Undang Akademisi UGM dan UNEJ, HISKI Jember Diskusikan Sastra Poskolonial

Dalam webinar rutin bulanan dengan tajuk NGONTRAS#14 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-14), Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) mengundang akademisi dari UGM dan UNEJ. Keduanya menjadi narasumber dalam mendiskusikan persoalan sastra poskolonial. Diungkapkan bahwa kajian poskolonial tidak hanya menyangkut persoalan bahasa, sejarah, dan nasionalisme yang direpresentasikan oleh karya sastra, tetapi juga persoalan politik tubuh, ruang/tempat, dan hibriditas. Selain itu, eksotisme sebagai wacana juga menjadi persoalan penting dalam kajian poskolonial.

Demikian rangkuman pembahasan dalam webinar dengan tema “Sastra Poskolonial.” Webinar secara daring tersebut diselenggarakan kerja sama HISKI Jember dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember (FKIP UMJ), Jurnal Semiotika, dan Kelompok Riset Sastra Humaniora (KeRis SASHUM), Sabtu (24/9/2022).

Akademisi yang diundang sebagai pembicara adalah Dr. Sudibyo, M.Hum., dosen sekaligus Ketua Departemen Bahasa dan Sastra FIB UGM. Bidang kajian yang ditekuni adalah filologi (kolonial), sastra sejarah, dan sastra kolonial-poskolonial. Diundang juga Abu Bakar Ramadhan Muhamad, S.S., M.A. dosen FIB UNEJ sekaligus anggota Kelompok Riset Sastra Humaniora (SASHUM), yang menekuni kajian poskolonial. Moderator adalah Nurul Ludfia Rochmah, S.Pd., M.Pd., anggota HISKI Jember sekaligus guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Banyuwangi. Saat ini, Nurul adalah satu-satunya anggota HISKI Jember yang berasal dari unsur guru dan satu-satunya yang berasal dari luar Jember. Adapun pewara adalah Muhammad Rizqi Hasan, mahasiswa Sastra Indonesia FIB UNEJ.

Dalam sambutannya yang telah direkam sebelumnya, Koordinator Prodi PBSI FKIP Universitas Muhamadiyah Jember, Agus Milu Susetyo, S.Pd., M.Pd., mengungkapkan betapa pentingnya kajian sastra poskolonial. Hal itu akan membuka wawasan kita tentang paradigma superioritas dan inferioritas, paradigma tentang pandangan Barat dan Timur. “Paparan dari narasumber akan membuka wawasan pengetahuan kita tentang cara pandang tersebut,” kata Agus.

Sudibyo, sebagai pembicara pertama, mengawali presentasi dengan menjelaskan ruang lingkup poskolonialisme. Disebutkan bahwa kajian tersebut menunjuk pada nama bagi pengelompokan bangsa-bangsa pasca-kemerdekaan, wujud oposisional praktik membaca, atau aktivitas kesastraan yang lahir dari studi sastra persemakmuran. Dijelaskan bahwa pembacaan poskolonial adalah cara membaca dan membaca kembali, baik teks metropolitan maupun kebudayaan kolonial, untuk mencermati kemutlakan dan intensitas efek kolonisasi pada produksi sastra. “Termasuk juga pada catatan antropologis, catatan historis, tulisan ilmiah, dan tulisan administratif,” kata Sudibyo, yang menjadi dosen tamu pada Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), di Tokyo, Jepang (2004—2006).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembacaan poskolonial merupakan bentuk pembacaan dekonstruktif yang biasanya diterapkan pada karya-karya penjajah (bisa juga terjajah) untuk menunjukkan keluasan teks-teks itu menyangkal asumsi-asumsi (peradaban, keadilan, estetika, sensibilitas, ras) yang mendasarinya dan mengungkapkan (sering tanpa disadari) ideologi dan proses kolonialis.

Situs kajian poskolonialisme di antaranya terkait dengan politik tubuh. Disebutkan bahwa politik tubuh menyangkut persoalan bagaimana tubuh dikontrol, bagaimana tubuh diperlakukan, bagaimana perbedaan fisik dideskripsikan, termasuk warna kulit, jenis rambut, bentuk mata, dan bentuk hidung. “Semua itu bermuara pada penguasaan,” jelas Sudibyo, yang juga Ketua HISKI Komisariat UGM.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan ruang atau tempat, Sudibyo menjelaskan, di antaranya perasaan salah tempat karena berada di negeri jajahan (penjajah), atau perasaan terasing akibat perpindahan yang dipaksakan, perbudakan, dan pekerjapaksaan. Di sisi lain, kajian juga dapat diarahkan pada kartografi (pemetaan) ruang-ruang yang dianggap kosong, seperti tera incognita, tera nulius. “Dalam konteks ini, pembacaan kolonial juga menyangkut penamaan dan imperialisme ekologis,” kata Sudibyo.

Dalam hal hibriditas, kajian poskolonial menyoal penciptaan bentuk-bentuk transkultural baru dalam zona kontak sebagai akibat dari kolonisasi. Juga, hubungan penjajah-terjajah yang bersifat mutualistis dan saling bergantung, serta berkaitan dengan ruang “antara”. Sementara itu, dalam hal identitas, hibriditas kultural mengacu pada kenyataan bahwa kebudayaan bukan merupakan fenomena yang terpisah dari yang lain, melainkan selalu dalam kaitannya dengan kebudayaan yang lain. Kontak ini menyebabkan terjadinya percampuran budaya. “Klaim bahwa ada kebudayaan asli atau autentik dengan sendirinya runtuh karena semua kebudayaan adalah tidak asli,  campuran, dan hibrid,” jelas Sudibyo.

Kemudian Sudibyo mencontohkan hasil kajiannya terhadap novel-novel yang memuat dimensi poskolonialisme, yakni novel Kuli dan novel Berpacu Nasib di Kebun Karet, keduanya karya Madelon Szekely-Lulofs. Juga novel Rubber karya Jeyamohan dan novel Oeroeg karya Hella Haasse. Novel Kuli mengungkapkan kesewenang-wenangan kolonial terhadap bangsa Bumi Putra, dengan politik tubuh. Novel Berpacu mengungkapkan dimensi poskolonial dengan memetakan ruang kosong. Novel Rubber menyoal sisi poskolonial dengan mengungkapkan persoalan salah tempat. Sementara itu, novel Oeroeg mengungkapkan dimensi hibriditas. “Novel-novel tersebut menunjukkan fenomena poskolonialisme,” jelas Sudibyo.

Abu Bakar Ramadhan Muhamad, sebagai pembicara kedua, memaparkan bahwa poskolonialisme merupakan upaya menilik ulang, mengingat, dan menyelidiki masa lalu kolonial, mengungkapkan hubungan antagonisme dan hasrat resiprokal antara penjajah (coloniser) dan yang dijajah (colonized). Kajian tersebut difokuskan pada godaan rentan budaya kolonial yang masih ada, khususnya formasi wacana yang membentuk pola-pola dominasi sebagai dampak kolonialisme.

Dijelaskannya bahwa poskolonialisme terkait dengan proses konstruksi budaya menuju budaya “putih global”. Kebudayaan kulit putih dipandang sebagai acuan perkembangan semua budaya. Disebutkan bahwa proses seperti itu, yang biasanya bersifat emansipatif,  masih tetap berlangsung meskipun penguasaan kulit putih atas sebuah negara berakhir.

Sebagai suatu strategi pembacaan, dijelaskan bahwa poskolonialisme mengkaji elemen-elemen internal yang tersubordinasikan pada masyarakat terjajah, yang masih ada dan terjaga oleh eksklusi-eksklusi dalam budaya masyarakat sipil poskolonial. Selain itu, juga mengungkapkan representasi-representasi wacana dominan. “Poskolonial juga menunjukkan perbedaan dan retakan dalam hubungan kekuasaan. Antara yang mendominasi dan yang didominasi, yang masih berlangsung di era pascakolonial,” jelas Abu Bakar, yang juga menjadi anggota Kelompok Riset Sastra Humaniora (SASHUM).

Sementara itu, eksotisme dalam poskolonialisme berupaya membaca ulang pengaruh budaya kolonial (penjajah) yang masih melekat kuat dalam budaya masyarakat di bekas wilayah koloni jajahannya. Hal tersebut disebabkan, di satu sisi peradaban global Barat dengan ciri-ciri kolonial yang tetap bertahan/dipertahankan dalam masyarakat bangsa bekas jajahan. Di sisi lain, ciri-ciri kultural dan politik lokal tertentu yang dominan, yang tampil ke permukaan dan memegang kendali, cenderung secara tidak sadar tidak lepas dari segala efek kolonial yang melekat padanya.

Pengaruh tersebut selain menimbulkan ketimpangan dalam praktik-praktik kekuasaan di negara bekas jajahan, juga tidak terhindarkan kemudian munculnya gagasan-gagasan perlawanan terhadapnya. “Hanya saja, perlawanan tersebut secara kultural cenderung berorientasi kolonial, termasuk dalam karya sastra,” kata Abu, yang pernah meneliti “Wacana Kolonial dalam Novel Max Havelaar.”

Abu Bakar kemudian memaparkan hasil kajiannya tentang eksotisme terhadap novel Ronggeng Duku Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari. Dijelaskannya bahwa eksotisme dalam RDP menekankan pada eksotisme alam. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa alam ditampilkan sebagai yang berdaulat dan sentralisasi kedaulatan alam atas manusia. Di sisi lain, diungkapkan pula bahwa eksotisme alam yang khas akan memberikan pula kepada manusia di sekitarnya kehidupan yang juga khas. Subjek Dukuh Paruk adalah subjek yang terdomestikasi. “Dukuh Paruk sebagai the Other menunjukkan subjek eksotis, dengan segala romansa alami, yakni unik dan primitif,” jelas Abu Bakar, yang artikel terbarunya berjudul “Resistensi dalam Novel Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo: Kajian Poskolonial.”

Acara NGONTRAS#14 yang diikuti 320-an peserta, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Sesi penutupan dilakukan oleh pewara dengan pantun: Bulan bintang terlukis di angkasa, seperti cinta tertanam di dada. Terima kasih hadirin semua, berwebinar Sabtu dengan ceria. Dilanjutkan dengan: Kilau cinta melebihi emas, lebih indah dipakai berhias. Tiada takut rindu tak berbalas, kita bertemu di NGONTRAS#15.

Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.***

 

Related Posts