Kompleksitas dan Hibriditas Kultural dalam Budaya Lokal

Kuatnya pengaruh kapitalisme dan budaya konsumsi dalam kehidupan masyarakat lokal yang berakibat pada dominasi orientasi ekonomi dalam keberantaraan kultural yang mereka lakoni, memunculkan praktik hibriditas kultural dalam budaya lokal itu sendiri. Keyakinan maupun ritual yang dulu dianggap murni sejatinya telah, tengah, dan akan mengalami pemaknaan-pemaknaan baru yang disesuaikan dengan perkembangan orientasi ekonomi dan budaya modern dalam kehidupan mereka. Pemaknaan-pemaknaan baru itu memang tidak muncul dalam narasi yang dimunculkan oleh akademisi berperspektif esensialis maupun pemuka adat. Kami akan menjelaskan secara konseptual berdasarkan deskripsi data etnografis bagaimana sebenarnya pemaknaan-pemaknaan baru yang muncul tersebut mengganggu dan menunda pemaknaan adiluhung dari budaya lokal yang diyakini sebagai identitas kultural.

Contoh sederhana dari terganggunya keyakinan tradisional adalah ketika masyarakat Tengger memaknai letusan Gunung Bromo 2010-2011 yang berlangsung sekitar 9 bulan—di luar kewajaran sejarah erupsi Bromo yang biasanya hanya berlangsung maksimal 1 bulan. Menghadapi erupsi tersebut, masyarakat Tengger mulai menggugat otoritas tradisi—dhukun pandhita—yang dianggap telah melakukan kesalahan fatal dalam melakukan penghitungan waktu dan kelengkapan sesajen ritual, sehingga membuat para arwah di Gunung Bromo marah. Menurut Mujono, kekesalahan warga terhadap dhukun dipicu oleh sebuah peristiwa di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber:

Ada peristiwa di Wonokerso yang menyedihkan. Ada seorang warga yang kesurupan dan meminta dhukun memanggil arwah para leluhur di Bromo. Atas desakan warga, dhukun melakukan ritual bersama warga masyarakat. Baru sebentar mantra panggilan dibaca, pasir dan abu datang semakin banyak. Para warga menyalahkan dhukun itu sehingga dia tidak berani keluar selama 8 hari. Akhirnya, saya datang ke sana, bertemu warga dan meyakinkan bahwa tidak ada yang salah dengan ritual, mantra, maupun waktu penentuan ritual. Saya sampai praktikkan penghitungan Kasada, Unan-unan, dan Karo sesuai dengan penanggalan Tengger. Selain itu saya tegaskan kepada mereka bahwa wong Tengger disuruh sabar dan rukun, nanti akan diganti yang lebih banyak semua kerugian itu. Mereka akhirnya bisa menyadari kondisi ini. (Wawancara 28 Juli 2011)

Masyarakat Tengger merasa rugi secara material karena tidak bisa menanam kentang, kubis, maupun wortel serta tidak bisa mendapatkan pemasukan dari pariwisata Bromo. Dorongan ekonomis untuk memenuhi kebutuhan hidup yang membutuhkan tindakan rasional dalam bidang pertanian dan pariwisata tanpa melupakan ketaatan terhadap ajaran leluhur yang menuntut keyakinan tanpa harus menggugat otoritas dhukun pandhita bertemu dalam gejolak batin wong Tengger. Bagaimana tidak, mereka selama ini sudah menjalankan kearifan lokal dan slametan, tetapi masih harus menerima bencana yang sangat merugikan. Penderitaan dan amarah akibat menanggung kerugian material menjadikan sebagian masyarakat Tengger mulai berani menggugat dhukun pandhita.

Pelimpahan kesalahan kepada dhukun pandhita terkait bencana Bromo oleh warga memang di luar kewajaran tradisi. Namun, sekali lagi, kerugian ekonomilah yang memunculkan gugatan tersebut. Kegundahan warga Tengger karena sudah menghabiskan modal banyak untuk menanam sayur-mayur, dari perspektif ekonomi, sangatlah masuk akal. Dalam logika rasional, tidak ada pemodal yang mau menanggung kerugian, meskipun hal itu disebabkan oleh bencana. Logika rasional ini menuntut “tindakan praktis” untuk bisa menghentikan pengaruh lebih buruk dari letusan Bromo bagi kehidupan warga Tengger Wonokerso. Rasionalisasi kerugian mereka larikan ke dalam pikiran tradisional berdasarkan “celoteh seseorang yang kesurupan”: arwah leluhur di Bromo harus didatangkan agar abu dan pasir vulkanik bisa dihentikan. Dalam nalar modern, kita mungkin mengatakan bagaimana bisa gemuruh lava di dalam gunung yang menyembur keluar dalam bentuk abu dan pasir dihentikan dengan sebuah ritual pemanggilan arwah. Nalar tersebut diarahkan kepada keyakinan tradisional Tengger yang meyakini bahwa para arwah penuggu Bromo bisa dimintai bantuan. Artinya, meskipun mereka sehari-harinya sudah biasa menonton televisi dan sudah mengenyam pendidikan, tetap tidak bisa melepaskan diri dari jejaring tradisi. Celakanya, ritual yang dijalankan oleh dhukun pandhita Wonokerso tidak berhasil menghentikan amukan Bromo, bahkan semakin memperparahnya. Sehingga, ‘sejarah baru’ dalam jagat perdhukunan Tengger harus terjadi: “dhukun pandhita tidak berani keluar rumah karena merasa malu dan bersalah”. Padahal, dhukun pandhita sangat dihormati dan disegani dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Menariknya, untuk membenarkan perintah sabar dan rukun yang menurut Mujono ia dapatkan dari ritual pemanggilan arwah dari Bromo di rumahnya, para dhukun pandhita se-kawasan Tengger memadukan wacana tentang keghaiban yang tengah berlangsung di kawah Bromo dengan keyakinan empiris akan berkah melimpah selepas erupsi. Sutomo, dhukun pandhita Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, menuturkan:

Letusan Bromo yang sampai 9 bulan itu memberikan pelajaran yang cukup berharga bagi warga Tengger. Seperti orang hamil 9 bulan, Bromo lahir kembali dengan wajah baru. Tentu saja hal ini juga berarti kelahiran baru bagi wong Tengger. Mereka harus bisa menjaga dan memelihara kelahiran baru ini agar Bromo bisa memberikan hal yang baik dan berguna bagi masyarakat. Memang paraleluhur ngaluhur sedang membangun istana atau punya gawe besar sehingga kami tidak banyak melakukan ritual waktu itu…Yang penting tidak ada korban jiwa…Kami percaya bahwa setelah meletus, mangke dilironi, maksudnya diganti. Menurut orang dulu, sebelum mereka makan nasi dan masih bertanam jagung belum sayuran seperti sekarang, setiap habis erupsi Bromo, panen talas dan jagung melimpah. Setelah letusan Bromo, warga Tengger akan mendapat ganti berupa kemakmuran. Para leluhur ngaluhur cuma njaluk sak usum, minta hasil bumi satu musim. Setelah letusan warga akan memperoleh kemakmuran lebih, dari hasil pertanian tegalan maupun pariwisata. Buktinya, setelah erupsi, semakin banyak turis mancanegara dan domestik yang datang. Kami mulai menanam bawang pre, tumbuh subur, meskipun belum bisa menanam kentang dan wortel. Hama ulat yang sebelum letusan banyak, sekarang tidak ada. (Wawancara, 29 Juli 2011, cetak miring kami)

Yang ghaib—para arwah leluhur ngaluhur di Bromo yang “sedang membangun istana baru” atau “punya gawe”—dijadikan alasan konsensual agar orang Tengger sabar dan rukun. Alasan ghaib dalam hal keyakinan, nyatanya, tidak cukup di tengah-tengah hasrat kemakmuran—dari pertanian dan pariwisata—yang sudah menjadi orientasi kolektif masyarakat Tengger. Maka, dalam setiap pertemuan dengan warga para dhukun pandhita selalu menceritakan wacana “mangke dilironi” yang menekankan bahwa setelah erupsi berakhir panen akan melimpah dan wisatawan akan datang berbondong-bondong.

Memang benar, ketika kami datang ke kawasan Bromo pada Juli 2011, semua hotel penuh dan jeep-jeep hard-top bersliweran mengantarakan turis mancanegara maupun domestik. Bawang pre juga mulai tumbuh subur, meskipun kentang, wortel, dan kubis belum bisa tumbuh. Artinya, bahwa untuk tetap memperkuat keyakinan masyarakat Tengger terhadap kekuatan Bromo, logika empiris yang bersifat material—mendapatkan penghasilan yang lebih besar pasca erupsi—tetap dibutuhkan. Dengan kata lain, keyakinan religi yang dianggap sebagai inti identitas kultural masyarakat tetap membutuhkan penjelasan-perjelasan empiris yang, nyatanya, bersifat ekonomis, sehingga dia tidak berdiri sendiri dalam subjektivitas lokal. Hal serupa bisa juga dijumpai dalam keyakinan tradisional lainnya. Dalam tradisi ziarah wali songo, tradisi manakiban di pondok pesantren, maupun tradisi sedekah bumi/bersih desa, misalnya, masyarakat lokal memang masih meyakini kekuatan adikodrati yang mengendalikan kehidupan duniawi. Namun, dalam setiap ritual tersebut mereka juga menyampaikan doa untuk selamat maupun sejahtera di dunia. Hibriditas dalam hal orientasi kultural dan ekonomis inilah yang menjadikan kemurnian identitas keyakinan religi lokal tidak bisa lagi dipahami secara esensialis, karena dalam “yang nirwana” ada “yang duniawi”.

Selain keyakinan religi, ritual/selametan yang selalu diyakini sebagai bentuk ekspresif dari masyarakat lokal, juga medapatkan pemaknaan-pemaknaan baru yang disebabkan masuknya pengaruh budaya modern. Selain sebagai selebrasi kultural, ritual juga menjadikan medium untuk menegosiasikan kepentingan politis. Ketika menghadiri perayaan Unan-unan se-kawasan Tengger tahun 2008 yang dipusatkan di Balai Desa Ngadisari, kami menyaksikan bagaimana kekuatan politis berhasil masuk ke wilayah suci. Salah satu calon gubernur hadir memberikan pidato tentang pentingnya kearifan lokal sebagai bentuk budaya nasional, sehingga dibutuhkan kepemimpinan yang peka budaya. Dalam perayaan Kasada 2011, 14-15 Agustus 2011, di Balai Desa Ngadisari, warga Tengger dengan bangga dan penuh hormat menyambut kehadiran Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Helmy Faisal Saini, dan Dirjen Pengembangan Destinasi Kepariwisataan, Firmansyah Rahim. Mereka berdua dikukuhkan sebagai warga kehormatan Tengger. Tradisi tersebut sudah berlangsung sejak zaman Orde Baru. Pengukuhan tersebut memiliki makna ganda secara politis. Pertama, masyarakat Tengger mengharapkan pemerintah memberikan perhatian lebih kepada mereka sebagai minoritas dalam hal agama. Kedua, bagi aparat yang dikukuhkan, mereka akan mendapatkan legitimasi politis yang bisa saja dimobilisasi untuk agenda-agenda politis. Artinya, di dalam ritual tidak hanya berlangsung ekspresi kesakralan, tetapi juga berlangsung proses artikulasi-negosiasi kepentingan politis yang menjadikan ritual tidak semata-mata sebagai ekspresi kesakralan, tetapi juga ekspresi politik.

Adapun ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia, utamanya pernikahan, saat ini sudah semakin mewah dan menjadi kebanggaan yang mengekspresikan status sosial seseorang. Berbagai alat modern, seperti sound system dan terop model kota, menjadi pemandangan yang sudah lumrah dalam masyarakat lokal. Dalam kebiasaan masyarakat Tengger, pernikahan (walagara) menjadi selebrasi kultural berbiaya mahal yang sekaligus menegaskan status sosial mereka. Kecik, warga desa Jetak, menuturkan:

April 2010, kami mengawinkan putri kami, habis 225 juta. Kami nanggap tayub dari Malang, habis 150 krat bir. Yang masuk ke arena tayub bebas minum sepuas-puasnya, gratis. Di Tengger kalau tayuban memang bebas minum bir. Kami juga menyembelih dua sapi besar. Ya, kebutuhan bir, tayub, terop, dan sapi itu yang menyedot uang paling besar. Bagi warga yang saya dulu pernah memberi rokok, beras, atau gula pada saat mereka punya hajatan, mereka mengembalikan. Memang, saya juga mendapatkan pemasukan dari orang-orang yang buwoh. Tetapi, uang buwohan hanya dapat sekitar 80 juta. Ya, tapi saya senang, karena yang penting kepuasan, bisa menjalankan ritual itu. Ya,ibarat orang naik haji, berapa pun biayanya akan kami tanggung. Saya dan istri menyiapkannya sudah 5 tahun sebelum pelaksanaan acara hajatan. Saya nabung dari hasil panen, jeep, dan warung makan. (Wawancara, 29 Juli 2011)

Bagi masyarakat non-Tengger, uang Rp. 225.000.000 tentu bisa digunakan untuk membeli tanah atau mobil baru. Bagi Kecik dan orang-orang Tengger kebanyakan yang secara ekonomi mampu, uang sebanyak itu tidak menjadi masalah serius, asalkan mereka bisa mendapatkan kepuasan. Kepuasan di sini bermakna ganda. Pertama, mereka merasa senang karena bisa menjalankan tradisi leluhur yang diwarisi secara turun-temurun. Kedua, mereka mendapatkan kebanggaan secara sosial—seperti orang naik haji—karena mendapatkan persepsi baik dari masyarakat dengan memberikan jamuan terbaik bagi tamu undangan. Kebanggaan itu bukan hanya berasal dari besarnya pesta, tetapi juga dari kemampuan menjamu tamu dengan minuman beralkohol (bir) dan rokok secara gratis. Investasi individual untuk mendapatkan keuntungan sosial berupa kebanggaan dan pengakuan status sosial oleh warga lain merupakan bentuk pemaknaan baru yang tidak bisa dilepaskan dari keberantaraan dan hibriditas kultural masyarakat lokal.

Apa yang menarik diperhatikan adalah bahwa peneguhan identitas di tengah-tengah hibriditas kultural seperti yang berlangsung dalam masyarakat Tengger, pada level tertentu, ternyata memberi peluang masuknya kapitalisme secara langsung dalam budaya lokal. Keinginan untuk mendapatkan bantuan sponsor menjadikan mereka mengundang masuk para penggerak kapitalisme—distributor bir dan rokok. Berikut deskripsi suasana pertunjukan Gebyar Tayub se-Kawasan Tengger di Balai Desa Ngadisari, 6 Agustus 2010.

Pukul 13.00, Balai Desa Ngadisari sudah mulai dipenuhi para penggemar tayub, baik dari kawasan Probolinggo, Pasuruan, maupun Malang. Dua tenda besar dari salah satu produsen rokok berdiri di sebelah pintu masuk balai desa. 9 SPG menjaga kedua tenda tersebut—1 tenda untuk berjualan rokok dan 1 untuk game interaktif. Beberapa petugas keamanan membeli rokok dan main game. Mobil boxyang mengangkut bir diparkir. Dua SPG mengenakan baju ketat dan rok di atas lutut siap-siap melayani tamu. Para petugas membagikan bir kepada para tamu. Sementara, para SPG rokok juga menjajakan dagangannya. Acara dimulai dengan sambutan Kepala Desa Ngadisari yang mengenakan pakaian adat Tengger. Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa tayub adalah budaya lokal yang harus dilestarikan. Tidak lupa ia mengajak para undangan dan penonton untuk membeli bir dan rokok yang menyeponsori. Acara berlanjut ke ritual dengan sesajen lengkap dipimpin oleh dhukun pandhita Sutomo. Begitu selesai ritual, tayub dimulai. Para tamu mulai membuka dan menikmati bir, baik langsung dari botol maupun dengan gelas. Para pemuda duduk melingkar di bagian belakang, menikmati bir ditemani SPG yang dibayar khusus oleh mereka untuk menuangkan bir. Tidak lupa mereka berfoto dengan para SPG itu.

Masuknya perusahaan bir dan rokok sebagai sponsor yang sekaligus berjualan di pertunjukan tayub merupakan contoh sederhana kecairan kapitalisme neoliberal. Berbeda dengan liberalisme yang berusaha melawan tradisionalisme (McGuigan, 1999; Venn, 2006), para penggerak neoliberal dengan prinsip kecairan, bisa masuk ke dalam ranah tradisional untuk melakukan ekspansi pasar (Comaroff & Comaroff, 2009). Budaya lokal bukanlah musuh bagi mereka, tetapi ‘kawan’ yang bisa dimanfaatkan untuk memperbesar keuntungan kapital. Bahkan, Kepala Desa Ngadisari, ‘rela’ mengajak para tamu untuk mengkonsumsi produk-produk dari perusahaan yang menyeponsori pertunjukan tayub tersebut. Dengan kata lain, dalam batas-batas tertentu budaya lokal bisa berdamai dengan dan menjadi ranah baru bagi kekuatan kapitalis untuk ekspansi pasar. Akibatnya, kategori esensialis tentang “sang lokal” sebagai kekuatan yang bisa membendung masuknya pengaruh modernitas terdekonstruksi oleh campur-aduk pemaknaan dan praktik hibriditas kultural akibatnya kuatnya kapitalisme pasar.

Selebrasi kultural melalui ritual dan pertunjukan kesenian berhasil menggusur kekakuan tradisional dalam memaknai “yang profan”; bukan hanya dalam hal munculnya negosiasi-artikulasi kepentingan politis, tetapi juga dalam hal pelanggaran terhadap tabu kultural. Dalam tradisi masyarakat Tengger, terdapat tabu malima (main, minum alkohol, madon/main perempuan, madat/mengkonsumsi candu/narkotika, maling/mencuri). Meskipun mereka tidak melakukan 4 M (main, madon, madat, dan maling), tetapi dalam pelaksanaan tayub mereka merayakan “minum”. Kehadiran bir bukan lagi sekedar pelengkap pertunjukan, tetapi, lebih dari itu, ikut mengganggu, menunda, dan menggugurkan pantangan tradisional. Artinya, di dalam ritual dan pertunjukan kesenian muncul pemaknaan dekonstruktif terhadap keadiluhungan budaya lokal melalui aktivitas-aktivitas profan, bukan oleh orang luar, tetapi oleh anggota masyarakat lokal sendiri. Kondisi ini terjadi juga di pertunjukan gandrung di Banyuwangi dan pertunjukan tayub di Lamongan, Nganjuk, Bojonegoro, maupun Tuban. Ritual sebelum pertunjukan tampak sekedar sebagai bumbu kultural untuk mencitrakan ‘eksistensi tradisi’ di tengah-tengah yang profan. Memang, ‘percumbuan’ antara budaya lokal dengan budaya modern telah menghasilkan hibriditas kultural yang dalam level dan praktik tertentu berhasil menjungkir-balikkan tatanan identitas kultural yang diidealisasi sebagai kekuatan kolektif. Namun, masyarakat lokal, pada dasarnya, masih tidak ingin kehilangan orientasi dan praktik dalam hal keyakinan religi secara menyeluruh. Dalam kondisi demikian, para pemuka adat membutuhkan mekanisme untuk terus menegosiasikan dan mempopulerkan keyakinan religi agar masyarakat, utamanya kaum muda, masih bisa meyakininya sebagai benteng terakhir masyarakat lokal dalam menjalani kehidupan material yang semakin modern saat ini. (ikwan & andang)

Artiket Terkait :

Ketika Kapitalisme ‘Mencumbu’

Related Posts

Leave a Reply