TAYUB DALAM DUA KUTUB: Wacana Kesakralan dan Keprofanan di Masa Kolonial dan Pascakolonial

oleh : Ikwan Setiawan

Peneliti di MATATIMOER

 

matatimoer-02

Dalam hubungannya dengan modernitas, pertunjukan tayub masih bisa menjadi bentuk perayaan bersifat retrospektif/klangenan terhadap ke-jawa-an yang ingin terus dipertahakan oleh warga desa, meskipun mereka sudah berpedidikan modern dan berorientasi kepada kekayaan material. Pada setiap pertunjukan tayub untuk nyadran, sebagian besar pemuda Dusun Sambiroto yang menjadi penjual soto dan pecel lele di kota-kota besar akan pulang; ikut meramaikan pertunjukan tayub. Para penjual soto menjadi kekuatan ekonomi baru yang ikut menyokong pemertahanan tayub dalam ruang kultural dusun/desa. Mereka—meskipun seringkali tidak disadari—tetap memelihara ingatan komunal terhadap kegembiraan dan perayaan yang bisa melepaskan sejenak kepenatan sebagai akibat dari orientasi ekonomis di kota. Pemertahanan sebagian identitas ke-jawa-an, dengan demikian, tidak melulu dilakukan melalui ruang sekolah ataupun ritual siklus kehidupan, tetapi juga melalui pagelaran tayub. Terlepas dari masih banyak warga yang tidak menyukai tayub, kesenian ini masih menjadi penanda identitas Jawa.

Meskipun menjadi penyemai dan penyubur identitas kultural yang semakin terdesak oleh modernitas dan ke-islam-an, rezim negara terus berusaha untuk menertibkan tayub untuk meminimalisir aspek-aspek profan. Dalam canangan program kerja selalu saja kesenian ini ditempatkan sebagai “warisan leluhur yang harus dilestarikan”, mereka seperti tidak pernah lelah untuk berusaha mencipta-ulang pertunjukan yang sesuai dengan norma-norma ke-timur-an. Padahal, sejak kelahirannya, ke-profan-an merupakan aspek yang melekat dari tayub. Pandangan dunia yang lebih didominasi oleh perspektif Islam, menjadi alasan utama. Di Lamongan, misalnya, tempat-tempat germo yang dulunya sekaligus menjadi semacam sekretariat paguyuban/kelompok tayub ditutup. Artinya, paguyuban tayub tetap boleh berdiri dan berkegiatan, tetapi harus meniadakan praktik ke-pelacur-an. Hal itu berjalin-kelindan dengan semakin gencarnya syiar agama Islam melalui pengajian-pengajian dan jama’ah taklim yang ikut berkontribusi terhadap semakin berkurangnya praktik profan ke-pelacur-an. Selain itu, aktivitas profan lain yang dilarang adalah perjudian yang di masa Orde Baru selalu ada setiap ada pagelaran tayub. Sementara di Tuban, minuman bir dilarang masuk ke kalangan. Meskipun demikian, para pengibing masih bisa membeli di warung-warung di dekat lokasi pertunjukan. Orientasi religi para pemimpin di kedua kabupaten tersebut, paling tidak, menjadi landasan untuk terus melakukan penertiban.

Salah satu aspek ke-profan-an yang masih berlangsung hingga saat ini dikalangan tayub di Lamongan adalah kebiasaan menikmati minuman beralkohol/bir. Salah satu alasan utama yang menjadikannya tetap ada di tengah-tengah ketidaksukaan tokoh agama adalah karena dengan pengaruh alkohol, para penayub tidak merasa grogi ketika menari bersama tandhak. Dalam sebua obrolan di tengah-tengah menunggu giliran bekso, Kasturi, 60 tahun, salah satu penayub senior di Dusun Sambiroto, menjelaskan:

Susah kalau mau menghentikan kebiasaan minum bir. Ketika kita minum bir sebelum bekso, semua rasa grogi dan malu seperti luntur. Meskipun dilihat banyak orang kita tetap enjoy, tubuh menjadi entheng (terasa ringan, pen). Tapi di sini ada aturannya, tidak boleh membuat keributan meskipun minum bir. Kalau sampai ada yang membuat keributan, mereka itu sebenarnya berpura-pura mabuk. Namanya, orang sudah kena bir, itu tidak mungkin rosa, hanya bisa mengikuti alunan gamelan. Ini memang dosa, saya tahu. Mau gimana lagi, sudah menjadi tradisi, kalau ndak minum bir rasanya kurang pas.

Kalau pada zaman kerajaan, minuman yang digunakan adalah jenewer, arak, dan tuwak, para penayub sejak era Orba memang sudah terbiasa mengkonsumsi bir buatan industri besar. Ucapan Kasturi tentang tentang ‘pengaruh positif’ minuman beralkohol, khususnya untuk menari bersama tandhak, menegaskan argumen konsensual yang dipertahankan oleh para penayub. Ini pula yang menyebabkan tradisi minuman beralkohol sulit dihilangkan dari pertunjukan tayub. Artinya, meskipun banyak peneliti sejak masa Orba mengatakan aktivitas profan ini sebagai kejelekan dari pertunjukan tayub, para pengibing tetap saja tidak bergeming dengan anjuran moral tersebut. Bagi mereka, minuman beralkohol telah menjadi tradisi yang kalau dihilangkan menjadikan gerak tari mereka “kaku” dan menjadikan mereka dihinggapi rasa malu dan grogi. ‘Pelestarian’ tradisi minum bir ini pula yang menjadikan para pemuka agama tetap membenarkan pandangan mereka bahwa tayub tetap mengandung unsur maksiat dan lebih baik dihindari oleh orang yang mengerti agama.

Tradisi menikmati minuman beralkohol, sebagai salah satu warisan keprofanan dalam pertunjukan tayub, memang sudah bertransformasi mengikuti perkembagan industri minuman keras itu sendiri. Mahalnya satukrat bir yang biasanya dinikmati oleh 5-8 penayub dalam satu meja—sekira Rp. 350.000—dan anjuran para tokoh agama untuk menghentikan praktik ini, nyatanya, tidak menjadikan mereka memutuskan untuk tidak minum. Hanya sedikit penayub yang tidak menikmati bir. Mereka biasanya beralasan bahwa menikmati tarian tidak harus dengan rasa malu dan grogi, karena akan mengurangi sensasi menari bersama tandhak. Namun demikian, tidak banyak penayub yang berprinsip seperti itu. Bagi kaum muda yang masih belum berani menari, mereka akan datang ke kalangan hanya untuk menikmati bir. Bagi para agen bir, tradisi ini tentu memberikan keuntungan yang besar. Biasanya, mereka akan mengirim dua orang pekerja untuk melayani para penayub. Dengan kata lain, keprofanan dalam pertunjukan tayub juga menguntungkan para pemodal industri bir.

Simpulan

Tayub, nyatanya, sejak kelahirannya selalu berada dalam pusaran dua kutub, kesakralan dan keprofanan. Maka, kita harus mulai jujur dalam memproduksi wacana tentang tayub, bukan lagi sekedar meng-adiluhung-kan kesenian ini. Membicarakan keprofanan bukan berarti menghancurkan kesenian ini, tetapi kita membuka kenyataan kultural yang selama ini di-liyan-kan atas nama proyek besar budaya bangsa yang penuh kepentingan politiko-ideologis rezim negara. Dengan demikian, kita akan mengerti bahwa keprofanan bukanlah semata-mata pengaruh negatif produk kebudayaan Barat, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika budaya Jawa itu sendiri. Hal itu menjadi wajar karena manusia memang menjadi ‘mesin produksi’ berbagai keinginan dan hasrat yang bersifat duniawi, tanpa mengenal batas geografis Barat-Timur. Memang, ekspansi industrial produk-produk Barat pada akhirnya ikut mentransformasi keprofanan tayub dalam hal minuman beralkohol; dari tuwak dan arak menjadi bir. Namun, itu semua bisa berlangsung karena dalam tradisi Jawa sendiri juga sudah terbiasa dengan minuman lokal beralkohol.

Apa yang harus dicermati lebih lanjut adalah kenyataan bahwa terdapat kepentingan politiko-ideologis dalam proses pewacanaan kesakralan dan keprofanan dalam pertunjukan tayub. Di masa Mataram Islam dan kolonial, legitimasi terhadap tayub keraton melalui pembedaan gerak tari merupakan alat untuk menempatkan kekuasaan ningrat di atas rakyat jelata yang menikmati tayub dengan karakteristik profan. Di masa pascakolonial, keprofanan yang dilahirkan dari pertunjukan tayub—sebagaimana yang dituliskan para akademisi—menjadi alasan utama rezim negara, khususnya Orde Baru dan Reformasi, untuk terus melakukan penertiban tayub, khususnya untuk meminimalisir aspek-aspek seksual dan perjudian. Khusus di masa Reformasi, tegangan antara pemuka agama dan pendukung tayub menjadikan pihak kedua—baik warga biasa maupun akademisi—memobilisasi-kembali makna-makna kesuburan sebagai bentuk resistensi diskursif terhadap stigma yang berlangsung oleh pihak pertama. Selain itu, yang tidak bisa dihindari dari masih berlangsungnya perilaku profan dalam hal minuman beralkohol adalah keuntungan finansial yang didapatkan oleh para pengusaha bir yang pandai memanfaatkan peluang melalui atraksi pertunjukan tayub.

Related Posts

Leave a Reply