Kelompok Riset (KeRis) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ) turut berpartisipasi dalam Kongres Internasional Kesusastraan (KIK) XXXI di Kupang. Kelompok riset yang turut mempresentasikan makalahnya secara daring adalah Kelompok Riset Pertelaahan Sastra Konteks Budaya (KeRis PERSADA), Kelompok Riset Tradisi Lisan dan Kearifan Lokal (KeRis TERKELOK), dan Kelompok Riset Budaya, Bahasa, dan Sastra Jawa (KeRis BASJAWA), pada Rabu (12/10/2022).
KIK XXXI diselenggarakan atas kerja sama antara Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Pusat, HISKI Komisariat Kupang, dan Universitas Nusa Cendana (UNDANA). Konferensi dilaksanakan secara hybrid (luring dan daring) dalam dwibahasa (Inggris dan Indonesia) dengan topik “Literary Literacy and Local Wisdom”. KIK XXXI merupakan rangkaian kegiatan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakornas) sehari sebelumnya.
Pembicara utama dalam KIK XXXI adalah Mami Fujiwara, Ph.D (Yamaguchi University, Japan), Zalina Abdul Azis (Author and Researcher, Malaysia), Drs. Florindo Pereira, M.Si., Ph.D (Universidade Oriental Timor Lorosa’e, Timor-Leste), Dr. Suraiya Chapakiya (Fatoni University, Pattani, Thailand), Prof. Dr. Moh Karmin Baruadi, M.Hum. (Universitas Negeri Gorontalo), dan Dr. Vinsensius Adi Gunawan, SVD (Anthropos Institut & Philosophisch-Theologische Hochshule SVD Sankt Augustin, Germany).
Tim KeRis PERSADA yang diketuai Dra. Titik Maslikatin, M.Hum. dengan anggota Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum. dan Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum. mempresentasikan makalah berjudul “Ideologi Sosial: Refleksi Wacana Sosiologis Novel-Novel Karya Ahmad Tohari”.
Dalam presentasinya, Titik Maslikatin memaparkan bahwa karya-karya Ahmad Tohari merupakan upaya untuk menyuarakan intensi pengarang dalam merespons persoalan sosial yang ada di lingkungannya. Dijelaskannya bahwa novel-novel yang menyuarakan intensi ideologis Ahmad Tohari, di antaranya Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, yakni Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala. Rangkaian novel dengan tokoh utama bernama Srintil tersebut menyuarakan ideologi patriarki. “Ronggeng Dukuh Paruk menggambarkan kehidupan Dukuh Paruk yang di satu sisi mempunyai ronggeng kebanggaan, di sisi lain disandingkan dengan kebodohan, kemiskinan, dan mudah dipermainkan oleh kekuasaan di luar dirinya,” kata Titik, yang juga menjadi Editorial Board pada Semiotika: Jurnal Ilmu Sastra dan Linguistik.
Sementara itu, novel Bekisar Merah dan novel Belantik, melalui tokoh utama bernama Lasi, mengungkapkan ideologi humanisme atau nilai-nilai kemanusiaan, ingin mengentaskan masyarakat yang secara struktur terbelakang menjadi lebih sejahtera dan lebih demokratis. Dijelaskannya bahwa ketika hidup terasa kepenak, tak sia-sia, dan perut terasa aman, mereka punya peluang memikirkan sesuatu yang tak pernah hilang dalam jiwa tetapi sering mereka lupakan ketika lapar: sangkan paraning dumadi. Disebutkan bahwa melalui Eyang Mus, gagasan humanisme Tohari mengalir halus. “Manusia harus berusaha maksimal sesuai kemampuan dan berdoa. Manusia harus menyeimbangkan antara dunia dan akherat,” kata Titik.
Pada bagian lain, Titik juga menjelaskan bahwa novel Orang-Orang Proyek, melalui tokoh utama bernama Kabul menjadi counter hegemoni (resistensi/perlawanan) terhadap kekuasaan Orde Baru, dengan orientasi nilai-nilai kemanusiaan. Sementara itu, novel Kubah melalui tokoh utama bernama Karman, menunjukkan dinamika ideologi, antara komunisme dan humanisme. “Melalui karya-karyanya, Ahmad Tohari berpesan bahwa seburuk-buruknya orang, jika orang itu sedang kesusahan, maka orang yang merasa sedang tidak kesusahan mendapatkan kewajiban untuk membantu,” jelas Titik.
Tim KeRis TERKELOK yang diketuai Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum. dengan anggota Dra. Titik Maslikatin, M.Hum., Edy Hariyadi, S.S., M.Si., dan L. Dyah Purwita Wardani S.W.W., S.S., M.A. mempresentasikan dua makalah, yakni “Sastra Using: Ekspresi Tradisi Lisan dalam Perkembangan Media Sosial” dan “Janger Banyuwangi: dari Ekspresi Sastra Lokal ke Industri Kreatif.”
Ketika mempresentasikan tentang sastra Using dalam relasinya dengan perkembangan media sosial, Edy Hariyadi menyebutkan bahwa media sosial mampu mentransformasikan dari tradisi lisan primer ke tradisi lisan sekunder, sekaligus menggambarkan dinamika peradaban budaya Using. Disebutkannya bahwa sastra dan tradisi lisan terintegrasi dengan produk budaya lokal, baik dalam konteks komunikasi keseharian, kesenian, folklor, maupun ritual.
Lebih lanjut, Edy menjelaskan bahwa perkembangan media sosial berimplikasi pada berbagai ranah kultural, di antaranya pemanfaatan media sosial untuk menyuarakan kelisanan primer, atau pengemasan sastra dan tradisi lisan Using menjadi industri kreatif. Selain itu, dapat juga dilakukan pemertahanan bahasa lokal (Using) dengan media sosial atau edukasi historis Using/Banyuwangi melalui media sosial. “Konteks ini memunculkan profesi baru, youtuber, endorser, atau pegiat media sosial. Hal ini dapat meningkatkan taraf ekonomi keluarga, khususnya melalui monetize, atau endorse,” kata Edy, yang juga menjadi Sekretaris Jurusan Sastra Indonesia FIB UNEJ.
Kemudian Edy mencontohkan beberapa pegiat media sosial yang populer di Banyuwangi. Untuk media sosial berupa youtube, di antaranya ada Cak Ndut Arweter, Munawir BTD Channel, Kang Ipul, Akbar, Ainur Rofiq, Kholiqul Ridha, dan Land of Osing Banyuwangi. Untuk facebook ada Kang Pur Budaya Using, Sinar Lintang, dan Sengker Kuwung Blambangan. Sementara itu, untuk instagram ada Imam Baihaqi (juga pada Youtube dan Tiktok) dan Mas Say Laros.
Edy juga mengungkapkan pentingnya peranan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam memfasilitasi arena tumbuhnya pemanfaatan media sosial dalam menunjang pariwisata. Disebutkan bahwa dalam menunjang dunia pariwisata, Pemkab Banyuwangi memiliki prinsip: semua lokasi adalah destinasi, semua kegiatan adalah atraksi, dan semua dinas adalah Disbudpar. Disebutkan juga bahwa East Java Social Network, Meet Up 2021 (yang ke-4) di Banyuwangi.
Selain itu, diungkapkan bahwa Disbudpar dan Dinas Perikanan, 29 pegiat mediagram 10-155 ribu follower bertukar gagasan demi kemajuan Kabupaten Banyuwangi dalam sektor budaya, pariwisata, pertanian, perikanan, dan ekonomi kreatif. “Dalam konteks yang demikian, tradisi lisan atau budaya lokal memiliki posisi tawar yang kuat, yakni memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan misinya, hingga berdampak positif pada renah ekonomi,” jelas Edy, yang juga Laros (lare Osing/Using).
Sementara itu, Heru S.P. Saputra dalam mempresentasikan Janger Banyuwangi, mengungkapkan bahwa seiring dengan perkembangan media sosial, seni pertunjukan tradisional Janger perlu didorong lagi untuk memasuki ranah industri kreatif. Disampaikannya bahwa dalam era digital, beragam budaya lokal perlu memanfaatkan semaksimal mungkin sarana teknologi guna menyosialisasikan eksistensinya, hingga berdampak positif pada ekonomi keluarga.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa dalam hal pengembangan kreativitas seni, para seniman dapat memanfaatkan sanggar atau kelompok seni, guna meningkatkan kualitas dan inovasi pertunjukan. Sementara itu, pengembangan ke arah industri kreatif dapat dilakukan dengan transformasi dan beragam inovasi, termasuk upaya digitalisasi. “Perlu membuka sikap kompromistis untuk pengembangan inovatif atau modifikasi seperlunya. Termasuk harus mengakomodasi perkembangan media sosial, seperti youtube dan berbagai media sosial lainnya,” jelas Heru, yang juga ketua HISKI Jember.
Tim KeRis BASJAWA diketuai Dr. Asrumi, M.Hum. dengan anggota Dr. Asri Sundari, M.Si., Dra. Sunarti Mustamar, M.Hum., Drs. Nurhadi Sasmita, M.Hum., Drs. I.G. Krisnadi, M.Hum., dan Suharto, S.S., M.A. Dalam memaparkan makalah yang berjudul “Naga Dina, Naga Sasi, Naga Tahun: Sebuah Identitas, Petungan, dan Pantangan dalam Kearifan Lokal Kepercayaan Masyarakat Jawa di Tengah Globalisasi,” yang bertindak sebagai tim pemakalah adalah Dr. Asri Sundari, M.Si., dan Dr. Asrumi, M.Hum., berkolaborasi dengan Dr. Ita Rahmania Kusumawati, M.Hum.
Asri Sundari, dalam memaparkan makalahnya menjelaskan bahwa petungan yang disebut naga dina, naga sasi, dan naga tahun telah menjadi petungan dan pantangan masyarakat Jawa dalam melaksanakan ritual hajatan. Disebutkannya bahwa kepercayaan dalam petungan ini menjadi identitas masyarakat Jawa dan merupakan ciri khas, sekaligus sebagai gambaran perilaku nilai-nilai simbol budaya yang sangat berfungsi dalam ritual perkawinan dan ritual mendirikan rumah. “Mekanisme petungan semacam itu tetap eksis dan tetap dipercaya hingga kini, dalam konteks budaya Jawa,” jelas Asri, yang juga memiliki Sanggar Mustika Budaya, lengkap dengan perangkat gamelan dan wayang.
Lebih lanjut, Asri memaparkan bahwa dalam kenyataan di lapangan, masyarakat tetap memegang teguh petungan dalam melaksanakan hajatan, juga pantangan-pantangan yang harus dihindari demi keselamatan. Secara umum, hal tersebut dilakukan oleh orang Jawa, meskipun mereka banyak beralih ke teknologi modern. Diungkapkannya bahwa dalam era globalisasi ini, masyarakat Jawa tetap mempertahankan petungan tentang naga dina, naga sasi, dan naga tahun. “Dengan kenyataan yang demikian, maka kita perlu melestarikan berbagai bentuk kearifan lokal Jawa, agar tetap eksis hingga masa mendatang,” kata Asri, yang juga menekuni bahasa Sanskerta sekaligus kegemaran nembang dan nyinden.
KIK XXXI di Kupang telah berlalu dan akan berlanjut tahun depan dengan KIK XXXII yang diprakarsai HISKI Pusat bersama HISKI Komisariat Kalimantan Timur, sekaligus peringatan HUT HISKI, Oktober 2023.***