Pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember
Pancasila sudah sekarat! Paling tidak, itulah ungkapan tragis untuk membaca dan memahami kondisi riil dari ideologi negara dan bangsa ini. Korupsi, kekerasan berbau agama maupun etnik, penderitaan minoritas, minimnya penghargaan terhadap pluralisme, ketimpangan pembangunan Barat-Timur, tingginya angka kemiskinan, maupun pertengkaran di DPR, menjadi bukti sekaratnya Pancasila sebagai pedoman hidup. Negara dan bangsa ini butuh konsep baru untuk memahami Pancasila.
Konsep Pancasila posdoktriner bisa menjadi alternatif dalam memahami dan menyebarkan Pancasila sebagai sebuah ideologi. “Posdoktriner” dalam tulisan ini meurpakan kondisi pemahaman yang “menembus dan melampaui” kekakuan Pancasila sebagai sebuah doktrin. Alih-alih sebagai kondisi yang meninggalkan atau melupakan kandungan luhur Pancasila, posdoktriner lebih dimaksudkan sebagai pemahaman baru yang mengkritisi pola dan model indoktrinasi yang dijalankan selama ini.
Konsep posdoktriner memberikan peluang bagi penyebarluasan kandungan nilai ideologis Pancasila dalam konteks kekinian. Harapannya, Pancasila akan bertransformasi dari “hafalan” menuju praktik representasi yang menghasilkan pengetahuan bersama sebagai sesuatu yang dibayangkan, dipahami, dan dijalankan. Representasi merupakan proses produksi makna melalui bahasa (Hall, 1997).
Melalui representasi, Pancasila sebagai ideologi bisa terus bertransformasi ke dalam medan dan praktik sosial-budaya masyarakat, tanpa harus menomorsatukan atau memberhalakannya sebagai sebuah nama. Pemberhalaan itulah yang menjadikan Pancasila sekedar sebagai istilah yang semakin sering diucapkan, tetapi semakin cepat kehilangan kekuatannya. Meminjam pemikiran Barthes (1983), Pancasila selama ini tidak bisa menyebar dengan konsep eks-nominasi—penyebaran ideologi dalam representasi yang wajar, menarik, tidak doktriner, sesuai dengan kebutuhan, serta ‘menomorsekiankan’ nama ideologi tersebut.
Kapitalisme menjadi contoh par exellence dari eks-nominasi ideologi, dari masa lampau hingga masa kini. Ungkapan-ungkapan sederhana seperti, “setiap orang butuh uang”, “waktu adalah uang”, “setiap orang ingin kaya”, maupun “hukum pasarlah yang penting” adalah rangkaian wacana yang hadir tidak sebagai doktrin, tetapi sebagai acuan berpikir—bahkan impian—bagi sebagian besar orang, dari pelosok dusun hingga kolong jembatan tol.
Dengan konsep posdoktriner dan representasi, penyebaran Pancasila sebagai ideologi perlu menimbang peran dan potensi strategis industri media/budaya. Mengapa? Masyarakat kita hari ini sudah masuk ke dalam budaya media yang menampilkan permainan bahasa—tekstual, visual, maupun audio-visual—serta menawarkan beragam nilai serta wacana.
Padahal, nilai-nilai ideologis Pancasila sangat mungkin disebarluaskan melalui media dan bisa menjadi tayangan yang menarik. Ilustrasi sederhana bisa diambil dari film Nagabonar Jadi Dua. Film ini, meskipun sangat populer, berhasil merepresentasikan wacana tentang indahnya ikatan keluarga antara bapak dan anak, relasi perempuan dan lelaki modern yang tidak harus terjebak dalam hubungan seks bebas, kritik terhadap neoliberalisme melalui keutamaan “kuburan sang istri” dibandingkan resor wisata, dan kritik terhadap kurangnya penghargaan terhadap nilai-nilai kepahlawanan. Bukankah itu semua sangat Pancasilais, meski tak sekalipun menyebut nama Pancasila di dalam film?
Selain film dan televisi, bentuk-bentuk lain industri media/budaya, seperti fashion, karya sastra, fotografi, majalah, buku, dan lain-lain, bisa menjadi alternatif untuk terus menyebarkan Pancasila secara posdoktriner. Tentu, dibutuhkan keluasan kritik, evaluasi, dan kreativitas dari para kreator dalam masing-masing bidang agar tidak kembali terjebak ke dalam permainan narasi atau tanda yang kaku. Perluasan bentuk dan medan edar dari Pancasila yang selalu diperbarui dan dikritisi diharapkan akan memperluas pula imajinasi dan penerimaan keutamaan nilai-nilai yang terkandung dalam ‘kegagahan burung garuda ini’.
Mestinya, pemerintah, DPR/MPR, maupun institusi-institusi lain yang masih punya kepedulian terhadap Pancasila, melakukan pendekatan dialogis dan persuasif terhadap para pekerja industri media/budaya agar berkenan memproduksi program atau narasi yang mampu merepresentasikan dan mentransformasikan kehadiran Pancasila sebagai sebuah cerita kritik maupun persuasif, bukan sebuah dogma. Apakah ini tidak mengembalikan media sebagai aparatus hegemonik negara?
Pemikiran kuasa hegemonik tidak selalu mengasumsikan kuasa sebagai praktik negatif, tetapi lebih pada makna konsensus dan produktivitas di mana kepemerintahan (governmentality) dibangun dari beragam wacana dan praktik yang terus diperbarui berdasar kondisi zaman, sehingga mampu menyuarakan kepentingan banyak pihak dalam negara. Toh, ketika ada usaha rezim untuk menelikung narasi sebagai alat untuk menutupi kebobrokan mereka, para pekerja media/industri budaya tetap bisa mengkritisi berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang lebih mengedepankan kejujuran dan demokrasi.
Kritik, evaluasi, dan narasi posdoktriner dalam media akan memperluas usaha untuk memanggil danmembangunkan kembali jiwa Pancasila yang sudah mulai hilang dari imajinasi, pikiran, dan hati masyarakat. Kelenturan menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang selalu diterima dan terterima oleh warga negara, bukan karena paksaan atau moncong senjata, tetapi karena mereka menemukan contoh-contoh yang tidak kaku dan menyatu dalam permasalahan hidup. Pancasila memang tidak hanya butuh doktrin, ia butuh representasi yang terus diperbarui agar tetap bisa dilihat, dinikmati, diresapi, untuk selanjutkan dijalankan. Semoga!
Bacaan pendukung
Barthes, Roland.1983. Mythology. New York: Hill and Wang.
Hall, Stuart.1997a. “The Work of Representation”, dalam Stuart Hall. Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University.