Retorika dalam Adat-Istiadat Pernikahan Masyarakat Madura Di Desa Mengok Kecamatan Pujer Kabupaten Bondowoso

RINGKASAN

 

Retorika dalam Adat-Istiadat Pernikahan Masyarakat Madura Di Desa Mengok Kecamatan Pujer Kabupaten Bondowoso; Abdul Ghafur, 090110201009; 2015:58 halaman; Jurusan Sastra Indonesia Universitas

Retorika dalam adat-istiadat Masyarakat Madura di Desa Mengok merupakan  fakta unik yang membutuhkan kajian secara ilmiah. Peneliti mengadakan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana bentuk dan maksud dari retorika yang digunakan oleh masyarakat di Desa Mengok. Retorika adalah sebuah teknik pembujuk rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen. Secara umum Retorika adalah seni memanipulasi atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato.

Dalam penelitian ini digunakan tiga tahap penelitian, yaitu: 1) tahap penyediaan data, 2) tahap analisis data, dan 3) tahap penyajian hasil analisis data. Metode yang digunakan dalam tahap penyediaan data, yaitu metode simak dan metode cakap. Metode simak digunakan untuk memperoleh data berupa rekaman dan tulisan. Metode cakap digunakan untuk memperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam penggunaan retorika. Tahap yang kedua adalah tahap analisis data. Analisis data digunakan untuk menganalisis data, dilakukan dengan mengelompokkan kalimat penutur kemudian dilanjutkan dengan mendeskripsikan makna dan penggunaannya. Tahap terakhir dalam penelitian ini adalah tahap penyajian analisis data. Metode penyajian hasil analisis data ada dua, yaitu metode formal dan informal.

Adat pernikahan yang digunakan oleh masyarakat Madura di Desa Mengok, terdiri atas lima tahap yaitu, tahap nylabhâr, tahap mintah, tahap tompengan, tahap maên toah, dan tahap noro’ patoh. Penggunaan retorika hanya ditemukan pada tahap nylabhâr dan mintah, Pada tahap nylabhâr penutur menggunakan kata “bu-obu’enah[bu ͻbu?әna] ‘peliharaan’ dan “èssèna korongngah“ [ɛssɛna kͻrͻŋŋah] ‘isi kurungan’, untuk menggantikan kata anak dari lawan tuturnya. Penutur juga menggunakan kata “nyongngo’ah[ñͻŋŋͻ?a] ‘melihat’ untuk menggantikan kata mengenalkan atau berkenalan dengan anaknya. “èssèna korongngah“ [ɛssɛna kͻrͻŋŋah] ‘isi kurungan’ yaitu anak perempuan yang masih perawan. Penutur menggunakan kata ‘dikeluarkan dan dilepas’ untuk mengutarakan maksud kedatangannya sekaligus memohon izin untuk membawa pulang calon menantunya ketika sudah mendapatkan persetujuan dan kecocokan dalam musyawarah keluarga.penutur menggunakan kata “menyettongngah [mәñɛttͻŋŋah] ‘disatukan’ dengan maksud mengutarakan keinginan untuk menjadi satu keluarga. Pada tahap mintah penutur menggunakan kata “pasrah” [pasrah] ‘pasrah’ dalam menyampaikan maksud pada lawan tuturnya. penutur menggunakan kalimat èkapotra’ah” [ɛkapͻtra?ah] ‘dijadikan anak’ untuk menyampaikan maksud yaitu menjadi menantu. Penutur menggunakan kata “nginep” [ŋinәp] ‘nginep’ untuk menyampaikan maksud pulang ke rumah baru. Penutur menggunakan kata “ajhâlân” [ajhâlân] ‘berjalan’ dengan maksud keluar bersama dengan tujuan mengenalkan kepada masyarakat.

Related Posts

Leave a Reply