Ali Imron Al-Ma’ruf
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pos-el: aliimron_almakruf@yahoo.com
Abstrak
Sastra multikultural berhubungan dengan perubahan masyarakat global dan lokal yang menjadi pluralistik. Pengarang merespons kondisi pluralistik tersebut dan. menginterpretasikannya dalam karya sastra multikultural, khususnya, yang merujuk pada posmodernisme. Banyak penulis muda menghasilkan sastra jenis tersebut. Sastra multikultural berpotensi menjadi media komunikasi internasional dan pendidikan karakter bangsa, yang mana, saat ini, para guru, pemerintah, dan tokoh masyarakat mengembangkannya. Lebih dari itu, sastra multikultural mampu melampaui batasan agama, etnis, bahasa, budaya, dan bangsa. Secara praktis, aktivitas kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra-kurikuler bisa menjadi medium untuk menyosialisasikan nilai-nilai multikultural melalui sastra. Lebih khusus lagi, sastra multikultural berpotensi menjadi media yang mempersatukan dan menggabungkan substansi lokal, nasional, dan internasional secara damai yang di dalamnya masyarakat bisa hidup dalam harmoni.
Kata kunci: global, karakter, sastra, lokal, multikultural, nasional
A. Pendahuluan
Dekade terakhir ini, dunia kesusasteraan
Indonesia diwarnai oleh munculnya
banyak karya sastra yang bersifat
multikultural yang mengundang perhatian
banyak khalayak pemerhati sastra.
Fenomena yang tidak kalah menarik
adalah bahwa karya sastra multikultural
tersebut banyak lahir dari para pengarang
perempuan yang tergolong dalam generasi
muda. Mereka menjadikan karya sastra
sebagai medium untuk menyuarakan nilai-nilai multikultural yang tampaknya semakin
diterima oleh komunitas pembaca di
tanah air. Hal ini dikarenakan karya sastra
merupakan interpretasi pengarang
atas
lingkungan sosial dan dunia yang dihadapinya
kemudian ditangkap oleh pembaca
dengan interpretasi pula berdasarkan
horison harapannya. Oleh karena
itu,
tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatannya
yakni tanpa memandangnya
sebagai
tindak komunikasi, atau sebagai
tanda, sastra tidak dapat dipahami secara
ilmiah (Teeuw, 1984:43). Karya sastra adalah
tindak komunikasi atau gejala semiotik,
yakni sistem komunikasi
tanda. Fenomena
sastra merupakan suatu
dialektika antara
teks dengan pembacanya dan antara teks
dengan konteks penciptaannya (Riffaterre,
1978:1).
Karya sastra apa pun genrenya baik
puisi, fiksi, maupun drama, mengemukakan
berbagai
masalah kehidupan manusia
dalam interaksinya dengan sesama dan lingkungannya,
juga interaksinya dengan diri
sendiri dan Tuhan. Ia merupakan hasil dialog
pengarang dengan kehidupan serta lingkungannya,
setelah melalui kontemplasi
secara intens. Pendeknya, karya sastra
merupakan karya imajinatif yang dilandasi
kesadaran
dan tanggung jawab kreatif sebagai
karya seni yang berunsur estetik dengan
menawarkan model-model kehidupan
sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang,
termasuk ketika menyikapi fenomena
sosial saat ini yang mengetengahkan wacanawacana
multikultural.
Pandangan para futurolog seperti
Alvin Toffler dalam Future Shock (1970),
John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam
Megatrends 2000 (1990) telah menyadarkan
kita bahwa terdapat perubahan besar
yang sedang melanda dunia, khususnya
di bidang teknologi komunikasi yang
mengakibatkan terjadinya perubahan tata
nilai dalam kehidupan kita sejak akhir
abad XX. Televisi (TV) –dan produk teknologi
elektronik lainnya seperti: video
compact disc (VCD), digital video disc (DVD),
laser disc, home theatre, film, komputer,
dan internet– menimbulkan akselerasi
perubahan nilai dalam kehidupan
masyarakat. Media elektronik dengan
muatan
budayanya mampu memberi
sugesti terhadap pemahaman, pandangan,
dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai
kehidupan, termasuk multikulturalisme.
Akselerasi
perubahan nilai dalam kehidupan
masyarakat ternyata juga direfleksikan
oleh para pengarang dengan
mengetengahkan model karya sastra
yang bersifat multikultural, terutama
kaitannya dengan arus utama globalisasi
yang melanda masyarakat dunia. Salah
satu ciri dari globalisasi adalah
terjalinnya pola-pola komunikasi yang
terbuka dan tanpa sekat antarmasyarakat
dari pelbagai belahan dunia dengan
perbedaan budaya maupun kehidupan
sosial.
Dengan demikian, memungkinkan
berlangsungnya suatu proses komunikasi
yang bersifat antarbangsa dengan karya
sastra sebagai medianya.
Uraian di atas menunjukkan adanya
permasalahan yang perlu dikaji, seperti:
mengapa banyak lahir sastra multikultural
pada dekade terakhir ini? Adakah sastra
multikultural merupakan refleksi realitas
sosial-budaya masyarakat kita yang
sedang berubah menuju pluralitas dan
multikultural ataukah suatu panggilan
historisitas? Bagaimana peran karya sastra
multikultural sebagai media komunikasi
antarbangsa. Pembahasan dalam artikel
ini, tidak berpretensi untuk mengkaji
sastra multikultural secara mendalam
melainkan
sebagai studi awal tentang
fenomena kehadiran sastra multikultural
dan eksistensinya yang akhir-akhir ini semakin
banyak lahir dari para sastrawan
dan secara reseptif diterima oleh pembaca
dengan baik?
Kajian dalam tulisan ini dilakukan
secara kualitatif sebagai hasil interpretasi
terhadap fenomena-fenomena yang berkaitan
dengan globalisasi dan multikulturalisme.
Keduanya digunakan sebagai
dasar menginterpretasi karya sastra
Indonesia. B. Globalisasi dan Multikulturalisme
Perubahan nilai berlangsung dalam
kehidupan masyarakat seiring dengan era
globalisasi sehingga negara satu dengan
lainnya tidak ada lagi sekat-sekat kecuali
sekat teritorial dan administratif. Dunia
telah menjadi semacam perkampungan
global (global village) sehingga komunikasi
antarbangsa pun semakin mudah.
Membanjirlah berbagai informasi dari
negara satu ke negara lain dengan mudah
dan tidak terbendung, terutama dari
negara-negara maju (baca: Barat) menuju
ke negara-negara dunia ketiga yang
sedang berkembang seperti Indonesia.
Konsekuensi logisnya, transformasi nilai
sosial-budaya antaretnis dan antarbangsa
dalam kehidupan masyarakat tidak
terelakkan.
Di Indonesia transformasi sosial-budaya
mengakibatkan terjadinya pergeseran bahkan
perubahan nilai kehidupan dalam masyarakat.
Pola kehidupan masyarakat kita sedang
berubah dan bergerak dari agraris menuju
masyarakat industrial, dari tradisional-statis
menuju modern-dinamis, dari nilai lokaldaerah
menuju nilai global-universal, dari
keseragaman menuju keberagaman, dari
satu nilai menuju serba nilai, dari monokultural
menuju multikultural. Inilah wajah
masyarakat kita yang sedang berubah akhirakhir
ini sebagai konsekuensi logis dari berlangsungnya
era globalisasi dunia.
Sebagai ilustrasi, kini dapat kita saksikan
nilai-nilai kehidupan masyarakat
yang dulu dipandang tabu kini justru
dibanggakan (misalnya: mode pakaian
yang terbuka, sempit, cupet (Jawa), dan
transparan, serta kebebasan bergaul
dengan lain jenis atau sesama jenis).
Sebaliknya, nilai-nilai yang dulu dipandang
baik kini cenderung mulai menghilang
(etika/ sopan santun dalam pergaulan,
kehormatan, kesucian, keramah-tamahan,
sikap gotong-royong, dan suka mengalah).
Di pihak lain nilai-nilai tradisi-lokal
kedaerahan mulai bersaing dengan nilainilai
global-universal seiring dengan
kemajuan
pendidikan, ilmu pengetahuan,
dan teknologi. Nilai-nilai tradisi yang
statis dan homogen mulai dipandang
kuna, ketinggalan zaman karena terlalu
banyak
ikatan moral (etika). Muncullah
kecenderungan baru bahwa komunitas
generasi muda kita mulai berkiblat kepada
nilai-nilai mondial-universal yang
dipandang lebih terbuka, bebas, demokratis,
dan pluralistis.
Akibat lebih lanjut, kini sulit kita
saksikan budaya yang orisinal dan yang
terjadi adalah “perselingkuhan” budaya
baik antardaerah, antarsuku, antarras,
maupun
antarbangsa. Dengan kata lain,
nilai multikultural tampaknya diakui
sebagai sebuah fenomena baru. Tradisi
masyarakat
Jawa yang dulu ketat pun,
kini mulai longgar sehingga sudah lazim
dipadukan dengan budaya Barat. Sebagai
ilustrasi, dalam upacara pernikahan
dengan adat Jawa, kini banyak dimeriahkan
dengan lagu-lagu populer bahkan musik
rock dan pakaian jas berdasi ala Barat.
Demikian pula dalam sebuah keluarga
Jawa puritan yang berpandangan statis
pun kini mulai terbiasa dengan suasana
demokratis dan dinamis. Pluralisme dan
multikulturalisme kini telah menjadi
realitas hidup atau sebuah keniscayaan
yang tidak terhindarkan dalam kehidupan
masyarakat
dan bangsa Indonesia.
Fenomena transformasi sosial-budaya
yang kemudian melahirkan pluralisme
budaya
tersebut pada beberapa dekade
terakhir ini tampaknya mulai merambah
dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.
Tidak hanya dalam upacara seremonial,
tradisi keluarga, peristiwa kultural, dan
pranata sosial, semangat multikultural
mulai
menjadi orientasi hidup di kalangan
masyarakat modern terutama generasi
muda kita. Tidak terkecuali spirit multikulturalisme
juga terasa “menggeliat”
dalam banyak karya sastra Indonesia.
Agaknya para sastrawan kita menangkap
keniscayaan multikulturalisme itu dan
direfleksikan di dalam karyanya. C. Multikulturalisme dan Sastra
Multikultural
Munculnya multikulturalisme dilatarbelakangi
antara lain oleh adanya tiga
teori sosial yang menjelaskan hubungan
antarindividu dalam masyarakat dengan
beragam latar belakang agama, etnik,
bahasa,
dan budaya. Menurut Garcia
(1982:37-42) teori sosial tersebut adalah:
(1) Melting Pot I: Anglo Conformity
(individu-individu yang beragam latar
belakang seperti agama, etnik, bahasa, dan
budaya, disatukan ke dalam satu wadah
yang dominan); (2) Melting Pot II: Ethnic
Synthesis (individu-individu yang beragam
latar belakangnya disatukan ke dalam
satu wadah baru, identitas agama, etnik,
bahasa, dan budaya asli para anggotanya
melebur
menjadi identitas yang baru;
dan (3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy
(individu-individu yang beragam latar
belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya,
memiliki hak untuk mengekspresikan
identitas budayanya secara demokratis
dengan tidak meminggirkan identitas
budaya
kelompok minoritas). Jika individu
dalam
suatu masyarakat berlatar belakang
budaya lokal Jawa, nasional, dan universal
misalnya, maka masing-masing individu
berhak menunjukkan identitas budayanya,
dan boleh mengembangkannya tanpa
saling mengganggu satu dengan yang lain.
Teori ketiga itulah yang dipandang paling
sesuai dalam pengembangan masyarakat
global yang pluralistis. Dengan demikian,
multikulturalisme mengakui hak individu
untuk
tetap mengekspresikan identitas
budayanya
sesuai dengan latar belakang
masing-masing termasuk jender dengan
bebas. Inilah esensi multikulturalisme
dalam masyarakat heterogen.
Meminjam istilah Robinson (dalam
Ekstrand, 1997:350), kita dapat membedakan
tiga perspektif dalam pengembangan
multi-kulturalisme, yakni: (1) Perspektif
Cultural Assimilation: model yang menunjuk
pada proses asimilasi warga masyarakat
dari berbagai
kebudayaan atau masyarakat
subnasional ke dalam suatu core culture atau
core society; (2) Perspektif Cultural Pluralism:
menekankan pentingnya hak bagi semua
kebudayaan dan masyarakat subnasional
untuk memelihara dan mempertahankan
identitas kultural masing-masing; dan
(3) Perspektif Cultural Synthesis: sintesis
dari perspektif asimilasionis dan pluralis,
menekankan pentingnya proses terjadinya
ekletisisme dan sintesis di dalam diri warga
masyarakat, dan terjadinya perubahan di
dalam berbagai kebudayaan dan masyarakat
subnasional. Perspektif ‘sintesis multikultural’
memiliki rasional yang paling
mendasar dalam hakikat pengembangan
masyarakat
multikultural, yang oleh
Ekstrand (1997:349), diidentifikasi dalam
tiga tujuan yakni tujuan attitudinal, tujuan
kognitif,
dan tujuan instruksional.
Dalam situasi sekarang yang disebut
oleh antropolog Appadurai (1991:28)
sebagai global ethnoscape, budaya-budaya
memang tetap memuat perbedaan, tetapi
perbedaan tidak lagi bersifat taksonomis,
melainkan yang interaktif yang membedakan
daripada sebagai sebuah esensi.
Dengan kata lain, perbedaan (seperti halnya
persamaan) dapat dipahami ibarat sebuah
titik pada seutas tali yang dapat digeser ke
kanan atau ke kiri. Terjadilah perubahan
cara pandang dalam antropologi, misalnya,
ethnic (etnik) menjadi ethnicity (etnisitas,
kesuku-bangsaan), dari Jawa menjadi ke-
Jawa-an, dan seterusnya.
Perbedaan budaya dapat dipahami
sebagai suatu keniscayaan, bukan sesuatu
yang perlu diperuncing karena pada hakikatnya
dalam masyarakat pasti terdapat
individu-individu yang latar belakangnya
beraneka ragam. Dengan demikian,
kita harus dapat menerima perbedaan
pandangan
dan budaya apa pun latar
belakangnya. Jadi, pluralisme terdalam
akan sampai pada kesepahaman, bahwa
perbedaan
budaya mengartikulasikan
hak-hak orang lain dan inti dari kesatuan
dalam perbedaan ini. Multikulturalisme
menciptakan
struktur dan proses yang
memperbolehkan ekspresi berbagai kebu dayaan, komunitas, dan individual baik
laki-laki maupun perempuan.
Berdasarkan pemahaman di atas, dapat
dikemukakan bahwa multikulturalisme
adalah
suatu pandangan dan sikap untuk
melihat keanekaragaman budaya sebagai
realitas fundamental dalam kehidupan
masyarakat.
Sikap seseorang membuka diri
untuk
menjalani kehidupan bersama dengan
menerima
dan memahami pluralitas sebagai
keniscayaan hidup yang tidak dapat ditolak.
Pada gilirannya muncul kesadaran bahwa
keanekaragaman
dalam realitas dinamik
kehidupan adalah sebuah realitas yang tidak
dapat diingkari. Multikultralisme dengan
demikian
merupakan sebuah kesejatian
dalam kehidupan masyarakat modern.
Dalam konteks ini, Dewanto (1996)
menyatakan, bahwa kita tidak sedang dan
hidup dalam aneka dunia yang terpisah
satu dengan lainnya, melainkan dalam
berbagai dunia yang saling bersentuhan,
saling pengaruh, saling memasuki satu
dengan lainnya. Oleh karena itu, dunia
kita bukanlah dunia yang plural melainkan
dunia yang tetap saja tunggal tetapi bersifat
multikultural. Pluralitas merupakan tahap
awal dari proses ke arah itu, salah satu
jalan
yang memungkinkan kita untuk
toleran dan pada gilirannya terbuka untuk
memasuki dan dimasuki.
Dengan demikian, sastra multikultural
dapat diartikan sebagai sastra yang
mengandung
dimensi-dimensi pluralistik
yang menyuarakan spirit multikultural
baik dalam genre puisi, fiksi, maupun
drama.
Gagasan-gagasan dan semangat
pluralistik terasa mendasari karya sastra
multikultural itu. Dengan demikian, kultur
lokal, nasional, dan global dapat berinteraksi
secara wajar tanpa harus dipertentangkan.
D. Sastra Multikultural: Potret
Masyarakat Pluralistik
Karya sastra yang dimiliki suatu
bangsa dalam konteks kultural memberikan
kesadaran
tentang perspektif kultural dan
sejarah yang terbentang di hadapannya,
kesadaran tentang kultural yang melekat
padanya, kesadaran tentang pandanganpandangan
dunia tertentu, dan nilai-nilai
tertentu
yang menjadi karakter bangsa itu
yang ditawarkan oleh pengarang sesuai
dengan
orientasi kebudayaannya.
Kebudayaan Indonesia yang bersifat
bhinneka, merupakan tegangan antara
kebudayaan lokal-daerah, nasionalmodern,
dan global-universal yang masih
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan.
Adanya tekanan pengaruh
internal
dan eksternal yang cukup
kuat, membuat
budaya-budaya daerah mengalami berbagai
perubahan. Hubungan antara kebudayaan
nasional dan budaya daerah
berubah terus-menerus, karena kedua
pihak selalu berusaha menanggapi setiap
tekanan yang dihadapinya, termasuk
gempuran budaya asing dalam era globalisasi.
Dalam konteks itu, kebudayaan terselenggara
secara niscaya dan organik,
merespons perubahan senegeri dan sejagad.
Tidak ada determinan tunggal dalam sejarah
kebudayaan mana pun. Tidak ada wakilwakil
resmi kebudayaan Indonesia. Dengan
demikian, tidak perlu terjadi dikotomi
kebudayaan
nasional dan kebudayaan
daerah.
Bahkan, menurut Dewanto (1992),
setiap orang atau kelompok masyarakat
secara potensial adalah pencipta
kebudayaan.
Hasil evolusi itu adalah bukti daya
hidup kebudayaan kita sekaligus bukti
makin tidak terhindarnya pengaruh kebudayaan
global, sehingga kebudayaan kita
cenderung
pluralistik.
Berkat perpaduan berbagai kebudayaan
tersebut, kebudayaan Indonesia
selalu
dinamis. Segenap kebudayaan itu
hidup dan berfungsi dalam konteks situasi
internasional yang sedang mengalami
perubahan
yang serba cepat. Untuk itu,
perlu
kita kaji bersama, bagaimana caranya
memberdayakan kebhinekaan budaya atau
multikultural ini sebagai suatu sumber
daya potensial untuk pembangunan
bangsa (nation building). Demikian pula
dalam proses penciptaan karya sastra. Untuk itu, keterpaduan dan kepekatan
kultur yang bersifat pluralistik akan
dapat dicapai melalui program nasionalisasi
budaya-budaya daerah, bukan
program homogenisasi terhadap budayabudaya
daerah yang menghasilkan suatu
kesatuan yang bersifat hambar dan artifisial.
Dengan demikian, slogan Bhinneka
Tunggal Ika benar-benar kita kembangkan.
Adanya ‘perselingkuhan’ musik diatonis
dan non-diatonis, misalnya dalam gamelan
Kyai Kanjeng yang dikomandani
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) atau
dalam musik campursari oleh Manthous
dari Yogyakarta, merupakan ilustrasi yang
mudah dipahami. Demikian pula pementasan
wayang kulit Ki Warseno Slank dari
Solo yang dilengkapi dengan musik band
bahkan dhangdhut.
Ke depan tidak ada lagi kebudayaan
tradisi yang terbebas dari pengaruh budayabudaya
lain, baik antaretnis, antardaerah,
maupun
antarbangsa. Demikian pula dalam
hal karya sastra, kecenderungan menuju
pluralitas
dan universalitas budaya merupakan
keniscayaan yang sulit terhindarkan.
Sastra multikultural merupakan jawaban
atas kehidupan masyarakat yang
sedang berubah menuju pluralistik serta
refleksi terhadap realitas sosial-budaya
yang berkecenderungan global-universal.
Pengarang
yang peka terhadap masalahmasalah
masyarakatnya terpanggil untuk
merespons dan menginterpretasi dalam
wujud karya sastra. Sastra merupakan
dokumen sosial-budaya yang
mencerminkan
dinamika, dialektika, dan
romantika masyarakat pada zamannya.
Sastra adalah anak zamannya.
E. Sastra Multikultural: Media
Komunikasi Antarbangsa
Sastra multikultural tidak terlepas dari
adanya gagasan mengenai sastra kontekstual
(Heryanto, 1985) dan posmodernisme
(Dewanto, 1991). Gagasan mengenai sastra
kontekstual membangun totalitas baru
yang realis dengan menempatkan karya
sastra sebagai produk dan proses historis
yang nyata untuk memecahkan problemproblem
yang nyata pula. Proses historis
diartikan sebagai proses perjuangan kepentingan
politik sekelompok anggota
masyarakat. Jadi, yang menjadi pusat
totalisasi
dunia sastra adalah kepentingan
politik (lihat Faruk, 2001:42). Novel Bumi
Manusia karya Pramoedya Ananta Toer
memperlihatkan kecenderungan itu.
Adapun yang muncul dalam posmodernisme
adalah gagasan mengenai
peniadaan pusat totalisasi dunia. Pandangan
ini dapat diartikan sebagai peniadaan
pusat-pusat sehingga membentuk
pluralisme budaya tetapi tidak mengarah
pada etnosentrisme (Dewanto,
1991). Posmodernisme menawarkan
suatu
totalisasi yang beraneka ragam
dan unik tanpa meniadakan totalisasitotalisasi
lain. Hal ini sesuai dengan teori
Cultural Pluralism: Mosaic Analogy dan
perspektif Cultural Synthesis yang telah
dikemukakan di atas. Dalam pemahaman
posmodernisme dengan perspektif inilah
pengkajian sastra multikultural ini
dilakukan.
Sebagai ilustrasi, novel Saman (1998)
karya Ayu Utami mendobrak mainstraim
sastra Indonesia yang selama ini dipandang
sangat patriarkal dan tabu membahas
seksualitas. Bagi Ayu Utami, masalah
perempuan
dan seksualitas merupakan
sesuatu yang universal sehingga perlu
dibicarakan, tidak perlu disembunyikan.
Saman mengangkat konflik antara kepentingan
ekonomi dan kultural masyarakat
lokal dengan kepentingan ekonomi
nasional bahkan global, terutama
keserakahan kapitalis yang dibayangkan
bersifat eksternal.
Saman menempatkan
persoalan tersebut dalam dan dengan
“bahasa tubuh”
dan “bahasa hasrat” yang
ditindas oleh kekuasaan daya nalar dan
tertib rasionalitas
(lihat Faruk, 2001:157).
Saman menempatkan lokalitas sebagai
salah satu bagian saja dari aneka permainan
kekuasaan
yang tersebar di mana-mana,
dalam relasi jender, relasi keagamaan,
relasi industrial, dan relasi pengetahuan
(normal-tak normal). Tidak ketinggalan Oka Rusmini melalui
novel Tarian Bumi juga mendendangkan
spirit multikultural sebagai media resistensi
kultural terhadap ketatnya tradisi dalam
masyarakat
Bali yang masih hidup sampai
sekarang. Tarian Bumi merupakan perlawanan
terhadap budaya patriarkal dalam arti bagaimana
kaum pradana (penari) tetap mampu
eksis, berperan, dan survive dalam budaya
patriarkal. Luh Sekar, seorang gadis desa
–yang merasa dihinakan karena ayahnya
dianggap
terlibat PKI– berusaha keras untuk
menjadi pragina Joget Bungbung. Dengan
menjadi
pragina Joget, ia yakin akan dapat
meningkatkan statusnya dari perempuan
sudra (orang kebanyakan) menjadi terhormat,
di samping mengangkat popularitas seka Joget
desanya dan mendapatkan penghasilan bagi
hidup keluarganya.
Dengan sangat menarik Oka Rusmini
dalam novel Tarian Bumi mengungkapkan
perjuangan perempuan dalam melawan
hegemoni
laki-laki seperti dapat disimak
dalam kutipan berikut.
“… Sejak kapan orang-orang di desa
ini melarang gadis cantik sepertiku ikut
menari?”
“Salahkah kalau sekarang aku ingin
jadi penari yang dipuja-puja? Penari yang
dapat menghidupkan sekeha joget desa ini!
Begitu banyak sekeha joget yang muncul.
Kudengar mereka semua memiliki pragina
yang luar biasa. Di atas panggung tubuh
pragina-pragina itu benar-benar jadi api
yang membakar setiap nafas laki-laki.
Luar biasa. Aku ingin melebihi praginapragina
itu. Aku yakin Kenten, aku bisa
melakukannya” (Tarian Bumi:20-21).
Karya sastrawan angkatan terdahulu,
misalnya, Y.B. Mangunwijaya dalam novel
Burung-burung Manyar (1981), Rara Mendut
(1983), dan Burung-burung Rantau (1993),
memiliki benang merah mengangkat
masalah multikultural. Dalam Burungburung
Manyar (BbM) ditampilkan cara
khas orang Jawa menggunakan bahasa
Indonesia. Hal itu secara kultural akan
membangkitkan kesadaran
akan pluralisme
bahasa Indonesia.
Dengan memanfaatkan
cerita wayang yang sudah populer sebagai
model cerita, novel tersebut menampilkan
cara hidup dan cara pandang kelompok
masyarakat
serdadu KNIL yang khas,
yang berbeda dengan cara hidup dan
cara pandang masyarakat Indonesia pada
umumnya,
misalnya dalam nasionalisme
dan revolusi. Dalam Roro Mendut, secara
aktual Romo Mangun mempertanyakan
kedudukan Roro Mendut masa kini yang
mendapat nama baru wanita karier di
tengah budaya masyarakat yang masih
sangat patriarkal. Adapun Burung-burung
Rantau (BbR) menampilkan tokoh-tokoh
cerita yang dapat hidup di berbagai pusat
budaya, seperti Jawa, Belanda, India,
Yunani, dan Swiss. Mereka hidup dalam
kesadaran pluralisme budaya yang sangat
dinamis tanpa harus kehilangan jati
dirinya.
Tidak kalah menariknya (BbR)
mengungkapkan
multikulturalisme dengan
sangat indah dalam kehidupan
masyarakat
modern yang berlatar
belakang budaya Jawa. Bagaimana menanggapi
orang-orang yang memiliki
pluralisme pandangan dan sikap budaya,
namun tetap dapat selaras dalam sebuah
harmoni kehidupan keluarga. BbR
mengusung persoalan-persoalan multikultural,
dalam hal ini perkembangan
kehidupan masyarakat kita yang menunjukkan
kecenderungan ke arah budaya
global
dengan multikulturalisme sebagai
konsekuensinya, yang tidak lagi terikat
oleh satu budaya etnis yang kaku dan
tabu. Berbagai nilai budaya antarbangsa
dan antaretnis saling berbaur dan saling
memengaruhi satu dengan lainnya.
Masalah itu disajikan dalam BbR sekaligus
diungkapkan adanya perbedaan
pandangan antargenerasi dan perkawinan
budaya
tradisi (lama) yang masih berpijak
pada bumi Indonesia dengan budaya
modern yang berorientasi global. Generasi
tua diwakili oleh pasangan Wiranto dan
Yuniati, istrinya, sedangkan generasi
pandangan modern pasca-Indonesia yang
berkecenderungan
global diwakili anakanaknya:
Anggi (Anggraini), pengusaha yang melanglang buana di banyak negara,
Wibowo yang bekerja di Swiss, Candra
yang menjadi pilot pesawat dan banyak
studi kedirgantaraan di Amerika, dan
Neti yang suka hidup bebas bagai burung
rantau yang dapat terbang sesuai dengan
suara hatinya, serta Edi, si bungsu yang
terpengaruh oleh pandangan Karl Marx
dan terperangkap dalam narkoba.
Sebagai ilustrasi, mencairnya budaya
Timur dan budaya Barat merupakan gagasan
multikultural yang diungkapkan dalam BbR.
Multikulturalisme berpandangan bahwa tidak
ada lagi pusat-pusat kebudayaan yang
dianggap dominan, baik lokal-daerah, nasional,
dan universal-global, maupun Barat
dan Timur. Semua kebudayaan dalam
kehidupan
manusia yang heterogen dan
pluralistik dapat hidup berdampingan,
tanpa merendahkan satu terhadap yang
lain. Bagi multikulturalisme, setiap kebudayaan
memiliki eksistensi tersendiri. Karena
itu, semuanya harus dihargai dan
saling menghormati. Pandangan ini dilontarkan
oleh pengarang melalui dialog
antara Gandhi, Neti, dan Candra berikut.
“Inilah patungan kebudayaan Barat
yang telah berkembang ke arah lain dari
bangsaku yang kelak, selain dunia Cina
dan Jepang, disebut Timur.” Gumam
Gandhi merenung-renung, seolah-olah
mendaras kitab-kitab silsilah, seperti ada
sesuatu yang ia sesalkan.
“Padahal nenek moyang orang-orang
dan kebudayaan Hellen di Yunani Antik ini
sama akarnya: orang-orantg Indo-Jerman
ras Nordik dari Asia Sentral. Sungguh
misteri, kami mengikuti garis-garis
mitologi yang serba berbahasa lambang,
dongeng, imajinasi, dan puisi; sedangkan
orang-orang di sini menempuh jalan yang
justru melawan dunia mitologi dan bahasabahasa
perasaan, tegas mengandalkan diri
kepada rasio, kemerdekaan berpikir, dan
jiwa eksplorator yang tidak puas dengan
apa yang didapat. Kami cinta pada segala
yang statis, yang jangan berubah. Bagi
kami, yang permanen, yang abadi, itulah
yang terpuji, yang berbobot, yang keramat.
Yang memberi ketentraman hati adalah
jiwa bagaikan angin bambu dan gelagah
rawa-rawa yang menyesuaikan diri dengan
irama serta nafsu-nafsu alam; sedangkan
budaya Hellen, benih Barat, senantiasa
haus, tidak pernah puas, petualangpetualang
dan pemberontak yang senang
kalau menghadapi yang bergerak dan
menempuh bahaya misterius yang tidak
dikenal… (Burung-burung Rantau: 237).
Bagaimanapun kemajuan yang dicapai
orang Barat, mereka juga memiliki
kelemahan. Mereka sering menjadi rakus,
serakah, sehingga merusak alam. Oleh
karena itu, bagi kita, orang Indonesia, harus
dicari jalan tengah yang dapat mencairkan
antara Barat dan Timur yang sama-sama
memiliki kelebihan dan kelemahan.
Kutipan berikut melukiskan hal itu.
“Tetapi, yang sayang, akhirnya
memperkosa dan merusak alam
kediamannya sendiri, akibat serakahnya.
Dengan perangai yang selalu haus, tidak
pernah puas, tidak pernah seimbanglah
jiwa petualangan mereka,” sanggah
Gandhi.
“Kukira,” sambung Mas Candra,
“orang-orang kita harus mencari jalan
kencana tengah. Kemudian aku barangkali
boleh dipensiun. Tetapi aku pun sudah
dihinggapi penyakit Ikarus dan petualangpetualang
Barat itu, jujur harus kuakui.
Aku tidak bisa lagi tenang dan damai
duduk di rumah kalau tidak dapat masuk
dalam salah satu burung perang itu dan
mengarungi dirgantara (Burung-burung
Rantau:238-239).
Selain melalui dialog di atas, perkawinan
Bowo (Jawa, Indonesia) dengan
Agatha, orang Yunani, merupakan simbolisasi
dari kekuatan budaya Barat dan
Timur. Budaya Barat tidak pernah puas,
petualang yang terus bergerak dinamis,
dan eksplorator alam yang terkadang menjadi
serakah, sedangkan budaya Timur
cinta
kepada keabadian, yang permanen,
yang mendatangkan ketentraman.
Demikian pula Abidah El Khalieqy
dalam puisi “Perempuan yang Ibu” dan
“Aku Hadir” (dalam Rampan, 1997:484-
485). Kedua puisi ini mencoba melantunkan
multikulturalisme terutama dalam
menghadirkan sosok perempuan –yang
selama ini sering dimarjinalkan– yang
memiliki eksistensi yang tidak boleh diabaikan di tengah budaya masyarakat
Indonesia
yang patriarkal. Perhatikan
puisi “Aku Hadir” berikut.
Aku perempuan yang menyeberangi
zaman
membara tanganku menggenggam pusaka,
suara diam
menyaksikan pertempuran memperanakkan
tahta
raja-raja memecahkan wajah, silsilah
kekuasaan
Aku perempuan yang merakit titian
menabur
lahar berapi di bukit sunyi
membentangkan impian di ladang-ladang
mati
musik gelisah dari kerak bumi
Aku perempuan yang hadir dan mengalir
membawa kemudi
panji matahari
Aku perempuan yang kembali
dan berkemas pergi
(Rampan,1997:484-485).
Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk
(RDP, 1981-1987; 2003) karya Ahmad Tohari
juga memperlihatkan kecenderungan multikulturalisme.
Seperti BbM karya Mangunwijaya,
RDP menunjukkan kecenderungan
serupa dengan menempatkan lokalitas
Jawa
sebagai bagian dari kebhinnekaan
Indonesia. Daya pukau novel trilogi RDP
terletak pada pengungkapannya mengenai
cara hidup dan cara pandang yang
khas dari masyarakat terpencil di Jawa
Tengah (Banyumas). Cara pandang mereka
mengenai hubungan seks bebas dalam
dunia ronggeng yang lugu dan polos
merupakan local genius yang mampu
mencuatkan novel ini di tengah pluralisme
budaya global. Melalui tokoh Srintil,
RDP merupakan resistensi budaya, juga
resistensi kaum perempuan terhadap
hegemoni
kekuasaan laki-laki. Bagi
Srintil, menjadi ronggeng merupakan
tugas
budaya yang mesti ditunaikan
sehingga membuatnya bangga. Dengan
menjadi ronggeng, Srintil merupakan
duta budaya yang mewakili perempuan
dan keperempuanan yang mengampu
naluri-naluri kelelakian. Pengampuan ini
dalam pandangan orang-orang Dukuh
Paruk merupakan keniscayaan agar terjadi
keselarasan
dan keseimbangan antara
perempuan dan laki-laki yang bersamasama
hadir dalam sebuah kehidupan.
Karena itu, pada posisi sebagai duta
keperempuanan, Srintil tidak melihat
laki-laki sebagai pihak yang superior dan
menguasainya. Bagi Srintil, perempuan
dan laki-laki tidak dipandang secara
dikotomis. Dia tidak merasa lemah ketika
berhadapan dengan laki-laki. Dia sadar
bahwa laki-laki memang memiliki kekuatan
secara fisik, namun dia juga tahu laki-laki
memiliki banyak kelemahan terutama
yang berupa kebutuhan pengakuan atas
kelelakian mereka. Pada saat itulah justru
perempuan hadir dengan keperkasaannya.
Srintil tahu bahwa laki-laki segagah apa
pun dapat menjadi sangat ringkih (lemah)
dan merengek-rengek ketika dia sedang
mabuk kepayang. Karena itu, Srintil tidak
menganggap laki-laki lebih kuat daripada
perempuan atau sebaliknya. Bahkan,
secara pribadi Srintil menganggap bahwa
laki-laki adalah makhluk yang lemah
terbukti puluhan laki-laki hanya dapat
melongo dengan pikiran kalang kabut
hanya oleh lirikan mata, pacak gulunya,
atau geyolnya (goyang pinggul erotis)
ketika Srintil sedang menari.
Dalam karya-karya sastra di atas
tampaklah bahwa lokalitas sebagai sesuatu
yang dapat memberikan pengayaan dan
makna pada lingkungan global yang
plural. Saman, BbM, BbR, dan RDP telah
menempatkan lokalitas sebagai salah satu
dari aneka permainan kekuasaan yang
tersebar di berbagai tempat, dalam relasi
jender, relasi keagamaan, relasi industrial,
relasi pengetahuan (normal tak-normal),
dan sebagainya. Masih banyak karya
sastra yang menyuarakan multikultural
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Kecenderungan multikultural tampak
sekali pada karya-karya para sastrawan
dalam dua dekade terakhir ini
memperlihatkan adanya pluralisme
budaya dalam perspektif posmodernisme.
Dari segi ekspresi terlihat pada stilistika
dan gagasan-gagasan yang ditawarkan dengan penuh keterbukaan, kebebasan
berekspresi, keberanian, dan kejujuran.
Masalah-masalah yang dikemukakan
itu misalnya: masalah perselingkuhan,
poligami,
keadilan jender, budaya etnis,
budaya bangsa lain, perlawanan terhadap
budaya patriarkal, lesbianisme dan
homo-seksual, bahkan seksualitas diperbincangkan
secara terbuka dan penuh
antusias,
oleh pengarang perempuan lagi.
Di sisi lain terdapat pula tema religius dan
kemanusiaan yang menyentuh nurani.
Masalah-masalah tersebut dapat dikaji
antara lain pada novel Dadaisme (2004) karya
Dewi Sartika dan Geni Jora (2004) karya
Abidah El Khalieqy, kedua novel tersebut
menyoroti masalah ketidakadilan jender.
Demikian pula puisi karya Afrizal Malna
“Winter Festival” (1995) dan “Lelaki yang
Menjadi Seekor Burung” (1996), kumpulan
cerpen Seno Gumira Ajidarma Saksi Mata
(1994) dan kumpulan cerpen Mereka Bilang,
Aku Monyet (2002) karya Djenar Mahesa
Ayu yang kaya nuansa hidup modern
yang pluralis. Tidak ketinggalan puisi-puisi
Ahmadun Yossi Herfanda Sembahyang
Rumputan (1996), “Sajak Mabuk Reformasi”
(1998), dan “Resonansi Indonesia” (1999)
yang mengangkat pluralisme budaya, etnisitas,
dan religiusitas transenden yang
dapat dihayati oleh pemeluk agama apa
pun.
Demikian pula novel Namaku Teweraut
(2000) karya Ani Sekarningsih yang sarat
dengan masalah budaya etnis, agama, dan
kesetaraan jender, serta Garis Tepi Seorang
Lesbian (2003) dan Dejavu (Sayap yang
Pecah) (2004) karya Herlinatiens yang
mengeksplorasi
masalah lesbianisme. Karena
berbagai keterbatasan, hanya beberapa
karya di atas yang dikaji dalam tulisan ini.
Di samping karya sastra, cybersastra
juga merupakan media komunikasi antarbangsa
untuk menyampaikan gagasangagasan
dan nilai-nilai kehidupan yang
multikultural. Cybersastra menurut Nanang
Suryadi (dalam Faruk H.T., 2001:219) dapat
membuka kemungkinan-kemungkinan
lain dan menjadi media alternatif dalam pengembangan
sastra. Selain sisi negatifnya
terutama dari segi moralitas, cybersastra
memiliki sisi positifnya, yakni kemudahan
dalam mengakses
informasi langka sehingga
dapat memacu kreativitas dan
mutu karya kreatif. Hanya saja diperlukan
penguasaan berbagai bahasa karena informasi
di internet disajikan dalam berbagai
bahasa. Namun, justru adanya berbagai
bahasa itu, cybersastra dapat menjadi
media komunikasi antarbangsa yang
mampu
menembus batas agama, kultur,
maupun
bahasa. Melalui cybersastra itu
para
pengarang muda memublikasikan
karya-
karyanya untuk mengekspresikan
gagasan-
gagasannya termasuk spirit
multikultural.
Internet (baca: cybersastra)
juga merupakan jembatan bagi peradaban
multikultural. Artinya, di dalam cybersastra
Indonesia ditemukan nama Ramli A.
Rahim dari Malaysia dan Djauhar dari
Singapura. Demikian pula dalam situs
sastra Malaysia ditemukan nama Nanang
Suryadi dari Indonesia (bandingkan Medy
Lukito dalam Faruk H.T., 2001:220).
Perkembangan teknologi komunikasi
yang membawa akibat membanjirnya informasi
dari mancanegara ke negara kita tidak
serta merta membuat karya sastra dijauhi
masyarakat.
Bahkan, seiring dengan makin
meningkatnya pendidikan dan kualitas
sumber daya insani, ada kecenderungan
karya sastra
semakin diminati masyarakat.
Betapa pun saratnya permasalahan kehidupan
yang ditawarkan, sebuah karya
sastra
haruslah tetap merupakan karya
seni yang menarik, bangunan strukturnya
koheren,
dan mempunyai tujuan estetik.
Melalui sastra, secara tidak langsung
pembaca
dapat belajar, merasakan, dan
menghayati berbagai permasalahan kehidupan
yang ditawarkan pengarang.
Itulah sebabnya, karya sastra berpeluang
untuk dapat
membuat pembacanya
menjadi lebih arif, terbuka, demokratis,
peka terhadap nilai-
nilai kemanusiaan dan
ketuhanan, dapat melakukan bukan hanya
simpati, melainkan empati kepada orang lain. Sastra dapat memperkaya khazanah
batin pembacanya (Al-Ma’ruf, 1995:7).
Sastra multikultural sebagai sistem
komunikasi tanda merupakan bagian
dari proses “Indonesianisasi” dari banyak
ekspresi budaya termasuk di dalamnya
cita-rasa lokal, nasional, bahkan masuknya
unsur-unsur dari mancanegara yang
kemudian berkembang sebagai kebudayaan
global.
Dengan semakin berkembangnya
nasionalisme
masyarakat kita, berangsurangsur
fanatisme kedaerahan menipis dan
menuju semangat keindonesiaan bahkan
kehidupan antarbangsa. Pada gilirannya
hal ini mendorong perubahan konsep
sastra yang lebih bersifat pluralistik
sehingga budaya lokal, nasional, dan
budaya global dapat berkembang secara
harmonis
tanpa harus meminggirkan satu
dengan
lainnya. Jika dulu karya sastra
kental
dengan budaya etnis Indonesia,
kini sastra multikultural memasukkan
unsur-unsur budaya bangsa lain sehingga
terciptalah nuansa universal. Cita rasa
“universal”
terasa dalam beberapa karya
sastra
mutakhir.
F. Simpulan
Mengakhiri pembicaraan ini dapat
dikemukakan bahwa sastra multikultural
terkait dengan perubahan masyarakat
Indonesia
dan masyarakat global yang
cenderung
pluralistik dan serba nilai.
Kecenderungan masyarakat
pluralistik
tersebut
direspons oleh pengarang dan
diinterpretasikan
dalam karya sastra
multikultural. Sastra multikultural merujuk
pada posmodernisme
dan ditulis
para sastrawan muda dan pengarang
perempuan
muda. Sastra multikultural
berpotensi
sebagai media komunikasi
antarbangsa dan pembangunan karakter
bangsa. Sastra multikultural juga sebagai
alternatif dalam mengekspresikan gagasan-
gagasan multikultural dalam kehidupan
masyarakat modern. Lebih kuat
lagi, melalui sastra siber dunia, gagasangagasan
multikultural mengatasi batas
ruang dan waktu.
Sejalan dengan berkembangnya pluralisme
global yang dihadapi masyarakat, sosialisasi
nilai-nilai multikultural melalui
pengkajian sastra termasuk dalam dunia
pendidikan
merupakan keniscayaan. Di
sekolah
dan perguruan tinggi, sosialisasi
multikultural
dapat dilakukan melalui
proses belajar-mengajar sastra dan kegiatan
ekstrakurikuler seperti sanggar sastra dan
teater. Pengajar dapat mengajak siswa untuk
mengapresiasi karya sastra dengan membaca,
menginterpretasi, dan mementaskannya,
atau menulis sastra. Siswa atau mahasiswa
memperbincangkan
masalah pluralisme dan
keanekaragaman budaya yang terkandung
dalam karya sastra. Secara paradoksal, sastra
multikultural dapat menjadi “juru bicara”
yang fasih yang mampu mempertemukan
unsur lokal, nasional, dan global dengan
penuh kedamaian, kerukunan, dan kesalingmengertian
dalam sebuah harmoni kehidupan
yang kita dambakan.
Daftar Pustaka
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 1995. “Signifikansi
Ilmu-ilmu Humaniora dalam
Pembangunan Bangsa,” dalam
Orasi Ilmiah, dalam Upacara Wisuda
Sarjana Unmuh Surakarta, 18
Oktober 1995.
Appadurai, Arjun. 1991. “Global Ethnoscape:
Notes and Quenesfor Transnational
Anthropology,” dalam Richard G. Fox
(ed). Recapturing Anthropology Working
in the Present. Santa Fe, New Mexico:
School of American Research Press.
Dewanto, Nirwan. 1991. “Kebudayaan Indonesia:
Pandangan 1991,” dalam Prisma,
No. 10 Tahun XX, Oktober 1991.
Dewanto, Nirwan. 1992. “Seni di Zaman Global,”
dalam Festival Mahasiswa Seni
se-Indonesia 1992. Yogyakarta: Senat
Mahasiswa ISI Yogyakarta.
Ekstrand, L.H. 1997. “Multicultural
Education,” dalam Saha, Lawrence
J. (eds). International Encyclopedia of the Sociology of Education. New York:
Pergamon.
Faruk H.T. 2001. Beyond Imagination Sastra
Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta:
Gama Media.
Garcia, Ricardo L. 1982. Teaching in a Pluralistic
Society: Consepts, Models, Strategies.
New York: Harper & Row Publisher.
Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra
Kontekstual. Jakarta: Rajawali Press.
Naisbitt, John and Aburdene, Patricia.
1990. Ten New Directions for the 1990’s
Megatrends 2000. Megatrends Ltd.
Rampan, Korrie Layun. 1997. Wanita Penyair
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Riffaterre. 1978. Semiotic of Poetry. Blomington
and London: Indiana University Press.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Toffler, Alvin. 1987. Kejutan Masa Depan.
Jakarta: PT Pantja Simpati.
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.