[:en]OTONOMI DAERAH DAN KONFLIK SOSIAL BERBASIS ETNISITAS[:]

[:en]oleh: Drs. Kusnadi, M.A.,

Antropolog Fakultas Sastra, Universitas Jember

 

Keanekaragaman masyarakat dan kebudayaannya memiliki dua sisi yang bersifat antagonis dan saling melengkapi, yakni sebagai potensi perubahan yang produktif dan kekuatan disintegrasi sosial yang destruktif. Aspek mana yang akan terjadi sangat bergantung pada model kebijakan pembangunan yang ditempuh oleh pemerintah daerah. Yang harus disadari oleh para perencana pembangunan di daerah adalah bahwa memperlakukan aspek-aspek kebudayaan sebagai benda mati, seperti pada masa Orde Baru, sudah tidak dapat dibenarkan lagi. Unsur-unsur kebudayaan itu harus dilihat secara fungsional, karena menopang eksistensi masyarakat pemiliknya. Kasus-kasus konflik sosial berbasis etnisitas di berbagai daerah selama ini telah menunjukkan bahwa identitas kebudayaan komunitas-komunitas lokal itu benar-benar hidup dan berfungsi untuk mengorganisasikan kekuatan sosial dan melegitimasi tindakan sosial dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka.

Di samping itu, pemerintah daerah hendaknya membuat dan memiliki peta kelompok etnik dan peta sumber daya lokal yang berpotensi menimbulkan konflik antarkelompok masyarakat. Untuk mengantisipasi konflik pengelolaan sumber daya lokal, hendaknya dibentuk badan-badan kerja sama dan koordinasi lintas daerah dan lintas masyarakat. Lebih dari itu, kebijakan pembangunan daerah diharapkan bisa memberikan peluang dan manfaat bagi seluruh komponen masyarakat secara adil dan merata. Kebijakan-kebijakan pembangunan yang merusak kelestarian sumber daya alam daerah akan mengundang persoalan-persoalan sosial dan hal ini bisa menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Strategi pembangunan berkelanjutan yang secara integratif mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan masyarakat adalah pilihan yang paling tepat dan rasional untuk memandu pelaksanaan otonomi daerah.

Download File[:]

Related Posts