Dalam era reformasi, meskipun terjadi kelonggaran tatanan sosial, masih merefleksikan ketidakadilan gender. Sejak zaman dulu, kini, hingga gen z, ketidakadilan gender berakar daridampak sistem patriarki. Tidak dapat dimungkiri, masih perlu perjuangan panjang untuk menuju kesetaraan gender.
Demikian rangkuman webinar penutup tahun 2023 yang menyoal ideologi gender. Webinar NGONTRAS#29 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-29) tersebut dilaksanakan atas kerja sama Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ), Jurnal Semiotika, Kelompok Riset Pertelaahan Sastra Konteks Budaya (PERSADA), Kelompok Riset Media, Budaya, & Gender (MEDAGEN), dan Kelompok Riset Okara: Bahasa dan Sastra Madura (OKARA), Sabtu (16/12/2023).
Dalam webinar rutin bulanan secara daring tersebut, HISKI Jember mengundang pakar kajian gender Prof. Dr. Yulianeta, M.Pd. (FPBS Universitas Pendidikan Indonesia) dan Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum. (FIB Universitas Jember). Webinar dipandu oleh moderator Dina Merdeka Citraningrum, M.Pd. dosen PBSI Universitas Muhammadiyah Jember sekaligus anggota HISKI Jember. Pewara Fatmawati dan host Novianti Pratiwi, keduanya mahasiswa FIB UNEJ. Kegiatan webinar dibuka secara resmi oleh Ketua Jurusan Sastra Indonesia FIB UNEJ, Dr. Agustina Dewi Setyari, S.S., M.Hum.
Agustina Dewi Setyari, dalam sambutannya, menekankan pentingnya belajar bersama melalui forum-forum webinar, agar dapat meng-update perkembangan ilmu dan kajian terbaru. Diungkapkan bahwa forum semacam ini menjadi media untuk mengeksplorasi ideologi gender. Menurutnya, ideologi gender merupakan cara pandang yang penting. “Ideologi gender bukan hanya sebagai pisau bedah dalam bidang bahasa, sastra, dan budaya, atau sosial humaniora, tetapi sudah mulai digunakan sebagai pisau analisis dalam fenomena bidang sains dan teknologi,” jelas Dewi.
Yulianeta (yaneta@upi.edu) yang mempresentasikan materi berjudul “Ideologi Gender dalam Novel IndonesiaEra Reformasi” menekankan pentingnya kajian yang utuh tentang refleksi ideologi gender dalam sastra. Materi yang bersumber dari karya disertasi tersebut didasari asumsi bahwa era reformasi merupakan era perubahan, termasuk perubahan cara pandang. Dengankelonggaran tatanan sosial dalam masyarakat, idealnya akan tercermin pandangan kesetaraan gender, meskipun dalam realitasnya masih merefleksikan ketidakadilan gender.
Dari novel-novel yang dikaji, yakni Saman, Geni Jora, Kitab Omong Kosong, Nayla, Putri Cina, Tanah Tabu, Tempurung, dan Jatisaba, dengan perpaduan perspektif sosiologi sastra, hegemoni Gramsci, dan gender, menemukan beberapa ideologi, yakni ideologi patriarki, ideologi familialisme, ideologi ibuisme, ideologi umum yang seksis, dan ideologi feminis. “Ideologi patriarki masih dominan dibanding ideologi-ideologi lainnya. Meskipun demikian, pengarang sebagai intelektual organik, melalui karyanya menginginkan perubahan pada kemapanan dan kekokohan sistempatriarki tersebut,” jelas Neta, panggilan akrab Yulianeta, yang memiliki pengalaman sebagai pengajar tamu di SOAS University of London,Nanzan University, Jepang, Universitas Kebangsaaan Guang Xi China, UUM Malasyia, dan Busan University of Foreign Studies (2018—2023).
Dalam merespons audiens, Yulianeta menekankan bahwa kajiannya juga memanfaatkan kajian yang dilakukan Prof. Nasaruddin Umar tentang kesetaraan gender dalam perspektif Al-Qur’an. Diungkapkannya bahwa ajaran Islam telah menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki tanggung jawab yang setara dalam kehidupan. Sementara itu, dalam masyarakaat matriarki, misalnya di Padang, idealnya yang berkuasa adalah perempuan. Namun, dijelaskannya bahwa dalam kenyataan praktik kesehariannya lebih bersifat patriarki. “Artinya, idealnya matriarki, tetapi tetap saja mempraktikkan patriarki,” ungkap Neta, yang mempublikasikan artikel terbarunya “Shame culture and the prevention of sexual harassment in university: A case study in Indonesia” (RJAH, Scopus, 2023).
Dalam merespons audiens yang lain, Yulianeta menegaskan bahwa konsep feminisme yang diungkap oleh pengarang tidak bersifat tunggal. Tetapi berdasarkan tanggapan pengarang terhadap paham-paham atau isme-isme yang hadir. Dicontohkannya tentang Seno Gumira Ajidarma. “Dalam mengungkap feminisme pada novel-novelnya, Seno tidak berangkat dari konsep feminisme Perancis, Eropa Barat, atau Amerika Utara, melainkan dari pengetahuan lokal yang dirasakannya sebagai sebuah ketidakadilan,” tegas Neta, yang menulis buku Ideologi Gender dalam Novel Indonesia (2021).
Zahratul Umniyyah (zahra.fib@unej.ac.id), yang memaparkan materi berjudul “Perempuan-Perempuan dalam Tempurung di Lingkaran Patriarki,” menekankan pentingnya perjuangan perempuan melalui tulisan atau bahasa. Materi yang bersumber dari karya tesisnya tersebut menjadi salah satu refleksi novel-novel Oka Rusmini tentang perjuangan kesetaraan gender. Dengan kajianecriture femininedari Hélène Cixous, novel Tempurung menyuarakan revolusi perempuan melalui teks, bahwa bahasa memiliki peranan penting bagi perempuan untuk menyuarakan dirinya.
Dijelaskannya bahwa Oka Rusmini yang memiliki kepedulian tentang ideologi gender telah lama berjuang melalui karya sartra yang dihasilkannya. Karyanya banyak mengkritisi persoalan ketimpangan sosial bagi perempuan di Bali. Sebaliknya, tidak sedikit yang mengkritisi balik terhadap pandangan dan narasi dari Oka Rusmini. Di dalam novel Tempurung, Oka Rusmini menyuarakan dengan mendialogkan persoalan ideologi gender melalui tokoh perempuan masa kini dan masa lalu. “Suara-suara perempuan yang diungkap Oka Rusmini dapat diklafisikasikan menjadi tiga, yakni suara perempuan yang terkungkung, suara perempuan yang belum tegas menentukan pilihan, dan suara perempuan yang melakukan resistensi,” jelas Zahraniya atau Niya, panggilan akrab Zahratul Umniyyah,yang juga editor pada Journal of Feminism and Gender Studies (JFGS) danSemiotika: Jurnal Ilmu Sastra dan Linguistik.
Dalam merespons audiens, Zahraniya menjelaskan bahwa sejak zaman dulu, kini, hingga gen z, ketidakadilan gender berakar dari dampak sistem patriarki.Sistem patriarki berimplikasi pada klasifikasi atau pengkotak-kotakan, ada yang superior dan inferior. Hal tersebut yang mengakibatkan ketidakadilan gender. Dijelaskannya bahwa dalam novel Tempurung karya Oka Rusmini, ketidakadilan gender tidak hanya terjadi pada masa lampau, tetapi juga masa kini.
Di bagian lain, diungkapkan bahwa terdapat ending yang menyuarakan perempuan, khususnya yang telah melakukan resistensi, baik resistensi terhadap kasta, terhadap kuasa laki-laki, maupun terhadap ikatan pernikahan. Dalam novel-novel lain yang ditulis Oka Rusmini, juga cenderung telah memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi perempuan, baik yang menyangkut tokoh utama perempuan maupun tokoh utama laki-laki.“Meskipun demikian, masih perlu perjuangan panjang untuk menuju kesetaraan gender,” tegas Zahraniya, yang menulis buku bersama tim, Mengenal dan Mencegah Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (2022).
Webinar NGONTRAS#29 yang dihadiri 300-an partisipan, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Sesi penyerahan sertifikat secara simbolis dilakukan oleh Dra. Supiastutik, M.Pd. kepada kedua narasumber.
Moderator dan pewara menutup acara dengan pantun. Pria dan wanita sama berdaya, ideologi gender memperkuat arahnya. Peran tak terbatas tak terkekang waktu, ideologi gender menuju masa depan yang jitu. Bangun pagi menjadi rutinitas sehari-hari, sarapan roti ditemani susu hangat. Terima kasih untuk para pemateri, yang telah berdiskusi dengan semangat. Buku lama kini berdebu, dibersihkan dan diberikan pada yang butuh. Jika rindu sudah menggebu, tunggulah kami di NGONTRAS#30. Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.***