Penulis
Ikwan Setiawan
Pembimbing: Prof. Dr. Faruk
ABSTRACT: This study discusses the representation of postcolonial culture in Indonesian films’ narratives in the 2000s with viewpoint on: (1) the representations of “the modern” and “the traditional” in filmic narrative structures; (2) ideological meanings and discourses mobilized for reaching legitimacy in narratives as the endeavors to create a historical bloc; (3) a socio-historical context, politico-ideology interest, and hegemonic powerrelation. The goals of this study are to produce a new theoretical framework and methodology that juxtaposes some perspectives and a theoretical conception on Indonesian postcolonial culture based on my reading of filmic narrative structures and socio-historical context influenced by Reformation movement and the application of market political economy, by either the State or the faction of cultural industries. To answer the questions and reach the goals, I juxtapose some approaches, namely cultural studies, media/film studies, and postcolonial studies by considering political economy studies. The hypothesis of this study is that in the complexity of postcolonial culture representation, that presents traditional and modern cultures, operates individualism constructed as ideal orientation for society in the midst of neoliberal political economy. For proving the hypothesis, I analyze five popular films in the 2000s—Denias Senandung Di Atas Awan, Garuda Di Dadaku, Susahnya Jaga Keperawanan di Jakarta, Not for Sale, and Tiga Pejantan Tanggung—by using textual-contextual methodological framework based on the approaches. This study results some findings. Firstly, postcolonial culture in films represents residual cultures, modern cultures, and cultural hybridity as entry point to—with the principles of structuration, deconstruction, and reconstruction—negotiate individualism as an ideal knowledge in the midst of neoliberalization. Secondly, postcolonial culture colored by individualism and fluid subjectivity—including national culture and nationalism—is a strategy of producers and filmmakers to create a new historical bloc that supports the relation of hegemonic power. Thirdly, the relation of hegemonic power constructed through the production of postcolonial culture in films is a part of the same power relation in the real life. It means that the construction of postcolonial culture in Indonesian films in the 2000s is a significant part of neoliberal capitalism’s hegemony, either in national and global scope; a form of neocolonialism.
INTISARI: Kajian ini membahas representasi budaya poskolonial dalam narasi film-film Indonesia era 2000-an dengan titik tekan pada: (1) representasi “yang modern” dan “yang tradisional” dalam struktur dunia naratif; (2) makna-makna ideologis dan wacana yang dimobilisasi untuk mendapatkan legitimasi secara naratif sebagai usaha untuk menciptakan blok historis; dan (3) konteks sosio-historis, kepentingan politiko-ideologis, dan relasi kuasa-hegemonik. Tujuan kajian ini adalah menghasilkan kerangka teoretis dan metodologis baru yang menyandingkan beberapa perspektif dan memunculkan konsepsi teoretis terkait budaya poskolonial Indonesia dengan berbasis pada pembacaan struktur dunia naratif film dan konteks sosio-historis dan kultural masyarakat pada era 2000-an yang dipengaruhi oleh gerakan Reformasi dan penerapan sistem ekonomi-politik pasar, baik oleh negara maupun faksi industri budaya. Untuk menjawab permasalahan dan memenuhi tujuan tersebut, saya menyandingkan beberapa pendekatan, yakni kajian budaya, kajian media/film, dan kajian poskolonial dengan tetap menimbang kajian ekonomi-politik. Adapun hipotesis kajian ini adalah bahwa di dalam kompleksitas representasi budaya poskolonial yang menghadirkan budaya modern dan budaya lokal dalam struktur dunia naratif film beoperasi individualisme yang dianggit sebagai orientasi ideal bagi masyarakat di tengah-tengah ekonomi-politik neoliberal. Untuk membuktikan hipotesis tersebut saya akan menganalisis lima film populer di era 2000-an—Denias Senandung Di Atas Awan, Garuda Di Dadaku, Susahnya Jaga Keperawanan di Jakarta, Not for Sale, dan Tiga Pejantan Tanggung—dengan menggunakan kerangka metodologis tekstual-kontekstual berdasarkan pendekatan-pendekatan tersebut. Kajian ini menghasilkan beberapa temuan sebagai berikut. Pertama, budaya poskolonial dalam film menghadirkan budaya residual dan budaya modern serta hibriditas kultural sebagai pintu masuk—dengan prinsip strukturasi, dekonstruksi, dan rekonstruksi—untuk menegosiasikan individualisme sebagai pengetahuan ideal di tengah-tengah neoliberalisasi. Kedua, budaya poskolonial yang diwarnai individualisme dan kelenturan subjektivitas—termasuk dalam budaya nasional dan nasionalisme—bisa merupakan strategi kelas pemodal dan sineas untuk menciptakan blok historis baru yang mendukung relasi kuasa hegemonik. Ketiga, relasi kuasa-hegemonik yang dibangun melalui produksi budaya poskolonial dalam film merupakan bagian dari relasi kuasa serupa dalam kehidupan nyata. Artinya, anggitan budaya poskolonial dalam film Indonesia era 2000-an merupakan bagian signifikan dari hegemoni kapitalisme neoliberal, baik dalam lingkup nasional maupun global; sebuah bentuk neokolonialisme.
sumber : http://etd.repository.ugm.ac.id/
Baca Juga :
Disertasi Dr. Eko Crys Edrayadi, M.Hum