[:id]Chairil Anwar yang dikenal sebagai penyair “Binatang Jalang” adalah penyair pelopor. Bukan sekadar pelopor Angkatan ’45, sebagaimana yang selama ini kita ketahui, tetapi pelopor penyair Indonesia. Di barisan penyair Indonesia, dia adalah pelopor, yakni pelopor penyair Indonesia.
Demikian salah satu rangkuman Webinar Nasional melalui Zoom Meeting dalam memperingati “100 tahun” Chairil Anwar, yang diselenggarakan oleh Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember), Sabtu (2/4/2022).
Webinar dengan tajuk NGONTRAS#9 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-9) yang bertema “Meneruskan Pemikiran Chairil Anwar” ini diselenggarakan kerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (FTIK UIN KHAS Jember), dan Kelompok Riset Pertelaahan Sastra Konteks Budaya (KeRis PERSADA).
Dua narasumber yang dihadirkan, yakni Prof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., Ph.D., Guru Besar sekaligus Koordinator Prodi S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana (UNUD), dan Isnadi, S.S., M.Pd. (dosen UIN KHAS Jember). Acara dipandu moderator Dra. Supiastutik, M.Pd., dan pewara Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum.; keduanya dosen FIB UNEJ dan anggota HISKI Jember. Webinar dibuka secara resmi oleh Dekan FTIK UIN KHAS Jember, Prof. Dr. Mukni’ah, M.Pd.I., yang sekaligus memberi sambutan.
I Nyoman Darma Putra, sebagai pembicara pertama, menjelaskan bahwa sosok Chairil Anwar adalah sosok pelopor penyair Indonesia. Di dalam diri dan karya-karyanya penuh dengan paradoks. Disebutkannya bahwa potret Chairil adalah potret rapuh, sekaligus potret utuh. Diri Chairil yang rapuh, sekaligus menunjukkan karakter yang utuh.
Darma juga memaparkan bahwa puisi-puisi Chairil penuh dengan paradoks. Setidaknya ada tujuh paradoks, yakni penyair pelopor versus penyair plagiat, sosok melarat versus keluarga pejabat, hidup hanya menunda kekalahan versus mau hidup 1000 tahun lagi, puisi melankolis versus puisi nasionalis, dituduh Lekra sebagai eksistensialis a-politis versus puisi materialis politis, revolusi bentuk versus daur ulang pantun (imitasi versus kreasi), dan memperkosa bahasa versus memperkasa bahasa.
“Dari tujuh paradoks Chairil, yang menarik adalah antara ‘memperkosa’ dan ‘memperkasa’ bahasa. Dalam puisi-puisi Chairil banyak ungkapan yang terasa aneh. Terasa ada pemaksaan bahasa. Tetapi ternyata menjadi penguat bahasa. Pemerkasa bahasa. Jadi, dia memperkuat, memperkasa, memperkaya bahasa,” kata Darma yang pernah menjadi wartawan Bali Post.
Darma juga menjelaskan bahwa Chairil tetap menjadi bagian dari masa kini, bahkan masa depan kita. Karya-karya Chairil mengundang kita untuk melakukan pemaknaan baru, sesuai konteks dinamika zaman. “Kita dapat melakukan kajian dengan pemaknaan baru. Ada unsur dekonstruksi, poskolonial, dan gender yang bisa kita gali dari puisi-puisi Chairil,” jelas Darma
Isnadi, sebagai pembicara kedua, memaparkan bahwa puisi-puisi Chairil Anwar menekankan potensi kebahasaan, sehingga puisinya mewujud sebagai puisi teks, bukan sebagai puisi pertunjukan. Tidak ada pengaruh pola bunyi atau aspek musikal untuk kenyamanan pembacaan. Juga tidak ada unsur dramatisasi. Disebutkannya bahwa disiplin Chairil adalah penulisan puisi sebagai teks.
Isnadi juga menekankan bahwa latar belakang biografis Chairil berpengaruh pada karya-karyanya. Chairil berasal dari keluarga yang pecah dan bercerai, ketika dirinya masih berusia sekitar 15 tahun. Hal itu, menurut Isnadi, berimplikasi pada independensi diri dan sisi muram dalam puisi-puisi Chairil. “Yang menjadi kemuraman terbesar sekaligus semangat yang paling tinggi, adalah bukan kematian, tetapi persoalan kerelaan menerima segala,” kata Isnadi, dosen UIN KHAS Jember, sekaligus penyair sejak menjadi mahasiswa UNEJ.
Di sisi lain, dijelaskan juga oleh Isnadi bahwa fasilitas bacaan yang memadai menjadi identifikasi diri bagi Chairil. Jadi, ada dunia lain yang ditemukan Chairil, selain dunia realitas. Dikemukakan juga bahwa Chairil cenderung menggunakan bahasa campur aduk dan tidak tunduk pada sistem yang utuh dan tertib. Juga tidak berindah-indah dan melenakan. “Chairil menolak menjadi epigon. Dia melakukan optimalisasi daya kata dan frasa. Perangkat dan gaya ungkapnya mengejutkan,” jelas Isnadi.
Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum., ketua HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen FIB UNEJ, ketika dihubungi, menjelaskan bahwa Chairil Anwar adalah penyair legendaris dan fenomenal. Pemikiran yang terekspresikan dalam puisi-puisinya perlu didiskusikan untuk memantik pemaknaan baru. “Puisi-puisi Chairil selalu relevan, bukan hanya dengan masa kini, tetapi juga masa depan. Kita maknai ulang, untuk menemukan makna baru, sesuai dinamika dunia sastra,” kata Heru.
Acara NGONTRAS#9 dihadiri 325 peserta, berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Meskipun demikian, rekaman NGONTRAS#9 dapat disimak ulang melalui Kanal Youtube HISKI JEMBER OFFICIAL dengan klik tautan: https://www.youtube.com/watch?v=o8bIT9zxgbk&t=166s.
Sesi penutupan dilakukan oleh pewara dengan pantun: Universitas Udayana memiliki Prof. Darma, sedangkan UIN KHAS memiliki Pak Isnadi. Bulan depan kita akan tetap bersua, dalam NGONTRAS ke-10 yang selalu di hati. ***[:]