[:en]
Saya tidak bermaksud membesar-besarkan apa yang tengah dibangun di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. Saya hanya ingin menunjukkan betapa “musholla” dan “pendopo seni” bisa bersandingan dengan mesra. Musholla, bagaimanapun juga, merupakan representasi keagamaan, sedangkan pendopo seni adalah representasi ekspresi kultural.
Pada masa lalu, ini tentu bukan hal yang aneh. Lanskap kota warisan, selalu ditandai dengan dekatnya masjid dengan tempat keramaian, seperti pasar dan lapangan. Batas-batas saklek di antara dua kutub itu dirangkaikan secara fleksibel melalui aktivitas-aktivitas yang tidak saling menghujat, tetapi saling mengapresiasi. Bahkan banyak cerita tentang digunakannya kesenian untuk dakwah agama.
Di era pasca Reformasi yang ditandai dengan menguatnya komunitas-komunitas agama dengan tafsir sepihak-kaku-dogmatis, penyandingan dua bangunan tersebut, paling tidak, menjadi tanda ikonik yang mengusung simbol pertemuan dua kutub. Bahwa kegiatan agama merupakan hak individu, demikian pula dengan kegiatan kultural s UIeperti pelatihan seni dan sastra, diskusi, dan pentas. Keduanya tidak perlu dipertentangkan hanya atas nama doktrin yang dianggap paling benar. Toh, para pelaku atau pegiat kultural di Kampus sangat paham bagaimana pada waktu tertentu mereka harus rehat untuk menghormati mereka yang beribadah.
Salam dari Brang Wetan, 31/08/16
Ikwan Setiawan
Matatimoer Institute
[:]