HISKI Jember Mengundang Guru Besar UNESA, Bahas Pemikiran Prof. Ayu Sutarto

Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia dan Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ), Yayasan Untukmu Si Kecil (USK), dan Kelompok Riset Tradisi Lisan dan Kearifan Lokal (KeRis TERKELOK), usai adakan webinar dengan tajuk NGONTRAS#8 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-8), Sabtu (5/3/2022).

Dengan tema “Meneruskan Pemikiran Prof. Ayu Sutarto (Pakar Tradisi Lisan Indonesia),” webinar yang diselenggarakan via zoom meeting ini mengundang dua pembicara, yakni Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A., guru besar Universitas Negeri Surabaya (UNESA), dan Dr. Ikwan Setiawan, M.A., dosen Jurusan Sastra Inggris, dengan moderator Dr. Dina Dyah Kusumayanti, M.A., dosen Jurusan Sastra Inggris, dan pewara Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum., dosen Jurusan Sastra Indonesia, FIB UNEJ.

Ketua Pelaksana Yayasan Untukmu Si Kecil (USK) yang sekaligus perwakilan dari keluarga besar Prof. Ayu Sutarto, Dr. Retno Winarni, M.Hum., yang juga dosen Jurusan Sejarah FIB UNEJ, dalam sambutannya menyatakan berterima kasih kepada semua pihak atas apresiasinya terhadap pemikiran-pemikiran almarhum Prof. Ayu Sutarto dan Yayasan Untukmu Si Kecil (USK). USK yang didirikan oleh Ayu Sutarto tahun 1998, baru saja terpilih dalam Program Dana Hibah Forum TBM-Let’s Read, yang didanai ASEAN Foundation.

Taman Baca Masyarakat (TBM) yang lolos secara nasional adalah 14 dari 140 pengusul, dan USK adalah satu-satunya dari Jawa Timur. “Kami terus melanjutkan kegiatan yang telah dirintis oleh Prof. Ayu, baik dalam meningkatkan literasi maupun melatih berbagai keterampilan budaya untuk anak-anak. Kami juga terus meningkatkan pengelolaan perpustakaan di pinggir Kali Bedadung, yang koleksinya lebih dari dua puluh ribu buku,” tandas Retno.

Setya Yuwana Sudikan sebagai pembicara pertama, dalam presentasinya menjelaskan bahwa dirinya merasa beruntung karena memiliki empat guru, salah satunya adalah Pak Ayu Sutarto. Dengan bersahabat dan berguru kepada Pak Ayu, dirinya bukan saja mendapatkan wawasan akademik dan kultural yang komprehensif, namun juga pergaulan akademik yang sangat luas. Bersama Pak Ayu, Yuwana mengisahkan bahwa dirinya berhasil menjadi pembicara di luar negeri. “Saya punya pengalaman menjadi pembicara di Malaysia, Belanda, dan Korea Selatan karena peran Pak Ayu,” kenang Pak Yu, panggilan akrab Setya Yuwana.

Di mata Pak Yu, Pak Ayu adalah ilmuwan besar yang hidup dalam kesahajaan. Pemikiran-pemikiran Pak Ayu banyak digunakan sebagai referensi, termasuk menjadi acuan dalam pembangunan, di antaranya pembangunan di Provinsi Jawa Timur. Konsep pendekatan kebudayaan dalam pembangunan yang digagas oleh Pak Ayu banyak digunakan gubernur Jawa Timur, dari periode ke periode.

Pak Ayu juga melakukan pemetaan kebudayaan di Jawa Timur menjadi sepuluh area budaya, yakni Jawa Mataraman, Jawa Ponoragan, Arek, Samin (Sedulur Sikep), Tengger, Using (Osing), Pandalungan (Pendalungan), Madura Pulau, Madura Bawean, dan Madura Kangean. “Pemetaan kebudayaan tersebut dilakukan karena adanya perkembangan kebudayaan di Jawa Timur, dan konsep itu banyak menjadi acuan oleh berbagai kalangan,” papar Pak Yu.

Pembicara kedua, Ikwan Setiawan, dalam presentasinya memaparkan pengalamannya selama bekerja sama dengan Pak Ayu, sejak dirinya menjadi mahasiswa bimbingan Pak Ayu hingga menjadi kolega sesama dosen. Pendiri Matatimoer Institute yang juga Wakil Dekan III FIB UNEJ ini menyebutkan dirinya sebagai seorang cantrik dalam kiprah akademis, sosial, dan budaya yang dilakoni oleh Pak Ayu. Dirinya intens menjadi asisten riset, teman diskusi, dan kolega yang tidak jarang menyampaikan kritik kepada Pak Ayu.

Meskipun demikian, Ikwan mengakui bahwa dirinya banyak mendapat limpahan ilmu dan wawasan akademik dari Pak Ayu. “Sengaja atau tidak sengaja, Prof Ayu itu turut membentuk tradisi berpikir saya. Itu diawali sejak saya menjadi mahasiswa sekaligus asisten riset beliau,” kata Ikwan.

Ikwan juga memaparkan bahwa salah satu legacy Pak Ayu adalah memadukan etnografi dengan kajian-kajian tekstual. Hal ini tercermin dari riset yang dilakukan Pak Ayu ketika menerapkan konsep morfologi cerita rakyat dari Vladimir Propp sebagai kajian teskstual yang dipadukan dengan kajian etnografi. Kontribusi ini dilakukan untuk konteks cerita dan legenda di Tengger. Oleh karena itu, lanjut Ikwan, orang-orang Tengger menyebut Pak Ayu sebagai Profesor Tengger.

Sebutan tersebut bukan sekadar karena disertasi dan kajian-kajian Pak Ayu tentang Tengger, tetapi lebih dari itu. Artinya, Pak Ayu menggunakan hati dipadu dengan kecerdasannya melihat potensi kultural orang Tengger di tengah-tengah dinamika perkembangan zaman yang luar biasa. “Pak Ayu selalu bilang, Tengger itu menjadi contoh masyarakat lokal yang mampu beradaptasi dengan dinamika kebudayaan, tanpa harus kehilangan identitas asli mereka,” tandas Ikwan.

Di mata Ikwan, Pak Ayu adalah sosok ilmuwan yang punya kepedulian sosial dan budaya yang tinggi. Kontribusi sosial dan budaya yang dilakukan Pak Ayu di antaranya terkait dengan advokasi budaya di Tengger. Kontribusi akademis lainnya adalah membuka pintu untuk kajian-kajian lanjutan, yakni Tengger dan lokalitas bukanlah “budaya pajangan”, bukan pula ritual yang beku.

Hal itu membuka ruang untuk kajian-kajian lanjutan, di antaranya pascakolonialisme, politik identitas, pengetahuan ekologis, ekonomi dan politik pariwisata, gender dan budaya, kaum muda dan lokalitas, multikulturalisme, potensi lokalitas dalam menghadapi globalitas, transformasi, dan cultural policy studies. “Bagi saya, Pak Ayu adalah guru besar yang memang besar energi dan pikirannya. Beliau tetap “romantis” dalam puisi dan prosa,” pungkas Ikwan sebagai cantriknya.

Dalam webinar ini juga hadir tamu spesial sahabat Pak Ayu, yakni Dr. Murti Bunanta, M.A., pakar Sastra Anak, yang juga pendiri dan ketua Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA, 1987). Bu Murti, yang sering dipanggil “Mbakyu” oleh Pak Ayu, dalam sekilas kenangan mengisahkan pengalaman yang tak terlupakan bersama Pak Ayu, di Leiden dan Goethe Institute. “Pak Ayu adalah sahabat yang sangat mengesankan, karena selalu bersaing secara positif-akademis dengan saya,” kenang Bu Murti.

Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum, Ketua HISKI Komisariat Jember yang juga dosen Sastra Indonesia FIB UNEJ, dalam keterangan yang disampaikan menjelang dimulainya acara, mengungkapkan bahwa NGONTRAS#8 memilih tema yang terkait dengan pemikiran Ayu Sutarto, sebagai bentuk apresiasi atas jasa akademis dan kultural beliau. “Prof. Ayu telah meninggalkan kita semua, pada awal Maret enam tahun yang lalu. Mendiskusikan pemikiran beliau merupakan bentuk apresiasi kita atas kontribusi akademis dan kultural beliau,” kata Heru.

Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara audiens dan pembicara hingga acara berakhir. Acara yang dihadiri sekitar 350-an peserta tersebut ditutup dengan pantun oleh pewara. Dahan dan ranting pun tak peduli, pada daun kering yang tenggelam. Terima kasih atas diskusi hari ini, mengobati kerinduan yang mendalam. Diakhiri dengan: Dalam terik yang menghadirkan pelangi, sang pungguk tetap merindukan bulan. Bulan April kita akan berjumpa lagi, dalam acara NGONTRAS ke sembilan.

Rekaman Webinar NGONTRAS#8 dapat disimak ulang melalui kanal Youtube HISKI JEMBER OFFICIAL, tautan: https://youtu.be/mgUDiP5Pi8Q. ***

Related Posts