[:en]Editorial
ANTARA Berhala DAN KATARSIS
Sastra dan media massa memiliki tanggungjawab moral dan edukatif dalam memublikasikan karya dan informasi kepada masyarakat. Jika sastra menyajikan tokoh yang berseberangan dengan kepentingan moral, ia bermaksud agar perilaku tersebut tidak ditiru oleh masyarakat pembaca atau penontonnya. Demikian juga media massa yang menyajikan informasi mengenai pelaku tindak kejahatan tentu bermaksud memberikan rasa tidak nyaman bagi pelaku karena kejahatannya dipublikasi di media massa. Akan tetapi, dalam beberapa peristiwa, sastra dan media massa menjadi model tindak penyimpangan.
Istilah berhala, dalam bahasa Jawa brahala [brahɔlɔ] dengan menggunakan etimologi rakyat atau kerata basa diartikan bubrah tur ala ‘rusak dan jelek’. Jadi berhala dimaknai oleh masyarakat sesuatu yang menyebabkan rusak dan jelek. Hal tersebut juga mengingatkan pada awal dikenalnya monoteisme yang harus berkonsfrontasi dengan komunitas masyarakat penyembah dan pencipta berhala.1 Mereka menciptakan dewa-dewi yang mereka sembah dan menempatkannya sebagai penguasa. Pada zaman teknologi komunikasi, berhala itu berupa gadget yang memberikan kenyamanan dan kenikmatan hidup, meskipun hanya sementara dan semu. HP, internet, uang merupakan benda-benda ciptaan manusia yang di-berhala-kan. Demi uang orang melakukan menunjukkan perilaku yang rakus dan jahat dengan tega merampas hak-hak orang lain.
Sedangkan istilah katarsis berasal dari bahasa Yunani katharsis berarti ‘pemurnian, pembersihan’. Hal itu mengingatkan pada kisahkisah tragedi klasik yang berpengaruh secara antropologis. Dengan menyaksikan drama tragedi, penonton mengalami pembebasan dari berbagai tekanan dan megalami penyucian. Selanjutnya ia menghindari tindakantindakan yang disajikan dalam drama yang tidak sejalan dengan kepentingan moral. Dalam bahasa Indonesia istilah tersebut tidak ada padanannya, akan tetapi perilaku katarsis tampak pada setiap komunitas etnik yang ada di Indonesia, seperti ada tari magi, ritual tradisi, bersih desa, iderbumi, dan labuhan.
Tiada yang Sia-sia
James Allen filsuf Inggris yang hidup pada akhir abad ke-18 menyatakan, The strength of the effort is the measure of the result ‘kualitas usaha seseorang menentukan kualitas hasil’. Sampai pada tahap tertentu sebuah usaha mungkin belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. Bahkan ada kemungkinan hasilnya belum tampak sama sekali. Fenomena tersebut tentu tidak serta-merta dipandang sebagai kegagalan karena hasil sebuah usaha sangat dipengaruhi oleh banyak variabel. Apalagi bila berkaitan dengan kehidupan manusia yang bersifat multidimensi. Mengembangkan karakter melalui dongeng, mengatasi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan buruh perempuan, dan berbagai upaya yang berkaitan dengan kehidupan manusia memerlukan monitoring dan evaluasi. Prestasi yang gemilang pada masa tertentu ada kemunginan justru menjadi masalah pada masa yang lain.
Dongeng dan cerita rakyat yang semula bernilai edukatif sebagai sarana katarsis, ada kecenderungan menjadi model perilaku jahat yang menyimpang dari kepentingan moral. Perempuan yang semula bekerja pada wilayah domestik, sekarang harus berperan aktif ke wilayah publik. Media komunikasi yang menginformasikan berbagai perilaku yang menyimpang dimaksudkan untuk mendidik agar masyarakat menghindari, justru menjadi model dan media sosialisasi. Oleh karena itu, manusia yang dikaruniai daya cipta, rasa, dan karsa berpeluang untuk melakukan evaluasi, inovasi, sosialisasi, dan ujicoba sampai membuahkan hasil yang relevan dengan perkembangan masyarakat. Cerita rakyat yang anonim berpeluang untuk dimodifikasi sesuai dengan perkembangan penalaran dan harapan masyarakat. Sementara itu, masyarakat akan terus bergerak dan memancarkan pengaruh sesuai dengan hukum yang berlaku secara absolut maupun relatif sebagaimana yang berlaku dalam berbagai bidang ilmu.
Kualitas usaha tampak pada upaya dalam hal berpikir secara benar, bertindak secara benar, dan didasari oleh niat baik. Hal tersebut berpeluang menghasilkan sesuatu yang baik dan memancarkan kebaikan pula. Sedangkan secara kuantitatif, pancaran hasil tersebut ditentukan oleh kuantitas gerak atau dinamika masyarakat dalam berinovasi. Dalam teori fisika, gerak menghasilkan tekanan yang memungkinkan adanya pancaran atau transmisi energi yang mengarah pada ruang bertekanan rendah. Dalam bidang sosial budaya, masyarakat yang dinamis, kreatif, dan inovatif akan lebih kuat dalam mentransmisikan pembaruan-pembaruan ke masyarakat yang cenderung statis. Secara teoretis, kota besar akan memancarkan pengaruh-pengaruh yang besar ke daerahdaerah. Dengan demikian secara teoretis pula transmisi dari negara maju ke negara berkembang akan lebih besar dan dari pusat ke daerah akan lebih kuat pula dibandingkan sebaliknya. Jika daerah menghendaki dapat mentransmisi ke pusat, yang harus dilakukan adalah meningkatkan aktivitas yang inovatif. Jika hal tersebut dilakukan secara konsisten terbuka juga peluang untuk memancar sampai pada tataran global.
Beberapa contoh dapat sebagai bukti yang mendukung dan membenarkan gejala tersebut. Pertama, kegiatan wisata di Bali yang popularitasnya sampai tataran global. Kedua, kegiatan Jember Fashion Carnaval yang sudah mencapai peringkan empat besar dunia. Ketiga, kegiatan budaya di Banyuwangi mulai dari Banyuwangi Ethno Carnival, Gandrung Sewu, dan Festival Kuwung yang diselenggarakan di pusat kota Kabupaten sampai kegiatankegiatan ritual yang penyelenggaraannya di lokasi tempat budaya tersebut berasal dan dihidupi oleh masyarakat pendukungnya. Hal tersebut juga mendapat perhatian dunia dan mendapat penghargaan internasional. Semua berpeluang untuk memasuki wilayah yang terbatas atau luas, dinamika yang besar atau yang terbatas. Dilandasi niat baik dan demi kebaikan bersama, semua bermanfaat, tidak ada yang sia-sia.
Selamat berkarya.
Redaksi
[:]