Hadirkanlah diri, aku, atau saya, ketika kita menciptakan puisi. Mintalah bantuan lima indera ketika kita mempersepsi, memikirkan, atau mengapresiasi benda, peristiwa, atau fenomena alam. Menulislah dengan berpijak pada rekonstruksi imagery terhadap persoalan yang ada di dekat kita.
Demikian substansi paparan dan pendampingan yang dilakukan oleh penyair nasional, Mardi Luhung, dalam kegiatan Pelatihan Penulisan Kreatif. Kegiatan diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (Sind FIB UNEJ) dan dipandu Phia Meidyana (mahasiswa Sastra Indonesia). Kegiatan praktik penulisan puisi dengan peserta 120-an mahasiswa tersebut, dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan I FIB UNEJ, di Aula Sutan Takdir Alisyahbana, Sabtu (16/9/2023).
Dalam sambutannya, Wakil Dekan I, Prof. Nawiyanto, Ph.D., mengungkapkan pentingnya penguasaan soft skill bagi mahasiswa. Dikatakannya bahwa dalam era digital, mahasiswa perlu membekali diri dengan soft skill yang dapat dimanfaatkan dalam menyongsong masa depan, di antaranya penguasaan bahasa untuk mengembangkan kreativitas dan industri kreatif. Ditekankannya bahwa soft skill dapat mengembangkan kapasitas yang kompetitif. Diharapkan pula, mahasiswa dapat bersaing untuk melanjutkan studi ke luar negeri. “Dengan bekal penguasaan bahasa Inggris, komputer, dan soft skill tertentu, kalian berpeluang untuk melanjutkan studi ke Australia, Jerman, atau Belanda,” kata Nawiyanto.
Phia Meidyana, dalam memandu acara, mengawalinya dengan mengulik latar belakang dan riwayat pembicara. Phia yang telah memiliki pengalaman sebagai presenter TV, fasih dalam mengorek konteks kepenyairan Mardi Luhung. Hal menarik di luar dugaan yang disampaikan Mardi Luhung, yang bernama asli Hendry, bahwa dirinya merasa salah pilih ketika masuk menjadi mahasiswa sastra. Dijelaskan bahwa dalam bayangannya waktu itu, mahasiswa sastra akan diajari menulis puisi atau cerpen. “Ternyata tidak. Ternyata diajari untuk menganalisis karya sastra, bukan menulis karya sastra,” jelas Hendry alias Mardi Luhung.
Dalam sesi penyampaian materi, Mardi Luhung tidak langsung menjelaskan substansi materi, tetapi justru meminta semua peserta untuk menuliskan sepuluh benda yang ada di dekatnya. Semua peserta kemudian sibuk mengidentifikasi dan menuliskan benda-benda yang ada di sekitarnya, pada secarik kertas yang telah dibagikan oleh panitia. Setelah “tugas” dikumpulkan dan diperiksa oleh Mardi, ternyata tak satu pun peserta yang menuliskan kata “aku” atau “saya”.
“Kalian harus mulai membiasakan. Coba perhatikan. Benda yang paling dekat dengan kalian adalah diri sendiri. Aku. Saya. Diri. Dari sekian banyak mahasiswa di ruangan ini, tak satu pun yang menulis kata “aku” atau “saya”. Padahal, itu juga benda,” jelas Mardi Luhung, yang kini berkhidmat sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia SMA Nahdlatul Ulama 1 Gresik.
Kemudian Mardi menjelaskan pentingnya “perspektif aku” dalam melihat, merasakan, mempersepsikan, menilai, mengapresiasi hal-hal, benda, peristiwa, atau fenomena yang ada di sekitar. Ditekankannya bahwa kehadiran diri menjadi sangat penting dalam menciptakan puisi. Berbagai hal yang diungkapkan dalam puisi didasarkan atas persepsi si aku lirik. “Hadirkanlah diri, aku, atau saya, ketika kita menciptakan puisi,” jelas Mardi, yang puisi-puisinya tersebar di pelbagai media, di antaranya Kompas, Koran Tempo, dan Jawa Pos.
Pada tahapan yang lain, Mardi meminta para peserta sedikit bergeser untuk saling berhadapan. Per dua orang, masing-masing saling berhadapan. Kemudian bergantian mendeskripsikan partner yang ada di hadapannya, dengan menekankan lima indera. Ditekankannya, mintalah bantuan lima indera ketika kita mempersepsi, memikirkan, atau mengapresiasi benda, peristiwa, atau fenomena alam. Lima indera mencakup pandangan tentang fisik partner, suara, cercapan/penciuman, rabaan, dan pendengaran. Masing-masing mendeskripsikan dengan kreativitasnya, dengan menghadirkan diri melalui pikiran. “Dengan menghadirkan diri melalui pikiran, maka hasil deskripsi akan berbeda, meskipun terhadap objek yang sama,” jelas Mardi, yang memperoleh Khatulistiwa Literary Award dalam bidang puisi, tahun 2010.
Di sela-sela tahapan praktik menulis puisi yang harus dikerjakan peserta, Mardi juga memberi penjelasan melalui materi yang berjudul “Tentang Sekilas Menulis Sastra”. Disampaikan bahwa puisi merupakan seni bahasa yang bahasanya terikat (aku puisi), prosa merupakan seni bahasa yang bahasanya bercerita (aku narasi), sedangkan drama merupakan seni bahasa yang bahasanya dipertunjukkan (aku dramatik).
Lebih lanjut, Mardi menjelaskan tentang syarat menulis sastra, yakni 5-S atau lima sadar. Syarat tersebut mencakup (1) sadar pada diri (kehadiran pada persoalan yang ditulis), (2) sadar pada penggunaan sudut pandang (orang pertama, kedua, ketiga), (3) sadar pada penggunaan kalimat, paragraf, dan keutuhan teks dalam sastra, (4) sadar pada penggunaan detail yang ditulis, dan (5) sadar pada sifat sastra sebagai karya seni yang kreatif dan imajinatif.
Mardi juga mengungkapkan bahwa menulis sastra bukan diarahkan untuk menjadi penulis sastra atau sastrawan. Tetapi lebih mengarah pada kekonsistenan bernalar dan berpikir. Jadi, menurutnya, dalam hal menulis sastra, perlu dihindari plagiasi, copas, dan sejenisnya. Sebaliknya, dibudayakan untuk memahami dunia kreativitas, dunia yang berkembang dengan cara saling bergesek, berdialog, dan terbuka pada kritik dan evaluasi. Ditekankan pula bahwa apabila ada salah satu dari mereka (yang belajar menulis itu) kelak menjadi sastrawan, merupakan berkah yang patut disyukuri. “Kelahiran sastrawan bukanlah peristiwa yang instan atau sekali jadi. Tapi, peristiwa dari daya belajar dan terus belajar sampai pada batas yang tak dapat ditentukan,” jelas Mardi, yang kini mengelola perpustakaan Kebun Buku SMA Nahdlatul Ulama 1 Gresik sebagai seksi pengembangan literasi.
Sesi setelah makan siang, seluruh peserta dikelompokkan menjadi sepuluh kelompok dengan posisi duduk melingkar. Sebagaimana pada tahapan sebelumnya, per kelompok diminta untuk menuliskan persoalan di sekitar yang dapat melatih kepekaan puitik. Kali ini berlatih menulis berkenaan dengan imagery (perumpamaan, bayangan, imaji, kesan, dan semacamnya). Hasilnya kemudian dibacakan dan didiskusikan bersama. Tak terkecuali komentar yang dilontarkan Mardi. “Menulislah dengan berpijak pada rekonstruksi imagery terhadap persoalan yang ada di dekat kita,” tegasnya.
Pelatihan dengan fasilitator seorang penyair ini memang tidak sekadar berbagi ilmu, tetapi lebih menekankan pada praktik untuk berproses bersama. Proses kreatif bersama yang dilakoni peserta sejak pagi hingga sore menorehkan kesan yang tidak biasa. Jika dirangkum, rangkaian pendampingan penulisan puisi kali ini mencakup tahapan (1) kehadiran diri, (2) kata ganti yang digenggam, (3) imagery dalam latihan, (4) penulisan dalam rekonstruksi imagery, (5) menulis dengan berpijak pada yang telah direkonstruksi dengan hal yang ada di dekat kita, (6) karya bebas, sendiri, atau bersama, dan konsultasi sesama, (7) apresiasi antarpeserta, dan (8) menulis esai pendek (tiga paragraf) dengan tema “kenangan dari penulisan setelah sekian tahun terlewati”.
“Tugas-tugas” yang telah dikerjakan peserta, kemudian dikumpulkan dan disiapkan untuk diterbitkan menjadi buku, setelah dilakukan kurasi oleh Mardi Luhung. Kita tunggu saja hasil terbitannya.***