasta lainnya dan juga TVRI. Lebih jauh tentang hal ini, baca Agus Sudibyo.2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKiS bekerjasama dengan ISAI.hlm.58.

[2] Granham menjelaskan bahwa industri budaya merujuk pada institusi-institusi dalam masyarakat yang mengola moda khusus produksi dan organisasi korporasi guna memproduksi dan menyebarkan simbol-simbol dalam bentuk benda-benda dan jasa budaya sebagai satu komoditas. Baca Nicholas Granham.”On the Cultural Industries”, dalam Paul Marris & Sue Torham (eds).1997. Media Studies: A Reader. Edinburg: Edinburg University Press.hlm.78.

[3] Stuart Hall (ed). 1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University Press.hlm.17-19.

[4] Ibid.

[5] Ibid.44.

[6] Chantal, Mouffe.1981. “Hegemony and Ideology in Gramsci”, dalam Tony Bennet, Graham Martin, Collin Mercer, & Janet Woolacott. Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.

[7] Boggs, Carl. “The Theory of Ideological Hegemony” dalam Carl Boggs.1984. The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.hlm.161

[8] Ibid.

[9] Lebih jauh tentang kasus BBC ini baca Stuart Hall.1986. “Popular culture and the state” dan David Cardiff&Paddy Scannell.1986. “Good luck war workers! Class, politics, and entertainment in wartime broadcasting” dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott (eds). Popular Culture and Social Relations. Philadelpia: Open University Press.

[10] Modal simbolik dalam perspektif Bourdieu merupakan alat untuk menciptakan relasi kuasa dalam masyarakat secara ideologis-kultural. Modal simbolik bisa berupa modal ekonomi, pengetahuan, jabatan, benda-benda pusaka, ataupun hadiah-hadiah. Kelas kuasa akan menggunakan modal yang mereka miliki untuk menciptakan relasi-relasi simbolik yang terkesan alamiah dan bisa diterima masyarakat sehingga kekuasan mereka dalam sistem sosial tetap berlangsung dengan aman dan mapan. Analisis Bourdieu terhadap keberadaan modal simbolik yang direpresentasikan dalam aktivitas ataupun ritual masyarakat sebenarnya diarahkan untuk memberikan kritik betapa konsep ekonomi yang selama ini dipahami para pemikir ekonomi pada pertimbangan modal dan produksi—juga untung dan rugi—ternyata sulit untuk diterapkan pada masyarakat yang mempunyai relasi-relasi simbolik melalui aktivitas-aktivitas ekonomi yang dipraktikkannya. Dengan kata lain, ternyata ekonomi tidak hanya berhenti pada kalkulasi untung-rugi. Lebih dari itu, kalkulasi yang tak terungkapkan merupakan poin penting ketika seorang pengkaji harus memaknai relasi ekonomi yang terjadi. Lebih jauh tentang hal ini baca Bourdieu, Pierre. “Structur, Habitus, Power: Basis for a Theory of Symbolic Power dalam Nicholas B.Dirk, Geoff Eley, & Sherry B. Ortner.1994.Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Social Theory.

Daftar bacaan

Carl, Boggs. “The Theory of Ideological Hegemony” dalam Carl Boggs.1984. The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.

Bourdieu, Pierre. “Structur, Habitus, Power: Basis for a Theory of Symbolic Power dalam Nicholas B.Dirk, Geoff Eley, & Sherry B. Ortner.1994.Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Social Theory. Pricenton: Pricenton University Press.

Cardiff, David&Paddy Scannell.1986. “Good luck war workers! Class, politics, and entertainment in wartime broadcasting” dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott (eds). Popular Culture and Social Relations. Philadelpia: Open University Press.

Granham, Nicholas. “On the Cultural Industries”, dalam Paul Marris & Sue Torham (eds).1997. Media Studies: A Reader. Edinburg: Edinburg University Press.

Hall, Stuart (ed).1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University Press.

Hall, Stuart.1986. “Popular culture and the state” dan David Cardiff&Paddy Scannell.1986. “Good luck war workers! Class, politics, and entertainment in wartime broadcasting” dalam

Mouffe, Chantal.1981. “Hegemony and Ideology in Gramsci”, dalam Tony Bennet, Graham Martin, Collin Mercer, & Janet Woolacott. Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.

Sudibyo, Agus.2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKiS bekerjasama dengan ISAI.

Related Posts

Leave a Reply