Plagiarisme Dokumen Abadi

PlagiarismeSudartomo Macaryus
FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Pos-el: msudartomo@ymail.com
Judul Buku : Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika
Penulis : Henry Soelistyo
Penerbit : Penerbit Kanisius
Tahun Terbit/Hlm : 2011/308

 

 

Pendahuluan
Indonesia gigih memerangi plagiarisme yang terjadi di kalangan lembaga pendidikan dan lingkungan kerja yang mengutamakan bidang yang berkaitan dengan tulis-menulis. Untuk mencapai keadaan yang bersih dari plagiarisme,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakaan dalam bentuk Peranturan Menteri. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010, tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Ihwal plagiarisme di lingkungan dunia akademik, guru besar hukum Universitas Gadjah Mada telah menuangkan gagasannya dalam buku yang cukup tebal (308 hlm.) dan berisi informasi yang lengkap. Buku tersebut memuat berbagai hal yang berkaitan dengan plagiarisme, mulai dari hakikat plagiarisme, problem plagiarisme, praktik plagiarisme terutama di kalangan akademisi di Indonesia, dan aturan mengenai plagiarisme. Plagiarisme berkaitan
dengan asas moralitas dan legalitas. Gambaran Umum Buku Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika terdiri atas lima bab berjudul sebagai berikut. I. Kerangka Konseptual, II. Konsepsi Perlindungan Hak Cipta di Indonesia, III. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pencegahan dan Mananggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, IV. Plagiarisme Pelanggaran Hukum Hak Cipta dan Norma Etika, dan V. Penutup. Buku ini juga dilengkapi lampiran (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan (3) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.

Rincian bab dalam buku ini menunjukkan kelengkapan bidang yang menjadi bahasan utama. Menunjukkan kelengkapan karena mencakup konsep pada bab I dan II, norma ada bab III, dan praktis tampak pada bab IV. Hakikat Plagiarisme
Dalam Blac’s Law Dictionary dibedakan antara tindakan imoral dengan ilegal, sedangkan tindakan plagiasi dikatakan melanggar UU Hak Cipta bila yang diplagiasi original creative expressions. Menurut The World Intellectual Property
Organization/WIPO pelanggaran hak cipta terjadi bila ciptaan yang diplagiasi dilindungi oleh Hak Cipta.
Buku ini membagi plagiarisme menjadi empat tipe berikut. (1) Plagiarisme ide, merupakan penggunaan ide orang lain yang dinyatakan sebagai ide sendiri. Hal tersebut sulit dilacak karena sangat mungkin ide yang sama muncul dari orang yang berbeda. (2) Plagiarisme kata demi kata, tipe ini lazim disebut dengan istilah slavish copy. Dalam dunia akademik dilakukan dengan mengutip kata demi kata tanpa menyebutkan sumbernya. (3) Plagiarisme atas sumber, merupakan penggunaan pendapat orang dengan tanpa mencantumkan sumbernya secara jelas. (4) Plagiarisme kepengarangan, tipe ini terjadi jika seseorang mengaku tulisan atau karangan orang lain sebagai miliknya. Sedangkan secara normatif dikatakan pada pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 17 Tahun 2010 bahwa plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Dalam pengertian tersebut, kata kunci untuk menghindari plagiat adalah dengan menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Tepat dan memadai tersebut secara teknis telah diatur dalam kaidah penulisan karya ilmiah bahwa
penggunaan pendapat orang lain harus mencantumkan sumber pada tubuh tulisan dan mencantumkan data keseluruhan sumber kutipan dalam daftar pustaka.

Plagiarisme juga merupakan pelanggaran hak cipta yang diatur dalam UURI No 19 Tahun 2010 tentang Hak Cipta. Dalam UU
tersebut dikatakan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1, ayat 1). Sedangkan yang dimaksud ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra (Pasal 1, ayat 3). Dalam pengertian tersebut plagiarisme termasuk pelanggaran hak cipta karena mengumumkan dan memperbanyak ciptaan tanpa izin penciptanya. Hal tersebut berimplikasi pada sanksi yang dapat dikenakan kepada plagiator. Self-Plagiarism atau Auto Plagiat Kompas (9 April 2013) memuat artikel Muhadjir Effendy berjudul “Self-Plagiarism atau Auto-Plagiat”. Dalam artikel tersebut antara lain dibahas beda pendapat mengenai auto-plagiat. The Journal of Internasional Business Studies (JIBS)
menempatkan aoto-plagiat bagian dari kode etik yang harus dihindari. The American Political Science Association (APSA) tidak menyinggung masalah auto-plagiat. Pada A Guide to Professional Ethics in Political Science (2008) yang ditebitkan
APSA mengatur masalah pengulangan publikasi ilmiah. Tesis bila dipublikasikan sebagian atau keseluruhan oleh penulisnya, yang bersangkutan tak punya kewajiban etik memberitahukan. Pun penulis dibolehkan mengirim suatu naskah kepada lebih dari satu jurnal profesional, namun wajib memberitahukannya kepada editor (Effendy, 2013:12).
Dikatakan oleh Effendy bahwa ada praktik pemakaian kembali yang bisa dikategorikan pelanggaran etika akademik serius, karena ada unsur curang. Misalnya, pengulangan karya yang hak ciptanya sudah milik pihak lain. Mahasiswa yang menggunakan karya ilmiah untuk tugas akhir yang mensyaratkan orisinalitas (skripsi, tesis, atau disertasi). Bagi dosen, bila menggunakan karya ilmiahnya (lagi) untuk usulan kenaikan pangkat, padahal karya itu telah digunakan untuk maksud sama. Ia juga menjelaskan pertimbangan perlunya publikasi ulang, dengan mengutip pandangan Pamela Samuelson, profesor ilmu hukum dan informasi Universitas California, Berkeley. Pengulangan publikasi ilmiah terdahulu boleh dilakukan apabila: karya ilmiah itu perlu dikemukakan lagi sebagai landasan karya ilmiah berikutnya; bagian dari karya ilmiah terdahulu itu terkait bukti dan alasan baru pada karya berikutnya; sasaran yang dituju publikasi karya ilmiah itu beragam karena sifatnya yang multidisiplin, sehingga publikasi di media yang berbeda diperlukan untuk menjangkau komunitas multidisiplin (2013:12).
Self-Plagiarism menyisakan masalah, sebab seseorang yang menekuni satu bidang tertentu, lazimnya memiliki angel, yang berkali-kali muncul dalam tulisan dan sudah hapal di luar kepala. Oleh karena itu, kadang tidak ingat lagi dimana dipublikasikan. Juga tidak jarang seorang yang memiliki keahlian tertentu diminta untuk berbicara hal yang serupa oleh
berbagai kelompok sampai beberapa kali. Hal
tersebut memunculkan perulangan tulisan yang
dituduhkan sebagai self-plagiarism atau auto
plagiat.
Praktik Plagiarisme dan Pencegahannya
Praktik plagiarisme terjadi di kalangan akademisi
mulai dari mahasiswa sampai mahaguru.
Buku ini menyajikan rekapitulasi dua belas
kasus plagiarisme (hlm. 155-158). Keduabelas
kasus tersebut satu di antaranya tidak terbukti
dan satu lagi tidak ditindaklanjuti dengan
pengusutan, sedangkan sepuluh lainnya tebukti.
Dari sepuluh yang terbukti, delapan di antaranya
adalah dosen. Di antara delapan pelaku tersebut
satu di antaranya adalah seorang guru besar dan
empat orang doktor.
Di Yogyakarta misalnya, terjadi dialog antarmahasiswa
program nonreguler. Mereka adalah
guru-guru yang belum berijazah S1 kemudian
ikut pendidikan penyetaraan.
Win : Ri, sudah ditunggu teman-teman
untuk nggarap tugas kemarin.
Ri : Ya, sebentar.
Win : Kamu dimana ta?
Ri : Di Shoping, cari makalah.
Shoping adalah tempat penjualan bukubuku
bekas juga buku baru, termasuk makalah,
dan skripsi. Ri sedang mencari makalah untuk
memenuhi tugas akhir semester berupa makalah
ilmiah.
Fenomena tersebut secara ekstrem membuahkan
plagiarisme kepengarangan. Makalah hanya
diganti identitas penulis dan lembaganya lalu
dikumpulkan. Pada tahap yang lebih ringan
hanya digunakan sebagian besar atau sebagian
kecil. Selain fenomena tersebut, dalam bahan
sosialisasi lomba karya tulis, Pusat Kurikulum
dan Perbukuan menengarai adanya plagiarisme
tipe copy and paste tulisan, gambar, grafik, dan
tabel (data) orang lain dari website atau blog
grafik. Tipe lainnya adalah “kopasus” ‘kopipaste-
ubah sedikit-sedikit’.
Aneka praktik plagiarisme tersebut mendorong
munculnya Peranturan Menteri Pendidikan
Nasional No 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi yang disusun berdasarkan tiga pokok pikiran
filosofis berikut. Pertama, menempatkan misi
perguruan tinggi, yaitu mencari, menemukan,
mempertahankan, dan menjunjung tinggi
kebenaran sebagai pertimbangan utama. Kedua,
terkait dengan yang pertama, mahasiswa, dosen,
peneliti, maupun tenaga kependidikan yang
berkarya di bidang akademik di lingkungan
perguruan tinggi diakui memiliki otonomi
keilmuan dan kebebasan akademik. Ketiga,
dalam melaksanakan otonomi keilmuan dan
kebebasan akademik, para mahasiswa, dosen,
peneliti, dan tenaga kependidikan diwajibkan
menjunjung tinggi kejujuran dan etika akademik,
terutama larangan melakukan tindakan plagiat
dalam menghasilkan karya ilmiah (hlm.105).
Hukuman
Secara normatif, plagiarisme dapat dikenai
sanksi komulatif, yaitu hukuman pokok dan
tambahan. Hukuman pokok dijatuhkan berdasarkan
UU Hak Cipta yang berlaku umum
bagi seluruh warga negara Indonesia dan
hukuman tambahan dikenakan berdasarkan
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan
Tingi yang berlaku khusus bagi kalangan
akademisi di perguruan tinggi.
Penerapan sanksi berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional pernah terjadi di
beberapa perguruan tinggi, yaitu pencopotan
jabaran guru besar, pembatalan gelar doktor,
dan penolakan usulan jabatan akademik guru
besar (hlm. 208). Ketiga tipe sanksi tersebut
menunjukkan keseriusan Kementerian Pendidikan
Nasional saat itu dalam menegakkan moral
akademik di lingkungan perguruan tinggi di
Indonesia.
Ungkapan yang lazim untuk menyugesti
dosen (profesor) di perguruan tinggi adalah
publish or perish ‘publikasikan atau minggirlah’.
Kata perish tampaknya merupakan sanksi bagi
yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan
baik. Status dosen tentu tidak akan dicabut. Gaji
dan tunjangan sertifikasi akan terus mengalir
ke ATM-nya, tetapi sebagai ilmuwan akan
“terpinggirkan” jika tidak memberi kontribusi
mencerahkan masyarakat melalui bidang ilmu
yang ditekuninya secara verbal tulis. Oleh
karena itu, menuangkan ide, hasil pemikiran,
pengkajian, dan penelitian dalam bentuk karya
ilmiah merupakan kristalisasi pergulatan
akademik dalam jangka waktu tertentu.
Kesanggupan menulis tersebut perlu diperkuat
dengan kebiasaan membaca. Ajakan meluangkan
waktu sehari sepuluh menit untuk membaca
buku ilmiah secara serius barangkali realistis
untuk membangun budaya baca (Macaryus,
2010:14).
Guru Besar
Dalam UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, pasal 49 ayat (2) dikatakan, “Profesor
memiliki kewajiban khusus menulis buku dan
karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya
untuk mencerahkan masyarakat.” Dalam
pandangan Macaryus (2010:14) buku dan karya
ilmiah merupakan bukti cinta, integritas, totalitas,
dan komitmennya sebagai ilmuwan yang akan
menjadi warisan abadi dan tidak terhapuskan
sampai menjelang akhir dunia. Oleh karena itu,
dalam diri setiap dosen melekat tanggung jawab
untuk terus membina diri agar menjadi penulis
yang andal dan bermartabat. Keandalan tampak
pada bobot pengaruh pada peer group rumpun
bidang keahliannya. Kebermartabatan tampak
pada proses dan keberterimaannya dari segi
etika akademik, terutama kejujurannya. Akan
tetapi, Undang-Undang tidak mengatur jumlah
buku dan karya ilmiah yang harus ditulis setiap
semester, setiap tahun, atau selama sebagai
dosen (profesor). Sebagai analogi, seorang dosen
termasuk profesor berkewajiban melaksanakan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat (pasal 60 butir a). Darma pendidikan
berlangsung teratur, terjadwal, dan diakhiri ujian.
Oleh karena itu, kewajiban menulis mestinya
dilaksanakan teratur dan terjadwal secara
pribadi dan diakhiri “ujian” berupa publikasi
buku dan karya ilmiah, minimal berbentuk naskah pracetak. Semua itu memungkinkan
lahirnya guru besar yang bukan hanya “besar
gajinya” tetapi juga besar karyanya, besar pengaruhnya,
dan besar kontribusinya dalam bidang
akademik.
Budaya menulis perlu ditumbuhkan dan
dikembangkan demikian juga budaya baca.
Budaya dapat dibangun dengan memaksakan
diri. Oleh karena itu, tahapannya, pada mulanya
terpaksa, selanjutnya menjadi biasa, dan akhirnya
menjadi budaya. Demikian pun dalam hal
menulis. Memaksa diri menulis mulai dari sehari
sekalimat dan membaca sehari sepuluh menit,
dalam jangka waktu tertentu akan menjadi
biasa dan akhirnya menjadi budaya. Budaya
terbentuk manakala seseorang sudah merasakan
nikmatnya menulis dan membaca sehingga
seluruh waktu “hanya” akan digunakan untuk
menulis dan membaca. Dalam iklim budaya
semacam itu orang sudah tidak berpikir untuk
“mencuri” karya orang lain untuk kenaikan
pangkat dan untuk publikasi. Ia akan semakin
“liar” karena lingkungan (alam, sosial, dan
budaya) sebagai sumber data/permasalahan semakin
membuka diri padanya untuk dikaji dan
tidak akan mampu menghabiskannya sampai
menjelang akhir hidupnya (Macaryus, 2010:14).
Hal tersebut sekaligus sebagai cara memutus
rentetan plagiarisme yang terjadi dalam dunia
akademik.
Mari, menjadi ilmuwan yang andal dan bermartabat!
Katakan “berhenti” pada plagiarisme!
Daftar Pustaka
Effendy, Muhadjir. 2013. 9 April. “Self-Plagiarism
atau Auto-Plagiat?” Kompas. Jakarta. Hlm.
12.
Macaryus, Sudartomo. 2010. 24 Februari.
“Profesor: Mencerahkan Masyarakat”.
Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta:14.
Peraturan. 2010. “Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat
di Perguruan Tinggi”. Jakarta.
Soelistyo, Henry. 2011. Plagiarisme: Pelanggaran
Hak Cipta dan Etika. Yogyakarta: Kanisius.
UURI. 2002. “Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta”. Jakarta.
UURI. 2003. “Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional”. Jakarta.

Related Posts

Leave a Reply