Negara belum optimal dalam melindungi warganya yang menjadi buruh migran. Pengakuan ini disampaikan oleh Nusron Wahid, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), saat membuka kegiatan Jambore Nasional Buruh Migran Indonesia 2015 di gedung Soetardjo, Universitas Jember (24/11). “Masih banyak pemangku kepentingan di bidang buruh migran yang memandang sebelah mata para TKI dan TKW kita, malah menjadikannya sebagai lahan mencari keuntungan. Mewakili negara, saya memohon maaf jika belum optimal melindungi para buruh migran,” ujarnya.
Menurut Nusron Wahid, perlindungan terhadap buruh migran diwujudkan dalam dua tugas besar, pertama negara berusaha menyelenggarakan proses migrasi yang aman, nyaman dan murah. Kedua, melindungi warga negara Indonesia yang ada di luar negeri. “Oleh karena itu perlu kerjasama dari semua pihak, baik negara, swasta, civil society, akademisi, termasuk keterlibatan aktif para buruh migran untuk mewujudkan kondisi buruh migran yang lebih baik. Apalagi sumbangan mereka terhadap perekonomian Indonesia sangat vital,” jelasnya. Kepala BNP2TKI ini kemudian memaparkan data tahun 2014 lalu remitansi buruh migran Indonesia mencapai 110 trilyun rupiah, sementara tahun ini diperkirakan akan mencapai 140 trilyun rupiah.
Nusron Wahid kemudian memaparkan visi pemerintahan presiden Joko Widodo dalam menangani permasalahan buruh migran. Pertama, melindungi sejak di dalam negeri, tidak terlantar di luar negeri, dan mencegah buruh migran menjadi miskin saat kembali ke tanah air. “Oleh karena itu, saya berharap kegiatan jambore kali ini dimanfaatkan sebagai upaya sinergi antara pemerintah, civil society, akademisi dan buruh migran,” ungkapnya. Nusron Wahid juga mengapresiasi kegiatan jambore seperti ini, bahkan berharap dapat dilaksanakan setiap tahun.
Namun komitmen pemerintah untuk melindungi buruh migran seperti yang dilontarkan oleh Kepala BNP2TKI, dikritisi oleh Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care. Dalam sesi sidang pleno bertema Reformasi Tata Kelola Perlindungan Buruh Migran Indonesia, selepas pembukaan acara, Anis Hidayah mengkritik cara pandang para pengambil kebijakan di bidang buruh migran yang masih diskriminatif, bias gender, dan lebih berorientasi ekonomi. “Contohnya di Undang-Undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang malah membuka kesempatan pelanggaran terhadap HAM dan menjadi skema perdagangan manusia,” tuturnya.
Pendapat senada disampaikan oleh Mochammad Cholili, Direktur Migrant AID Indonesia. Menurutnya politik kesejahteraan buruh migran di Indonesia masih buram. Pegiat buruh migran dari Jember ini kemudian memaparkan tiga masalah utama yang dihadapi oleh para buruh migran. Pertama, biaya penempatan yang jauh lebih mahal daripada yang ditetapkan oleh pemerintah. Kedua, perampokan upah TKI, dan ketidakjelasan asuransi TKI. “Pemerintah tahu akan hal ini, tetapi sampai saat ini belum ada upaya yang serius untuk menanganinya, para pihak-pihak yang melanggar juga tidak dikenai sanksi tegas,” imbuhnya lagi.
Dipandu oleh Farha Ciciek, Cholili bersama Tyas Retno, sosiolog dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Suporahardjo (komunitas Tanoker), dan Herry (Bantul), mantan buruh migran di Korea Selatan, hadir sebagai pembicara dalam sesi diskusi tematik bertema Mendorong Optimalisasi Peran Negara Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Buruh Migran, di aula Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember (24/11).
Hari kedua kegiatan Jambore Nasional Buruh Migran Indonesia 2015 selain diisi dengan siding pleno, diisi dengan sembilan diskusi tematis yang dilaksanakan di berbagai lokasi di kampus Tegalboto. Tema yang dibahas cukup beragam, dari usaha perlindungan buruh migran dari desa, pemberantasan korupsi di dunia TKI sampai bagaimana ASEAN dan perlindungan buruh migran. Rencananya nanti malam akan digelar panggung hiburan yang menampilkan grup band Wali dan penyanyi sekaligus aktivis social, Melanie Soebono di parkir utara gedung Soetardjo. (iim).