[:id]Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Komisariat Jember) menyiapkan Webinar rutin bulanan dengan tajuk NGONTRAS#5 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-5), dengan mendiskusikan tradisi lisan sebagai media pembelajaran. Ketika dihubungi, Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum., ketua HISKI Komisariat Jember, menjelaskan bahwa tradisi lisan merupakan khazanah budaya yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik untuk komunikasi, mempelajari muatan budaya, hingga sebagai media pembelajaran.
Dijelaskannya bahwa tradisi lisan pada umumnya memuat kearifan lokal, merepresentasikan mekanisme kultural, hingga mencerminkan pola pikir masyarakat lokal. Meskipun demikian, dengan perkembangan media, tradisi lisan mampu bertransformasi menjadi budaya yang profan dan populer. “Tradisi lisan bisa bertransformasi menjadi kelisanan sekunder, menjadi basis baru dalam mekanisme pembelajaran,” kata Heru, yang juga dosen di Jurusan Sastra Indonesia FIB UNEJ.
Acara akan digelar kerja sama antara HISKI Komisariat Jember, Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (Sind FIB UNEJ), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (FTIK UIN KHAS Jember), dan Kelompok Riset Pemaknaan Sosiologi Sastra (KeRis MAGISTRA), Sabtu mendatang (4/12/2021).
Pembicara yang akan menjadi narasumber adalah Dr. Gres Grasia Azmin, M.Si. dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta (FBS UNJ) dan Dr. Sukatman, M.Pd., dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember (FKIP UNEJ), dengan moderator Isnadi, S.S., M.Pd., anggota HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen di UIN KHAS Jember.
Gres Grasia Azmin ketika dihubungi menjelaskan bahwa tradisi lisan merupakan media yang sangat penting sebagai sarana pembelajaran, baik dalam konteks pembelajaran formal maupun nonformal. Di Nusantara cukup beragam produk kultural berupa tradisi lisan, sehingga potensial untuk dijadikan sebagai sarana pendidikan, misalnya pendidikan karakter ataupun multikultur.
Gres juga menjelaskan potensi tradisi silat Betawi berdasarkan kajian yang selama ini secara intensif digelutinya. Dikatakannya bahwa silat Betawi bukan sekadar alat bela diri, melainkan tumbuh dan berkembang bersama tradisi dan kesenian lainnya. Silat Betawi menjadi pakem wajib pada teater tradisional Lenong Betawi, juga pada upacara pernikahan orang Betawi sebagai “palang pintu”. “Dalam kesenian Ondel-ondel, pesilat menjadi pemain andalan karena stamina pesilat yang cukup baik,” kata Gres yang akrab dengan panggilan Ige.
Dalam silat Betawi aliran Beksi yang diteliti oleh Gres, silat sebagai tradisi lisan mengandung beragam fungsi. Fungsi yang dominan adalah fungsi edukasi. Dalam konteks pendidikan formal, fungsi tersebut dapat diimplementasikan sebagai pendidikan karakter, pendidikan multikultur, pendidikan seni, pendidikan sastra, pendidikan agama, pendidikan sejarah, dan berfungsi pula untuk kesehatan jasmani. “Fungsi-fungsi semacam itu telah diimplementasikan dalam perguruan silat betawi aliran Beksi. Tentu hal seperti ini juga sangat berpotensi untuk dimasukkan dalam pendidikan formal,” kata Gres optimis.
Gres juga mengungkapkan bahwa silat telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia oleh Unesco di Bogota pada tahun 2019. Tak lama lagi, tepatnya pada 12 Desember nanti, penetapan tersebut berarti telah genap berusia dua tahun. Selaku pemilik silat, sebuah bela diri yang dengan mudah ditemukan di banyak wilayah di Indonesia (dengan nama lokal yang berbeda-beda), menjadi kewajiban kita untuk melakukan pengembangannya.
Meskipun demikian, Gres mengakui bahwa perkembangan zaman telah mengakibatkan perubahan yang signifikan pada tradisi lisan. Pada masa lalu, tradisi lisan merupakan sarana pendidikan yang dominan. Namun, kini penggunaan tradisi lisan sebagai sarana edukasi telah mengalami pergeseran. “Seharusnya fungsi tradisi lisan tetap penting, baik dalam konteks masyarakat pemiliknya, maupun pada ranah pendidikan formal dan nonformal. Dalam fungsi tersebut, sebagai landasan dan koridor, maka perangkat aturan yang jelas dan mengikat dari pemerintah sangat diperlukan,” tegas Gres.
Sukatman ketika dihubungi mengungkapkan, betapa pentingnya upaya untuk merekonstruksi kebudayaan lokal. Disebutkannya bahwa wilayah “Tapal Kuda” di Jawa Timur, yang disebut sebagai “Mandalungan”, penting untuk dilakukan rekonstruksi, guna sebagai pengembangan industri wisata dan sumber belajar terpadu. Dirinya menjelaskan bahwa Mandalungan adalah sebuah komunitas yang berdiri sejak tahun Cahaya untuk menandai Raja Tangga naik takhta di negeri Nusantara mula-mula. Raja Tangga adalah dasanama dari Raja Matahari, Raja Cahaya, Raja Kala (Raksasa), atau Raja Cemara. “Komunitas Mandalungan menempati wilayah bernama Tapal Kuda sebagai keturunan Raja Kuda Putih atau Raja Sys,” kata Sukatman.
Lebih lanjut, Sukatman menjelaskan bahwa penerus Raja Kuda menamakan wilayahnya sebagai wilayah Tapal Kuda (“kaki kuda”) yang artinya anak cucu Raja Kuda dengan ditandai toponimi wilayah berunsur andha (tangga), melestarikan tarian kuda-kudaan (jaranan), dan batu purba berinisial kuda. Cerita raja-raja purba Nusantara (termasuk Mandalungan) muncul dalam mitologi, toponimi, dan batu purba yang isinya selaras dengan teks kuna Pustaka Raja Purwa di Jawa sebagai salah satu sumber cerita wayang purwa.
Sukatman juga memaparkan bahwa Mandalungan purba merupakan nenek moyang suku Using (huni singa) atau Raja Singa Kuna yang dikenal sebagai Raja Singa Adimaya Amiluhur (Singodimayan) atau Singa Melayu sekitar 1860 Pra Saka. “Dinastinya dilanjutkan oleh Raja Sela Mahesa Maya atau Raja Watu Kebo, yang ditandai ritual Kebo-keboan dan situs Kendhenglembu di Banyuwangi, Candi Nandi di Yogyakarta, dan Batu Munding Laya di Bandung Barat,” kata Sukatman.
Menurut Sukatman, Dinasti Melayu Purba berakhir tahun 1 Saka dan berlanjut ke Dinasti Saka. Kebudayaan tahun Saka ditandai tradisi Puter Kayun (empu terang rakai hayu hana) di Banyuwangi. “Sekarang, nama Mandalungan cenderung diartikan berbeda dengan Using. Mandalungan merupakan pertemuan antarsuku yang melahirkan budaya hibrida, yakni akulturasi antara Jawa, Madura, Bali, Mandar, dan Using,” jelas Sukatman.
Peserta yang akan mengikuti acara NGONTRAS#5, Sabtu, 4 Desember 2021, pukul 10.00—12.00 WIB (ruang zoom dibuka pukul 09.30 WIB), tidak perlu mendaftar dan cukup klik pada Join Zoom Meeting: https://bit.ly/NGONTRAS-5, Meeting ID: 936 3656 9739, Passcode: HISKI-JEMBER. Peserta yang belum masuk Grup WA, diharapkan masuk grup dengan tujuan untuk memudahkan mendapatkan informasi kegiatan NGONTRAS berikutnya, dengan klik https://bit.ly/GRUPC_NGONTRAS.
Peserta juga dapat mengunjungi Portal HISKI Jember untuk mengunduh secara gratis file buku dan prosiding, dengan klik http://hiskijember.fib.unej.ac.id/. Atau menyaksikan rekaman NGONTRAS sebelumnya melalui Kanal Youtube HISKI JEMBER OFFICIAL dengan klik https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.[:]