[:id]
Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia FIB UNEJ, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNEJ, Jurnal Semiotika, Kelompok Riset Sastra, Tradisi Lisan, dan Industri Kreatif (KeRis SasTraLis-InKrea), dan Teen and Children’s Literature Research Group (TCLRG), kembali usai adakan Webinar Nasional, diskusikan toponimi hingga warisan budaya Pendalungan, Sabtu (17/12/2022).
Webinar dengan tajuk NGONTRAS#17 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-17) tersebut diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting dengan menghadirkan narasumber Dr. Sukatman, M.Pd. (FKIP Universitas Jember) dan Dr. Mochamad Ilham, M.Si. (FIB Universitas Jember), dengan moderator Dina Merdeka Citraningrum, M.Pd., anggota HISKI Jember sekaligus dosen PBSI FKIP Universitas Muhammadiyah Jember. Pewara Sherin Fardarisa dan host zoom Ika Bella Aprillia Pasaribu, keduanya mahasiswa Sastra Indonesia FIB UNEJ.
Pewara memulai acara dengan pantun. Bolehlah hati dilanda kesepian, tapi jangan terlalu lama. Ingin mengenal budaya Pendalungan? NGONTRAS tujuh belas jawabannya. Ketika memulai diskusi, moderator juga membuka dengan pantun. Pantai payangan pantai pasir putih, sungguh elok negeri bak permadani. Beramai nikmati NGONTRAS tujuh belas ini, bersama pembicara yang tak asing lagi.
Kegiatan Webinar dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan I FKIP UNEJ, Drs. Nuriman, Ph.D. Dalam sambutannya, Nuriman menyampaikan bahwa Jember merupakan wilayah afdeling sejak pemerintahan Kolonial Belanda, yang didominasi budaya Madura dan Jawa. Kedua suku tersebut mengalami akulturasi budaya, yang kini populer disebut Pendalungan. Keduanya memiliki latar belakang karakteristik budaya yang berbeda, tetapi kemudian menyatu dalam akulturasi. “Hasil akulturasi budaya Pendalungan perlu kita kawal, agar tidak hilang ditelah peradaban modern,” kata Nuriman.
Kemudian Nuriman menjelaskan bahwa sudah banyak contoh bahasa dan budaya yang tergerus oleh kemajuan zaman. Dicontohkannya fenomena bahasa Jawa, bahwa kini banyak generasi muda Jawa yang tidak lagi memahami bahasa Jawa. Oleh karena itu, ditekankannya agar berbagai pihak tetap merawat dan menjaga bahasa dan tradisi sehingga tetap lestari. “Semoga webinar ini dapat melahirkan banyak perspektif budaya, guna merawat budaya dan bahasa,” tandas Nuriman.
Dr. Sukatman, M.Pd. sebagai pembicara pertama, menekankan pentingnya memahami dinamika budaya dari perspektif toponimi. Sukatman memaknai istilah Pandalungan sebagai wilayah, sedangkan Mandalungan sebagai komunitas/masyarakat. Lelaki kelahiran Blitar, 23 Januari 1964, ini mengungkapkan bahwa alur pikir kajian etnografi kritis terhadap toponimi Pendalungan berorientasi mengungkap narasi budaya tentang toponimi Pendalungan dan politik kenegaraan.
Hal tersebut mencakup empat aspek yang menjadi fokus kajian. Pertama, bahasa dan tradisi onomastika. Kedua, simbol, mitos, dan tradisi ritual. Ketiga, nilai budaya dan kekuasaan. Keempat, artefak dan bangunan purba. Keempatnya saling menunjang dan melengkapi dalam rangka untuk memahami kebudayaan komunitas Mandalungan.
Konstruksi toponimi Mandalungan, menurut Sukatman, dibangun dengan memberdayakan akronim purba (kirathabasa), simbol-mitologis, dan dasanama. Dicontohkannya akronim purba, misalnya nama wilayah Puger merupakan akronim purba dari empu ageng eru yang artinya empu eru agung atau Resi Agung Cemara. Nama hutan Merubetiri merupakan akronim dari manu eru bethari yang artinya Batari Empu Cemara.
Sementara itu, simbol-mitologis toponimi Pandalungan berupa: tangga, eru (cemara), kelapa dan bagian-bagiannya, waru, matahari, cahaya, api, tanur, kala (raksasa), padi, palawija, gada (pala), dan sarang/siring/rumah lebah. Adapun dasanama dalam toponimi Pandalungan mencakup sepuluh nama raja, yakni Raja Matahari, Raja Tangga, Raja Cemara, Raja Kelapa, Raja Waru, Raja Kala, Raja Padi, Raja Palawija, Raja Gada (Pala), dan Raja Sarang Lebah.
“Toponimi sebagai deklarasi kekuasaan, misalnya Bondowoso (purba handha wangsa), yakni wangsa/dinasti penguasa (purba) Tangga (handha). Situbondo (resi datu purba handha), yakni resi raja penguasa tangga,” kata Sukatman, yang buku terbarunya berjudul Melayu Purba: Sastra, Budaya, dan Sejarah Lisan Nusantara (2021).
Lebih lanjut ditekankannya bahwa toponimi Pandalungan merupakan identitas geografis yang menandai kekuasaan Raja Matahari pada komunitas Mandalungan di Jawa Timur. Pemberdayaan toponimi Pandalungan dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar dan wisata terpadu. “Sumber belajar dapat berupa tradisi lisan, mitologi, kebudayaan, dan sejarah lingkungan Nusantara. Sementara itu, bahan pengembangan industri wisata dapat berbasis tradisi ritual, tarian, alam, dan batu purba,” jelas Sukatman.
Dalam merespons audiens terkait dengan pembentukan identitas, Sukatman menjelaskan bahwa kebijakan Indonesia masih mendua. Jika diarahkan ke industri, belum jelas jenis industrinya. Kalau mau ke super power kebudayaan, kebijakannya juga belum mengarah ke hal tersebut. Kemudian Sukatman mencontohkan kasus yang terjadi di lapangan, bahwa wilayah kebudayaan masih sering dijadikan objek industri, misalnya wilayah gunung-gunung yang menyimpan situs peninggalan, justru dibuat menjadi pabrik semen. “Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia atau pemerintah kabupaten belum fokus. Kita sebagai akademisi hanya bisa memberi saran atau masukan, tanpa dapat mencampuri kebijakan,” tandas Sukatman, yang juga ketua KeRis SasTraLis-Inkrea.
Lebih lanjut, diungkapkan bahwa sebagian pemerintah daerah sebenarnya telah membentuk payung hukum terkait pengembangan wisata budaya. Namun, dalam perjalanannya terkadang “masuk angin” karena anggaran. Hal ini bukan hanya terjadi di wilayah Pandalungan, tetapi juga wilayah lain. “Saya salut dengan Banyuwangi, yang dapat digunakan sebagai prototipe untuk pengembangan wilayah kebudayaan sebagai produk unggulan, termasuk identitas bahasa,” jelas Sukatman.
Dr. Mochamad Ilham, M.Si. sebagai pembicara kedua, memaparkan materi dengan menekankan karakteristik kebudayaan masyarakat Pendalungan. Disebutkannya bahwa kebudayaan Pendalungan merupakan wujud negosiasi budaya, yakni mewarisi, menyeleksi, memodifikasi, dan reinvensi budaya. Ia merupakan budaya komposit, yakni mengalami proses migrasi dan kontak budaya, yang berakar dan ditopang oleh sumber daya alam lokal.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa kebudayaan yang hadir adalah Madura, Jawa, Using, Bali, Mandar, Cina, Arab, dan bahkan Indonesia, sebagai suatu sistem kebudayaan. Dicontohkan bahwa orang Mataraman membawa teknik bercocok-tanam yang efisien, model rumah joglo, kesenian khas Jawa, yakni tayub dan wayang kulit. “Orang Arek membawa ludruk, dan orang Madura membawa model arsitektur tanian lanjeng, karapan sapi, dan seni pertunjukan topeng,” kata Ilham, yang sering menggunakan nama populer M. Ilham Zoebazary dan menjadi anggota Pusat Riset METAKULTURA.
Lelaki kelahiran Kediri, 23 Oktober 1963, ini kemudian mengungkapkan bahwa Pendalungan juga menjadi sebuah identitas. Untuk itu, Pendalungan seakan menjadi ajang perebutan dalam membangun image lokal. Dijelaskan oleh Ilham, bahwa Wali Kota Probolinggo (2015) pernah mencanangkan Probolinggo sebagai ibu kota Pendalungan. Sementara itu, Bupati Jember (2017) mengklaim Jember Kota Pendalungan. Adapun Bupati Situbondo (2019) menegaskan adanya tari ikonik Landung (Lajhar Pandhelungan).
Dengan tujuan mendorong konstruksi Pendalungan sebagai identitas kultural, maka banyak elemen budaya yang dibangun dan dimunculkan. Ilham mencontohkan sederet instrumen budaya yang dibentuk oleh individu atau komunitas. Di antaranya adalah Grup Musik Patrol Bekoh Kerreng Rampak Pendalungan, Grup Musik Ndalungnesia, Batik Pendalungan, Galeri Pendalungan, Warung Soto Pendalungan, Warung Mie Pendalungan, Warung Bakso Pendalungan, Cafe Ndalung, Komunitas Sastra Pendalungan, Rumah Budaya Pendalungan, Komunitas Pustaka Ndalung, Kajian Budaya Pendalungan, dan Pusat Kajian Sejarah dan Islam Pandhalungan.
Terkait dengan konstruksi identitas yang ditanyakan audiens, dan telah ditanggapi oleh Sukatman, Ilham menyetujui bahwa pembentukan identitas budaya tidaklah mudah, karena hal tersebut merupakan persoalan yang kompleks. Termasuk upaya branding terhadap destinasi wisata, juga hal yang kompleks. Ilham menyetujui sebagaimana yang telah disampaikan oleh Sukatman, bahwa Banyuwangi berhasil dalam mengemas wisata budaya. Branding yang dilakukan Banyuwangi berhasil.
Kemudian Ilham memberi ilustrasi tentang branding wisata terkait konstruksi identitas budaya. Ilustrasi tentang branding wilayah untuk tujuan wisata, yakni Jakarta dan Jogja. Jakarta bertujuan menarik wisatawan dari luar negeri, kemudian menggunakan tagline “Enjoy Jakarta”. Hal tersebut berhasil dilakukan, sukses. Kemudian Ilham membandingkan dengan Jogja melalui tagline “Jogja Never Ending Asia” yang berupaya mirip-mirip dengan tagline Malaysia, “Malaysia, Truly Asia”.
Menurut Ilham, untuk branding Jogja, dapat dikatakan gagal. Jogja gagal melakukan branding wisata. Padalah perumus dan pemikirnya orang-orang kreatif yang bukan sembarangan, tapi tataran aplikasinya gagal. Pengalaman Jogja menunjukkan bahwa banyak pihak yang harus menyamakan persepsi, terutama ujung tombaknya Dinas Pariwisata. “Jika tidak ada kerja sama yang kompak dengan pemahaman konsep dan aplikasi yang seragam, maka akhirnya akan gagal,” tandas Ilham, yang telah menulis buku berjudul Orang Pendalungan: Penganyam Kebudayaan di Tapal Kuda (2017) dan Mosaik Kebudayaan Pendalungan (2022).
Pada paparan bagian sebelumnya, Ilham juga menjelaskan tentang dinamika pada akulturasi budaya Pendalungan. Ditekankan bahwa dinamika budaya berlangsung secara terus-menerus akibat terjadinya tarik-menarik antarkekuatan sosial, politik, dan keagamaan. Hal tersebut terjadi di wilayah yang selama ini diidentifikasi sebagai area budaya Pendalungan, yang mencakup Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi. Wilayah tersebut juga populer dengan sebutan wilayah Tapal Kuda.
Hasil dari dinamika tersebut, masyarakat Pendalungan Barat (Pasuruan, Probolinggo) terpengaruh kebudayaan Arek, Pendalungan Timur (Situbondo, Bondowoso) terpengaruh kebudayaan Madura, sedangkan Pendalungan Selatan (Lumajang, Jember, Banyuwangi) terpengaruh kebudayaan Mataraman dan Using.
Lebih lanjut, Ilham mengungkap warisan budaya Pendalungan. Warisan budaya takbenda (intangible heritage) berupa tradisi, cerita rakyat, bahasa, kesenian (tari, lagu, teater rakyat), sedangkan warisan budaya benda (tangible heritage) terdiri atas situs dan tempat-tempat bersejarah, bentang alam darat maupun air, juga bangunan kuna. “Keunikan budaya masyarakat Pendalungan terletak pada irisan-irisan antarkebudayaan yang menaunginya. Kendang Patrol di Jember, seni Janger di Banyuwangi, merupakan hasil percampuran seni pertunjukan yang diterima utuh,” jelas Ilham, yang juga menjadi pendiri sekaligus dalang Kentrung Djos.
Acara NGONTRAS#17 yang diikuti 130-an peserta, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Sesi penutupan dilakukan oleh moderator dengan pantun: Pantai Watu Ulo objek wisata, cantik panorama alam lestari. Menjaga adat umpama harta, memantik budaya memayungi bumi pertiwi. Kemudian disambung pewara dengan pantun. Perlahan butiran embun telah tiada, sinar matahari mulai memanas. Terima kasih untuk para peserta, sampai jumpa di NGONTRAS#18.
Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.***
[:]