https://askitel.com/ https://karikatur-online.com/ https://heylink.me/Kudamas88.ID https://heylink.me/Kudamas88.Bonus https://sanwa.edu.vn/ Kudamas88 Livechat
https://kecamatangarutkota.com/ https://kepolisian.com/ https://informasidaerah.com/ https://www.hansberrygarden.com/ https://fib.unej.ac.id/ https://kerjasama.mercubuana.ac.id/wp-includes/files/
[:id]HISKI Jember Kembali Adakan Webinar, Bahas Sastra Posmodern[:] – FAKULTAS ILMU BUDAYA

[:id]HISKI Jember Kembali Adakan Webinar, Bahas Sastra Posmodern[:]

[:id]Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia & Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember (FKIP UNEJ), dan Circle for Critical Linguistic and Literary Studies (CCLLS), usai kembali adakan Webinar dengan tajuk NGONTRAS#7 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-7), Sabtu (12/2/2022).

Dengan tema “Sastra Posmodern,” webinar yang diselenggarakan via zoom meeting ini mengundang dua pembicara, Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., guru besar dari Universitas Negeri Malang, dan Hat Pujiati, S.S., M.A., dosen Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember, dengan moderator Siswanto, S.Pd., M.A., anggota HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen PBSI FKIP UNEJ, dan pewara Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum., anggota HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen Sastra Indonesia FIB UNEJ.

Dekan FKIP UNEJ yang berhalangan hadir diwakili oleh Wakil Dekan I, Drs. Nuriman, Ph.D. Dalam sambutannya, Nuriman menyampaikan bahwa persoalan literasi merupakan masalah yang fundamental bagi kompetensi generasi milenial. Sebagai bangsa yang besar, dengan jumlah lembaga pendidikan tinggi yang terus meningkat, menjadi tantangan tersendiri untuk memaksimalkan tradisi literasi kita. Masyarakat kita masih mengandalkan tampilan visual, sedangkan daya baca masih relatif rendah. “Budaya literasi secara umum mulai meningkat melalui HP dan media sosial lainnya, tetapi daya bacanya tetap belum maksimal. Ini yang perlu terus kita dorong,” tandas Nuriman.

Pembicara pertama, Djoko Saryono dalam presentasinya menjelaskan tiga kata kunci, yakni modern, pascamodern/posmodern, dan transmodern. Transmodern (transmodernisme/transmodernitas) menimba inspirasi pemikiran dari gerakan-gerakan filosofis besar, sehingga transmodernisme berkembang dari modernisme dan pascamodernisme. Kehadirannya bukan mengamini, tetapi mengkritik dan menyaingi serta memanfaatkan unsur-unsur tertentu pemikiran modernisme dan pascamodernisme. “Dalam ranah transmodernisme, persoalan spiritualitas, keesoterisan, transendentalitas, psikologi transpersonal, dan idealitas ditekankan, sedangkan pesimisme, nihilisme, relativisme, dan pencerahan akal yang menjadi watak dasar modernisme atau pascamodernisme dikritik,” jelas Djoko, ilmuwan sekaligus penyair.

Lebih lanjut, Djoko menjelaskan bahwa dibandingkan dengan gerakan modernisme dan pascamodernisme, secara garis besar gerakan transmodernisme memiliki karakteristik yang berbeda. Menurutnya, gerakan modernisme bercirikan dan berkutat pada: realitas, presensi, homogenitas, sentralitas, temporalitas, nalar, pengetahuan, nasional, global, imperialisme, monokultur, telos, hierarki, inovasi, ekonomi industrial, teritori, kota, ras, aktivitas, publik, gairah pribadi, spirit, atom, seks, maskulin, budaya tinggi, kelompok kreatif, kelisanan, karya, naratif, sinema, pers, galaksi gutenberg, dan kemajuan.

Sementara itu, gerakan pascamodernisme kerap dianggap memiliki ciri dan berkutat pada: simulakrum, absensi, heterogenitas, diseminasi, akhir sejarah, dekonstruksi, informasi skeptis, pascanasional, lokal, pascakolonialisme, trans-etnik, multikultur, permainan, anarki, keamanan, ekonomi pascaindustrial, ekstrateritori, suburban, kelas, ketuntasan, pribadi, hedonisme, tubuh, kuantum, erotisme, feminin, budaya massa, melampaui kelompok kreatif, tulisan, teks, visual, televisi, media massa, galaksi mcluhan, dan kembali masa lampau. “Secara komparatif, ketiga puluh lima ciri pokok pascamodernisme tersebut berbeda dari ciri pokok modernisme,” tandas Djoko.

Adapun transmodernisme, lanjut Djoko, diidentifikasi bercirikan dan berkutat pada: virtualitas, telepresensi, diversitas, jaringan, kualitas hidup, keunikan diri manusia, antifundamentalisme, transnasional, glokal, kosmopolitanisme, transkultur, strategi, kekacauan terpadu, masyarakat risiko, ekonomi pengetahuan, lintas batas, megalopolis, jaring individu, konektivitas statis, keakraban, kerjasama individu, cyborg, bit, sek siber (cybersex), transeksual, budaya massa terpaket, lintas kelompok kreatif, monitor, hiperteks, multimedia, komputer, internet, galaksi microsoft, dan fantasi akhir. “Karaktersitik transmodernisme berbeda dari modernisme dan pascamodernisme. Akan membawa kita kemanakah transmodernisme tersebut? Ke dermaga kemajuan dan kebahagiaan, atau justru fatamorgana baru?” pancing Djoko untuk direnungkan bersama.

Pembicara kedua, Hat Pujiati, dalam presentasinya memaparkan tahapan dalam sastra dan kebudayaan. Tahapan dalam kebudayaan disebutkannya dari masa Renaissance (tradisional), Pencerahan (modern), hingga Pascapencerahan (posmodern). Rentang kebudayaan dari tradisional ke modern ditandai dengan ciri-ciri yang bersifat time ciclic, kolektivisme, agama sebagai pencerah, myth, superstition, dan shaman. Hal tersebut bergeser ke ranah yang sifatnya progres (dialectical-hegel), individual, sekularisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi. “Rentang tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan senantiasa mengalami dinamika,” jelas Hat yang kini sedang menempuh studi S-3 di UGM.

Dijelaskan juga bahwa ranah kebudayaan dari tahap modern ke posmodern ditandai dengan pergeseran sifat dan kecenderungan, di antaranya sifat sentralistis, logosentris, fungsional, rasionalitas, universalisme, dan epistemolgis. Dalam memasuki era posmodern, karakteristik tersebut bergeser ke persoalan desentralisme, fragmentasi, eksperimentasi, rasional dan indigenous (re-enchantment), serta pluralisme ontologis.

Hat juga menjelaskan tahapan dalam sastra. Disebutkannya bahwa tahapan sastra tradisional memiliki sifat tidak jelas, irasional, dan ahistoris. Sastra modern memiliki sifat partikular (tertentu), rasional-empirik, dan historis. Sementara itu, sifat utama dalam sastra posmodern adalah ontologis. Hat secara khusus menjelaskan salah satu konsep fiksi posmodernisme yang dicetuskan Brian McHale, pakar dari Ohio State University. Disebutkannya bahwa kecenderungan posmodern dari McHale adalah pergeseran dari epistemologis ke ontologis. “Ontologis itu semesta. Deskripsi mengenai sebuah semesta. Ontologis menyangkut masalah cara-cara keberadaan atau modes of being, ini terkait dengan perspektif dalam filsafat” jelas Hat.

Ketua HISKI Komisariat Jember yang juga dosen FIB UNEJ, Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum., dalam keterangan yang disampaikan menjelang dimulainya acara, mengungkapkan bahwa NGONTRAS#7 memilih tema sastra posmodern karena masih banyak persoalan yang silang-sengkarut. “Sastra posmodern bukanlah tema baru, tetapi masih banyak persoalan yang perlu didiskusikan untuk pemahaman bersama,” kata Heru.

Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara audiens dan pembicara hingga acara berakhir. Acara ditutup dengan pantun oleh pewara. Bunga yang runtuh tetap mewangi, karena masih akan ada kehidupan. Bulan depan kita akan berjumpa lagi, dalam acara NGONTRAS ke delapan. Disambung dengan: Menjumpai Prof Djoko di kota Malang, di Jember kita menemui Bu Hat Pujiati. HISKI Jember akan semakin cemerlang, karena NGONTRAS akan selalu ada di hati.

Rekaman dapat disimak ulang di kanal Youtube HISKI JEMBER OFFICIAL: https://youtu.be/YWZmcwoiRR0.[:en]HISKI Jember Kembali Adakan Webinar, Bahas Sastra Posmodern

Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia & Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember (FKIP UNEJ), dan Circle for Critical Linguistic and Literary Studies (CCLLS), usai kembali adakan Webinar dengan tajuk NGONTRAS#7 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-7), Sabtu (12/2/2022).

Dengan tema “Sastra Posmodern,” webinar yang diselenggarakan via zoom meeting ini mengundang dua pembicara, Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., guru besar dari Universitas Negeri Malang, dan Hat Pujiati, S.S., M.A., dosen Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember, dengan moderator Siswanto, S.Pd., M.A., anggota HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen PBSI FKIP UNEJ, dan pewara Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum., anggota HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen Sastra Indonesia FIB UNEJ.

Dekan FKIP UNEJ yang berhalangan hadir diwakili oleh Wakil Dekan I, Drs. Nuriman, Ph.D. Dalam sambutannya, Nuriman menyampaikan bahwa persoalan literasi merupakan masalah yang fundamental bagi kompetensi generasi milenial. Sebagai bangsa yang besar, dengan jumlah lembaga pendidikan tinggi yang terus meningkat, menjadi tantangan tersendiri untuk memaksimalkan tradisi literasi kita. Masyarakat kita masih mengandalkan tampilan visual, sedangkan daya baca masih relatif rendah. “Budaya literasi secara umum mulai meningkat melalui HP dan media sosial lainnya, tetapi daya bacanya tetap belum maksimal. Ini yang perlu terus kita dorong,” tandas Nuriman.

Pembicara pertama, Djoko Saryono dalam presentasinya menjelaskan tiga kata kunci, yakni modern, pascamodern/posmodern, dan transmodern. Transmodern (transmodernisme/transmodernitas) menimba inspirasi pemikiran dari gerakan-gerakan filosofis besar, sehingga transmodernisme berkembang dari modernisme dan pascamodernisme. Kehadirannya bukan mengamini, tetapi mengkritik dan menyaingi serta memanfaatkan unsur-unsur tertentu pemikiran modernisme dan pascamodernisme. “Dalam ranah transmodernisme, persoalan spiritualitas, keesoterisan, transendentalitas, psikologi transpersonal, dan idealitas ditekankan, sedangkan pesimisme, nihilisme, relativisme, dan pencerahan akal yang menjadi watak dasar modernisme atau pascamodernisme dikritik,” jelas Djoko, ilmuwan sekaligus penyair.

Lebih lanjut, Djoko menjelaskan bahwa dibandingkan dengan gerakan modernisme dan pascamodernisme, secara garis besar gerakan transmodernisme memiliki karakteristik yang berbeda. Menurutnya, gerakan modernisme bercirikan dan berkutat pada: realitas, presensi, homogenitas, sentralitas, temporalitas, nalar, pengetahuan, nasional, global, imperialisme, monokultur, telos, hierarki, inovasi, ekonomi industrial, teritori, kota, ras, aktivitas, publik, gairah pribadi, spirit, atom, seks, maskulin, budaya tinggi, kelompok kreatif, kelisanan, karya, naratif, sinema, pers, galaksi gutenberg, dan kemajuan.

Sementara itu, gerakan pascamodernisme kerap dianggap memiliki ciri dan berkutat pada: simulakrum, absensi, heterogenitas, diseminasi, akhir sejarah, dekonstruksi, informasi skeptis, pascanasional, lokal, pascakolonialisme, trans-etnik, multikultur, permainan, anarki, keamanan, ekonomi pascaindustrial, ekstrateritori, suburban, kelas, ketuntasan, pribadi, hedonisme, tubuh, kuantum, erotisme, feminin, budaya massa, melampaui kelompok kreatif, tulisan, teks, visual, televisi, media massa, galaksi mcluhan, dan kembali masa lampau. “Secara komparatif, ketiga puluh lima ciri pokok pascamodernisme tersebut berbeda dari ciri pokok modernisme,” tandas Djoko.

Adapun transmodernisme, lanjut Djoko, diidentifikasi bercirikan dan berkutat pada: virtualitas, telepresensi, diversitas, jaringan, kualitas hidup, keunikan diri manusia, antifundamentalisme, transnasional, glokal, kosmopolitanisme, transkultur, strategi, kekacauan terpadu, masyarakat risiko, ekonomi pengetahuan, lintas batas, megalopolis, jaring individu, konektivitas statis, keakraban, kerjasama individu, cyborg, bit, sek siber (cybersex), transeksual, budaya massa terpaket, lintas kelompok kreatif, monitor, hiperteks, multimedia, komputer, internet, galaksi microsoft, dan fantasi akhir. “Karaktersitik transmodernisme berbeda dari modernisme dan pascamodernisme. Akan membawa kita kemanakah transmodernisme tersebut? Ke dermaga kemajuan dan kebahagiaan, atau justru fatamorgana baru?” pancing Djoko untuk direnungkan bersama.

Pembicara kedua, Hat Pujiati, dalam presentasinya memaparkan tahapan dalam sastra dan kebudayaan. Tahapan dalam kebudayaan disebutkannya dari masa Renaissance (tradisional), Pencerahan (modern), hingga Pascapencerahan (posmodern). Rentang kebudayaan dari tradisional ke modern ditandai dengan ciri-ciri yang bersifat time ciclic, kolektivisme, agama sebagai pencerah, myth, superstition, dan shaman. Hal tersebut bergeser ke ranah yang sifatnya progres (dialectical-hegel), individual, sekularisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi. “Rentang tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan senantiasa mengalami dinamika,” jelas Hat yang kini sedang menempuh studi S-3 di UGM.

Dijelaskan juga bahwa ranah kebudayaan dari tahap modern ke posmodern ditandai dengan pergeseran sifat dan kecenderungan, di antaranya sifat sentralistis, logosentris, fungsional, rasionalitas, universalisme, dan epistemolgis. Dalam memasuki era posmodern, karakteristik tersebut bergeser ke persoalan desentralisme, fragmentasi, eksperimentasi, rasional dan indigenous (re-enchantment), serta pluralisme ontologis.

Hat juga menjelaskan tahapan dalam sastra. Disebutkannya bahwa tahapan sastra tradisional memiliki sifat tidak jelas, irasional, dan ahistoris. Sastra modern memiliki sifat partikular (tertentu), rasional-empirik, dan historis. Sementara itu, sifat utama dalam sastra posmodern adalah ontologis. Hat secara khusus menjelaskan salah satu konsep fiksi posmodernisme yang dicetuskan Brian McHale, pakar dari Ohio State University. Disebutkannya bahwa kecenderungan posmodern dari McHale adalah pergeseran dari epistemologis ke ontologis. “Ontologis itu semesta. Deskripsi mengenai sebuah semesta. Ontologis menyangkut masalah cara-cara keberadaan atau modes of being, ini terkait dengan perspektif dalam filsafat” jelas Hat.

Ketua HISKI Komisariat Jember yang juga dosen FIB UNEJ, Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum., dalam keterangan yang disampaikan menjelang dimulainya acara, mengungkapkan bahwa NGONTRAS#7 memilih tema sastra posmodern karena masih banyak persoalan yang silang-sengkarut. “Sastra posmodern bukanlah tema baru, tetapi masih banyak persoalan yang perlu didiskusikan untuk pemahaman bersama,” kata Heru.

Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara audiens dan pembicara hingga acara berakhir. Acara ditutup dengan pantun oleh pewara. Bunga yang runtuh tetap mewangi, karena masih akan ada kehidupan. Bulan depan kita akan berjumpa lagi, dalam acara NGONTRAS ke delapan. Disambung dengan: Menjumpai Prof Djoko di kota Malang, di Jember kita menemui Bu Hat Pujiati. HISKI Jember akan semakin cemerlang, karena NGONTRAS akan selalu ada di hati.

Rekaman dapat disimak ulang di kanal Youtube HISKI JEMBER OFFICIAL: https://youtu.be/YWZmcwoiRR0.
[:]

Related Posts

http://103.147.222.22/ https://sisbpn.petrolab.co.id/ https://survey.petrolab.co.id/pulsa/ http://jdih-aceh-dev.kemenkumham.go.id/ http://dev-realisasi.stipjakarta.ac.id/ https://efinger.bkpp.gorontalokota.go.id/ https://lppm.nurulfikri.ac.id/ https://sierik.bkpp.gorontalokota.go.id/ http://kebunraya.balikpapan.go.id/ https://dev-sido.sebi.ac.id/ https://wginc.com/ https://jdih.majalengkakab.go.id/ slotpulsa