Rasa-rasanya, baru kemarin saya dan kawan-kawan pegiat seni di Sastra menemui Prof. Kabul, selaku Rektor Universitas Jember, untuk meminta dana kegiatan Pentas Bulan Purnama; sebuah pertunjukan kesenian rakyat di Kampus Sastra. Dengan senyum yang sangat bersahaja, Beliau menyambut kami dan dengan tenang mendengarkan impian-impian yang hendak diwujudkan melalui Pentas Bulan Purnama. “Saya sangat senang kalau di Kampus Sastra menggalakkan pertunjukan kesenian rakyat, seperti jaranan. Di tengah-tengah pengembangan kampus-kampus Eksakta, Kampus Sastra harus bisa mewarnai dengan kegiatan seni dan kemanusiaan”. Begitulah kira-kira tanggapannya Dan, acc dana pun tidak menunggu waktu lama. Pada masa pertengahan 90-an sampai menjelang tahun 2000 uang 5 juta tentu sudah sangat besar untuk ukuran kegiatan kesenian di Kampus.
Tenryata itu sudah berlangsung belasan tahun yang lalu. Dan, kemarin (10 Maret 2016) sebuah kabar mengejutkan saya terima: Prof Kabul meninggal di RS Jember Klinik.
Ya, Prof Kabul bukan hanya Rektor Universitas Jember (1995-2003) secara administratif. Beliau termasuk figur pemimpin yang ‘progresif dan revolusioner’. Bermacam terobosan dalam kegiatan akademis dan pengembangan kelembagaan dilakukan. Pembukaan fakultas atau prodi baru di rumpun eksakta menjadi salah satu keunggulan kepemimpinannya. Dari hanya 6 fakultas menjadi 13 fakultas. Selain itu, pengembangan kegiatan kemahasiswaan dengan tegangan-tengangan diksursif dan praksis di era menjelang dan sesudah Reformasi 1998 menjadi warna tersendiri. Dan, Prof Kabul mampu mengawal roda kelembagaan Universitas Jember dengan baik.
Perhatiannya terhadap kegiayan kesenian dan pemikiran di tingkat mahasiswa cukup besar. Unit-unit kegiatan mahasiswa di tingkat fakultas maupun universitas berkembang pesat. Salah satu yang cukup pesat adalah UKM REOG SARDULO ANUROGO dan UKM KESENIAN UNEJ. Tidak lupa pula, Prof Kabul selalu berusaha untuk menghadiri undangan pagelaran seni yang diselenggarakan Fakultas Sastra. Bahkan tidak jarang Beliau ikut menari bersama para penari jaranan.
Apa yang menarik dicermati dari sosoknya adalah kebijakan kelembagaan yang tidak hanya mementingkan kelompok ideologis di mana ia berasal, GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia). Beliau memberikan kesempatan yang setara kepada dosen ataupu staf yang berasal dari ekstra-ekstra lain, seperti HMI, PMII, PMKRI, GMKI, dan lain-lain. Ini menunjukkan kedewasaannya sebagai pemimpin yang harus mampu merangkul semua golongan demi kemajuan sebuah lembaga. Di era ketika kepemimpinan perguruan tinggi sekarang terjebak ke dalam sekarianisme, teladan dari Prof Kabul layak untuk dipelajari lagi.
Sebagai pakar ekonomi-politik tembakau, Prof Kabul juga sangat concern terhadap persoalan-persoalan pertembakauan, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ketika banyak pihak mendesak Presiden SBY untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), Prof Kabul dengan tegas meminta pemerintah menolak karena hal itu berkaitan dengan nasib jutaan petani tembakau dan juga industri yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. ““Jangan hanya karena disindir Indonesia tidak mengaksesi FCTC, lalu pemerintah memaksakan kehendaknya untuk membunuh petani dan industri tembakau yang selama ini menjadi sumber penghasilan masyarakat dan negara.” (Tribunnews.com, 14 Oktober 2014). Pemikiran-pemikirannya terkait tembakau dituangkan dalam buku TEMBAKAU DIBUTUHKAN DAN DIMUSUHI yang bersama dua buku lainnya–KEMISKINAN DI INDONESIAN MUNGKINKAH DIAKHIRI? dan MELINTAS ZAMAN MERETAS PERUBAHAN: 70 TAHUN PERJALANAN HIDUP, PEMIKIRAN, DAN PENGABDIAN SANG PENDIDIK–di-launching tepat ketika Beliau berusia 70 tahun (4 Juli 2014).
Selain itu, cerita menarik lain dari sosoknya adalah KESETIAAN CINTANYA KEPADA ISTRI TERCINTA. Sang istri sudah meninggal ketika Prof Kabul masih menjabat sebagai rektor Univ Jember pada periode kedua. Di hadapan istri tercinta, Prof Kabul berjanji tidak akan menikah lagi. Meskipun banyak pihak menyarankannya menikah lagi, tetapi janji itu dipegang sampai Prof Kabul melepaskan nyawa untuk menemui Sang Khalik. Setia kepada cinta menjadi pilihan esksitensialnya sebagai suami dan bapak dari anak-anaknya, buah kasihnya dengan istri tercinta. Dan kini, “semoga engkau telah bertemu dengan istri yang kau cinta sepanjang hayat, Prof.” Paling tidak jasad Prof Kabul, sebagaimana wasiatnya, dimakamkan bersebelahan dengan makan istrinya, di SUMENEP.
SELAMAT JALAN PROFESOR, DOAKU SELALU MENYERTAIMU. PERJUANGAN, PENGABDIAN, DAN CINTAMU akan menjadi teladan dalam menapaki kehidupan ini. (ikwan)