REPRESENTASI SEKSUALITAS DALAM TIGA NOVEL PEREMPUAN INDONESIA: SAMAN, LARUNG, DAN NAYLA

Sastri Sunarti
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Pos-el: aminsweeney@yahoo.co.id

Abstrak
Artikel ini mendiskusikan representasi seksualitas dalam karya sastra dari perspektif perempuan. Dengan menganalisis Saman, Larung, dan Nayla, saya akan menunjukkan representasi seksualitas melalui ekspresi hasrat seksual, figur personal, wacana tubuh, metafora seks perempuan, pernikahan, stereotip seks perempuan, dan pemerkosaan terhadap perempuan. Pada masa lampau, membicarakan seksualitas dalam karya sastra adalah ranah penulis lelaki. Kesadaran ideologis di antara para penulis perempuan, khususnya yang disebabkan oleh wacana feminisme, menjadikan mereka berani menulis tidak hanya tentang perasaan mereka, tetapi pilihan mereka dalam menjalani hidup, termasuk hasrat dan pilihan seksual. Terlepas dari perdebatan kontroversial di antara kritikus sastra, dengan merepresentasikan seksualitas, penulis perempuan bisa menikmati kebebasan. Dengan kata lain, mereka menolak menjadi objek dari hasrat lelaki. Lebih jauh, dalam tiga novel tersebut, para tokoh perempuan melawan dominasi patriarkal.

Kata kunci: representasi, seksualitas, feminisme, sastra

  1. Pendahuluan

Seksualitas dalam karya para pengarang perempuan akhir-akhir ini banyak menarik perhatian para pembaca sastra Indonesia. Terlebih lagi, pembicaran mengenai seksualitas dalam karya sastra tersebut ditulis oleh perempuan yang selama ini justru hanya menjadi objek, sebagaisubordinat dalam pembicaraan sastra yang dikuasai oleh kaum lelaki atau diidentikkan sebagai suara patriarki. Kehebohan yang berkaitan dengan representasi seksualitas oleh pengarang perempuan dalam jagad sastra Indonesia bermula dari munculnya novel Saman (1998) dan novel Larung (2001) yang keduanya merupakan karya Ayu Utami. Kehadiran novel Saman dan Larung agaknya menjadi pencetus bagi kemunculan karya-karya senada yang dihasilkan oleh pengarang perempuan lainnya seperti, Ode untuk Leopold von Sacher Masoch (2002) karya Dinar Rahayu, Mereka Bilang, Saya Monyet (2002) karya Djenar Maesa Ayu, Mahadewa Mahadewi (2003), Imipramine (2004) karya Nova Riyanti Yusuf, dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2005) serta Nayla (2005) juga karya Djenar Maesa Ayu serta banyak lagi karya pengarang perempuan lainnya dengan tema yang tidak jauh berbeda. Seks dalam karya sastra Indonesia telah dibicarakan oleh kritikus seperti Harry Aveling (1969) dalam tulisannya berjudul “The Thorny Rose: The Avoidance of Passion in Modern Indonesia Literature” dan Shanon Ahmad (1969) dalam satu tulisannya yang berjudul “Pengarang-Pengarang Indonesia yang Malu-Malu dan Sipu-Sipu”. Esai Goenawan Mohamad yang berjudul Seks, Sastra, Kita (1981) adalah satu kumpulan esai mengenai sastra yang juga membahas masalah seksualitas dengan sangat baik. Selain itu, beberapa tulisan yang akhir-akhir ini sering muncul dalam surat kabar dan majalah ikut membahas seks dalam karya sastra Indonesia. Misalnya, tulisan Mariana Amiruddin (2004) yang berjudul ”Memandang Seks dalam Sastra dengan Eksplorasi Tubuh”, Kris Budiman (2003) dengan tulisannya berjudul “Dari Saman ke Larung: Menemukan Kembali Sisa-Sisa Feminitas,” dan Medy Loekito (2003) dengan tulisannya “Perempuan Sastra Pria”.

Seks dalam karya sastra selama ini cenderung dianggap wilayah penulisan pengarang lelaki. Sebut saja misalnya, novel Cross Mama karya Motinggo Busye, Gigolo karya Asbari Nurpatria Krisna, Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi A.G., dan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah gambaran dominasi penulis lelaki yang pernah membicarakan seksualitas dengan lebih terbuka dalam khasanah sastra Indonesia.

Ketika karya-karya tersebut diluncurkan di tengah khalayak tidak terjadi perdebatan yang sengit terhadap persoalan seksualitas dalam karya sastra Indonesia. Namun, ketika Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini yang menyampaikan keberanian seorang tokoh perempuan untuk memilih jalan hidupnya sendiri muncul tuduhan yang menyatakan bahwa novel tersebut mengumbar erotisme perempuan di dalamnya. Demikian pula ketika sejumlah pengarang muda perempuan membicarakan seksualitas dalam karya mereka, seperti yang disebutkan di atas, mendapatkan reaksi sangat keras dari berbagai kalangan. Mereka dituding telah mengekspos seks secara membabi buta dan melanggar norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat luas. Bahkan Medy Loekito (2003) menyatakan bahwa penulis perempuan tersebut dibantu oleh penerbit yang hanya mengandalkan keuntungan material dan bersekutu menerbitkan karyakarya mereka.

Ketika perempuan berbicara seksualitas dalam karya sastra, mereka dinilai telah memasuki wilayah yang dianggap tabu dan tulisan mereka dianggap sebagai sebuah fenomena yang mengumbar erotisme demi kepopuleran dan ketenaran belaka.

Selain itu, cara pengungkapan yang demikian dianggap telah menjadi trendsetter dalam penciptaan karya-karya pengarang perempuan Indonesia lainnya sehingga muncullah karya-karya serupa tetapi tidak sama khususnya di kalangan penulis perempuan Indonesia akhir-akhir ini. Fenomena ini kemudian melahirkan berbagai polemik dan melahirkan kontroversi dalam penerimaan dan perhatian khalayak sastra kita. Terlepas dari benaratau tidaknya asumsi mengenai hal itu, tulisan ini melihat pengungkapan atau representasi seksualitas dalam karya sastra dari kacamata perempuan. Selain itu, tulisan berikut memperlihatkan seperti apa sesungguhnya seksualitas direpresentasikan oleh penulis perempuan Indonesia akhir-akhir ini. Tulisan ini mengkaji tiga novel dari dua orang pengarang yang dianggap siginifikan sehubungan dengan isu seksualitas dalam karya pengarang perempuan Indonesia selama lebih kurang delapan tahun terakhir ini. Karya tersebut adalah Saman (1998), Larung (2001) karya Ayu Utami, dan Nayla (2005) karya Djenar Maesa Ayu.

Definisi seksualitas manusia pada umumnya merujuk pada pandangan esensialis yang mengatakan bahwa seksualitas manusia sebagai “sesuatu yang bekerja secara alami” yang hanya berkaitan dengan insting aktivitas seksual. Arahnya kemudian bagi perempuan adalah fungsi reproduksi belaka, dan vagina hanya menjadi “organ tindakan seks” atau alat seksualitas, dan rahim hanyalah alat reproduksi yang menyempurnakan. Pengertian seksualitas yang semata terpaku hanya pada pandangan esensialis ini sering menganggap seks sebagai “fenomena alam” yang universal dan tidak dapat diubah serta bagian dari peristiwa biologis yang terjadi pada setiap individu. Tentu saja pandangan seperti ini merugikan perempuan bila realitas menemukan kecenderungan perempuan adalah inferior dan pasif. Apalagi bila orang terlanjur meyakininya sebagai takdir. Fenomena dan keyakinan yang amat merugikan kaum perempuan inilah yang kemudian hendak dicoba dibongkar dan dibicarakan ulang oleh kedua penulis ini, seperti disampaikan Fromm (2002:203) berikut. “Selama berabad-abad, seksualitas telah distigmakan sebagai sesuatu yang buruk secara moralitas dan bersifat apatis bila disangsikan oleh sakramen perkawinan. Setiap aktivitas seksual yang bukan tujuan penciptaan, terutama semua penyimpangan seksual, secara moralitas dianggap jahat. Asumsi ini dilatarbelakangi pandangan bahwa tubuh manusia adalah

sumber keburukan, dan hanya menekan

tuntutan-tuntutan naluriah, sehingga

kebaikan dapat dicapai.”

Untuk mendukung argumentasi mengenai

representasi seksualitas dalam sudut

pandang seorang perempuan, ketiga

novel yang telah disebutkan di atas menjadi

contoh bagi permainan argumentasi mengenai

tubuh perempuan. Bagaimana perempuan

memandang tubuhnya, orang

lain memandang tubuh perempuan, dan

makna keperawanan bagi perempuan dijelaskan

dalam tulisan ini.

  1. Representasi Seksualitas dalam

Novel Saman, Larung, dan Nayla

  1. Representasi Seksualitas Tokoh

Shakuntala

Kecenderungan seksualitas pada Shakuntala

adalah representasi dari kehidupan

psikologis masa kecilnya. Trauma psikologis

yang dialaminya pada masa kecil

berdampak

kepada perilaku seksualnya

setelah

dewasa yakni bagaimana menikmati

seks sebagai perempuan dan sekaligus

sebagai lelaki. Sebagaimana diyakininya

bahwa gender, seksualitas, bahkan seks

adalah kategori-kategori kultural, bukan

biologis. Oleh karena itu, ia bebas merepresentasikan

hasrat seksualnya kepada kedua

jenis kelamin; perempuan maupun lelaki

sekaligus. Pengalaman seksualitas Shakuntala

dengan sesama jenis, pertama kali

dialaminya bersama seorang pesinden sebagaimana

yang terdapat pada data berikut

ini.

“Suatu malam, ketika aku duduk dalam

sebuah ruangan dan mengagumi dia

menyanyi tanpa pengiring, lelaki dalam

diriku muncul dari belakang tubuhku

seperti enerji yang lepas. Aku tidak bicara

dengannya tetapi si pesinden melihatnya

lalu mereka menembang bersama. Lalu

mereka berdekatan, berdekapan. Mereka

melepas kain masing-masing dan saling

berdekatan. Setelah itu mereka saling

berkata, “Betapa indahnya. Kita sama-sama

punya payudara” (Larung:149). Lelaki atau “sang lain” yang terdapat

dalam

diri Shakuntala sudah disadarinya

ada sejak lama, sejak ia masih kecil.

Sejak ia meyakinkan ibunya bahwa ia

juga anak lelaki seperti kakaknya yang

telah meninggal. Kehadiran “sang lain”

yang lelaki itu datang pertama kali pada

Shakuntala sebagaimana yang dijelaskannya

dalam data berikut.

“Tapi diriku lelaki datang suatu hari,

ketika aku tidak merindukannya.

Kataku padanya: ”Kenapa kamu tak

ada ketika aku mencarimu?”

“Kamu juga tak selalu datang ke

tempatku ketika aku mengharapkanmu.”

Lalu aku merasa aneh. Sebab aku tak

pernah datang.

Ia membaca pikiran dan berkata:

“Bahkan kamu tidak bisa mengingat bahwa

kamu datang ke tempatku.” Kemudian ia

bercerita bahwa telah telah lima kali aku

mengunjunginya. Ada sebuah musim tuai,

pada sebuah kemarau, dan pada musim

buah-buahan.

“Kamu belum pernah datang di musim

hujan” (Larung:148).

Dialog dalam data menggambarkan

bahwa Shakuntala selain mengalami

kecenderungan biseksual, dia juga

mengalami kepribadian terbelah, sebuah

gejala psikologis yang menggambarkan

dalam diri seseorang terdapat beberapa

pribadi dan bisa muncul secara bergantian.

Hal ini berkorelasi dengan ungkapan hasrat

seksual

pada tokoh Shakuntala yang telah

dimulainya sejak usia dini yakni ketika ia

masih berumur sembilan tahun.

“Ketika umurku sembilan tahun,

aku tidak perawan. Orang-orang tidak

menyebut begitu sebab buah dadaku

belum tumbuh” (Saman:124).

Representasi seksualitas juga dapat

dilihat dari metafora-metafora mengenai

seks yang digunakan dalam kedua novel

karya Ayu Utami ini yakni Saman dan

Larung. Misalnya, pada tokoh Shakuntala,

ia diajari

oleh ibunya bahwa perempuan

dan keperawanan adalah dua hal yang amat

penting. Ibu Shakuntala mengibaratkan

keperawanan

seorang perempuan seperti

porselen yang mudah retak. Jika porselen

retak, orang-orang akan membuangnya

ke tempat sampah. Alih-alih menuruti

nasihat ibunya, Shakuntala dalam novel

Saman malah merusak dengan sengaja

keperawanannya

di usia yang terhitung

dini dengan orang asing yang disebutnya

raksasa. Jika keperawanan seorang

perempuan diibaratkan dengan porselen

yang mudah

retak, lelaki adalah gading

yang tidak

pernah retak (baca: cela).

Namun, Shakuntala

kemudian mengkritisi

nasihat ibunya dengan menyatakan, “Kelak

ketika dewasa, kutahu mereka juga daging”

(Utami, 1998:124). Bagaimana keperawanan

direpresentasikan sebagai sesuatu yang

lain dapat kita ketahui dari beberapa dialog

yang berisikan nasihat dari ibu Shakuntala

yang mengingatkannya agar menjaga

keperawanan seperti data berikut ini.

“Keperawanan adalah persembahan

seorang perempuan kepada suami. Dan

kau cuma punya satu saja. Seperti hidung.

Karena itu jangan pernah diberikan

sebelum menikah sebab kau akan menjadi

barang pecah belah.

Tapi sehari sebelum aku dibuang ke

kota asing tempat aku tinggal saat ini,

aku segera mengambil keputusan. Akan

kuserahkan keperawananku pada raksasa

yang kukasihi” (Saman:125).

Tokoh Ibu sebagai representasi perempuan

tradisional, memiliki keyakinan

betapa tinggi dan berharganya nilai

keperawanan bagi perempuan yang

belum menikah sehingga perlu untuk

dijaga. Nilai keperawanan yang tinggi itu

diibaratkan dengan porselen yang mudah

pecah sehingga harus dijaga agar jangan

sampai retak (rusak). Shakuntala memiliki

pandangan berbeda mengenai keperawan.

Ia beranggapan bahwa keperawanan tidak

lebih hanya seperti sarang laba-laba merah

yang bisa dirobek dengan mudah. Sikap

Shakuntala yang menyepelekan keperawanan

merupakan sikap pemberontakan

terhadap nilai patriarki yang cenderung

menuntut kesempurnaan dari

perempuan,

seperti harus menjaga keperawanan

untuk

dipersembahkan kepada lelaki di malam

pengantinnya. 2. Representasi Seksualitas Tokoh Cok

Seksualitas pada Tokoh Cok tidak

berbeda dengan Shakuntala yaitu samasama

berkaitan dengan masa lalu. Misalnya,

dorongan hasrat seksual yang sulit

dikendalikan

sejak masa remaja. Cok

digambarkan sebagai tokoh perempuan

yang paling berpengalaman dalam

melakukan hubungan seks. Ia dikenal

oleh teman-temannya sebagai seorang

playgirls

dan menganut hubungan seks

bebas sejak usia remaja. Ungkapan hasrat

seksual yang terdapat pada tokoh Cok

telah

disampaikannya secara jujur pada

Shakuntala dan bahkan mereka saling

berbagi

mengenai pengalaman seksual

masing-masing sebagaimana yang terlihat

dari data berikut ini.

“Padahal, sementara itu diam-diam

aku dan Cok mulai saling membagi

pengalaman bercumbu kami, saling kros

cek bentuk zona erotis laki-laki yang kami

pacari. Kadang mendenahkannya pada

secarik kertas. Dan Kami mulai tahu bahwa

laki-laki tidak sama satu dengan yang lain”

(Saman:150-151).

Dibalik perilaku seks bebasnya Cok

menganggap dirinya sebagai orang yang

paling jujur di antara ketiga temannya,

terutama jujur dalam mengungkapkan perangainya

yang berhubungan dengan para

lelaki sebagaimana yang dapat diketahui

dari data berikut ini.

“Paling tidak aku masih bisa menyombong

bahwa akulah satu-satunya dari kami

berempat yang pertama kali melakukan

hubungan seks karena sadar dan suka”

(Larung:86).

Sikap terus terang Cok ini agak sedikit

berbeda dengan kedua temannya dalam

mengungkapkan pengalaman seksualnya.

Perbedaan tingkah laku seksual antara

tokoh-tokoh dalam cerita Saman dan

Larung ini menguatkan pendapat Fromm

(2002:202) yang menyatakan bahwa tingkah

laku seksual sebenarnya menawarkan

salah satu tanda yang paling berbeda untuk

memahami karakter seorang manusia.

Bertolak belakang dengan hampir seluruh

aktivitas

lain, aktivitas seksual sangat

bersifat pribadi, kurang terpola dan lebih

merupakan sebuah ekspresi dari kekhasan

individu.

  1. Representasi Seksualitas Tokoh

Yasmin Moningka

Jika Cok terbuka mengakui semua

hubungan intimnya dengan para lelaki,

tidak demikian dengan Yasmin

Moningka. Yasmin berusaha menyimpan

dorongan

seksualnya terhadap mitra

jenis. Hasrat seksual Yasmin Moningka

terhadap

mitra jenisnya dimulai sebagai

hasrat menaklukan anak lelaki sebagai

kecemburuan terhadap penis yang tidak ia

miliki sebagai anak perempuan.

Sikap Yasmin kadangkala memberi kesan

seseorang yang hipokrit di mata sahabatnya,

sebagaimana ditudingkan oleh Cok. Untuk

membuktikan dugaannya, Cok kemudian

mencoba menjebak Yasmin dengan cara

memberi

kesempatan berduaan dengan

Saman di sebuah bungalow miliknya, ketika

mereka

sedang berusaha membantu Saman

kabur ke Singapura. Dugaannya ternyata

terbukti tidak keliru. Jebakan tersebut untuk

membuktikan asumsi pribadinya terhadap

sisi lain dari kepribadian Yasmin yang

berusaha direpresinya selama ini. Upaya

pembuktian tersebut dilakukan Cok dengan

menciptakan hubungan perselingkuhan

antara Yasmin dengan Saman. Seperti yang

tertera

pada data berikut ini.

“…Tetapi tak kulewatkan kesempatan

ini untuk menjerumuskan Yasmin dalam

jebakan yang dia suka. Kukurung mereka

berdua di bungalowku di Pekanbaru

selama dua malam. Dan ternyata, kejadian.

Mereka bercinta. Hahaha. Lebih gampang

daripada mengawinkan anjing ras”

(Larung:87).

Setelah dewasa, hasrat seksual

untuk menaklukkan lelaki akhirnya tersalurkan

melalui hubungannya dengan

Saman. Hubungan antara Yasmin dan

Saman

tersebut terus berlanjut melalui

e-mail meski

keduanya saling berjauhan,

Saman di Amerika Serikat dan Yasmin

di Indonesia. Justru melalui e-mail fantasi

seksualnya memiliki dimensi yang lebihmembebaskan. Ungkapan hasrat seksual

Yasmin terhadap Saman tersebut dapat

diketahui dari beberapa data berikut ini.

“Saman, orgasme dengan penis bukan

sesuatu yang mutlak. Aku selalu orgasme

jika membayangkan kamu. Aku orgasme

karena keseluruhanmu” .

“Saman, tahukah kamu, malam

itu, malam yang aku inginkan adalah

menjamah tubuhmu, dan menikmati

wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin

datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku

perkosa kamu” (Saman:196).

Data tersebut menunjukkan relasi

antara perilaku para tokoh perempuan

dalam kedua novel Ayu Utami dengan

perilaku

seksualitas mereka yang terepresentasi

dalam teks tersebut.

  1. Representasi Seksualitas Tokoh

Laila

Berbeda antara Cok dan Yasmin,

relasi hubungan persahabatan antara

Laila dengan Shakuntala pada akhirnya

merupakan relasi hubungan yang bersifat

saling membutuhkan. Ketika Shakuntala

mengetahui Laila akan menemui Sihar, ia

berusaha “menciptakan” Laila yang baru dan

mengajarkan pada sahabatnya bagaimana

menikmati hubungan dengan tubuhnya.

Relasi hubungan ini kemudian menimbulkan

dampak yang akan mengubah jalan

hidup Laila selanjutnya seperti data berikut.

“Lalu musik berhenti. Telah satu jam.

Telah satu jam kami berdansa. Kami

saling melepas pelukan. Saya melihat ia

berkeringat. Ia mencopot kemejanya begitu

saja seperti seorang lelaki menanggalkan

pakaiannya yang telah basah. Dan

tengkurap. Saya menemukan wajah saya

telah bersandar pada siku lehernya. Dan

saya menangis. Sebab sesungguhnya

saya tahu saya terluka oleh sikap Sihar.

Sebab kini saya tak tahu lagi siapa dia.

Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar.

Hangat nafasnya terasa. Cahaya rendah”

(Larung:132).

Sebuah babak baru dalam kehidupan

Laila telah dilaluinya bersama Shakuntala,

sahabat yang kemudian menjadi “guru”

baginya

tentang bagaimana menikmati

tubuhnya sendiri meski bukan bersama

orang yang dicintainya. Tingkah laku seksual

yang diperlihatkan oleh Laila saat

bersama Sihar dan Shakuntala menunjukkan

dua hal yang berbeda. Ketika

bersama Sihar, Laila adalah perempuan

yang tidak berkuasa atas tubuhnya. Ia

hanyalah objek bagi kenikmatan hubungan

seksual oleh Sihar. Sebaliknya, ketika

bersama Shakuntala, Laila memperoleh

sebuah

pelajaran bahwa perempuan pun

dapat

menikmati hubungannya dengan

sesama

perempuan. Ia pun menjadi subjek

sekaligus objek. Kedua sahabat itu,

Shakuntala dan Laila sama-sama berbagi

emosi dan menikmati tubuhnya. Prinsip

inilah yang mencirikan pemikiran feminisme

radikal kultural sebagaimana telah

dijelaskan pada bagian sebelumnya.

  1. Representasi Seksualitas dalam

Nayla

Jika sebelumnya pembahasan representasi

seksualitas dalam dua novel karya

Ayu Utami, selanjutnya pembahasan isu

seksualitas yang direpresentasikan oleh

seorang pengarang muda lain, yaitu Djenar

Maesa Ayu dalam novelnya Nayla.

Representasi seksualitas yang dimaksudkan

adalah

hal-hal yang berkenaan dengan

ungkapan hasrat seksual tokohpertokoh,

wacana ketubuhan, metafora

tentang seks perempuan, perkawinan,

stereotip

terhadap seks perempuan, dan

pemerkosaan terhadap perempuan. Sebelum

kita membicarakan lebih jauh

mengenai

representasi seksualitas dalam

karya

Djenar ada baiknya saya mengutip

pendapat Giddens (2004:24) berikut ini.

“Dalam peradaban modern, seks

bukanlah sesuatu yang cenderung disembunyikan,

tetapi sebaliknya, seks

terus-menerus diungkap dan diteliti.

Seks tidak pernah berhenti dibicarakan.

Seks telah menjadi bagian dari sebuah

‘khotbah agung’ yang menggantikan

khotbah-khotbah tradisi kuno. Pernyataanpernyataan

tentang perlunya pengekangan

seksual serta anjuran transendensi saling

menguatkan satu sama lain; perjuangan

demi kebebasan seksual merupakan bagiandari aparat kekuasaan yang didengungkan.

Secara retorik Foucault bertanya, “Adakah

tatanan sosial lain yang menyedot perhatian

begitu dalam dan panjang sebagaimana

seks?”

Data tersebut sangat tepat untuk

memberi gambaran awal mengenai karyakarya

Djenar Maesa Ayu. Kadangkala judul

karyanya

mengejutkan pembaca, seperti

kumpulan

cerita pendek Jangan Main-Main

(dengan Kelaminmu). Namun, sebagaimana

pertanyaan sekaligus pernyataan Giddens di

atas bahwa adakah tatanan sosial lain yang

menyedot perhatian

begitu dalam dan panjang

sebagaimana

seks? Inilah agaknya yang

ditangkap Djenar ketika menuliskan karyakaryanya

yang merepresentasikan masalah

seksualitas dalam wujud paling gamblang

dan sangat dekat pada referensialitas sosial,

khususnya masyarakat modern di perkotaan.

Upaya mengungkapkan

bagaimana seks

tidak lagi disembunyikan dalam kamar sepi,

melainkan ditampilkan dalam keriuhan

kehidupan malam,

diskotek, hotel, di ruang

televisi, di kamar sebelah, rumah kos, dan

bahkan di kamar pribadi.

Novel Nayla merupakan gambaran

mengenai kehancuran seorang anak akibat

kegagalan lembaga keluarga yang kerap

terjadi di kota besar. Nayla sebagai tokoh

utama, direpresentasikan seorang anak

perempuan

yang mengalami trauma

psikologis akibat perceraian dalam rumah

tangga. Sejak kecil ia diasuh oleh ibu sebagai

orang tua tunggal. Dominasi dan didikan

yang sangat keras dari ibu telah menjadikan

Nayla menjadi anak gadis yang kehilangan

kasih sayang, baik dari ibu maupun dari

ayahnya. Keretakan pribadi Nayla yag

menyebabkan trauma psikologis juga

disebabkan oleh jalan hidup yang ditempuh

oleh ibunya dalam mencari nafkah.

Trauma pertama adalah pelecehan

seksual

dan dominasi ibu yang digambarkan

sebagai hubungan yang

menyakitkan

seperti peniti dalam vagina;

suatu

hubungan penyiksaan seksual

pada vagina yang dilakukan seorang ibu

kepada

anak gadisnya. Relasi hubungan

antara anak dan ibu ini sebagai gambaran

patologis kejiwaan yang sadis dan mengarah

ke masochis; suatu gambaran hubungan

yang sangat traumatis. Trauma kedua

adalah permerkosaan oleh salah seorang

kekasih ibunya yang bernama Om Indra.

Trauma ketiga adalah kehilangan kasih

ayahnya yang sempat dinikmatinya selama

tiga bulan. Trauma keempat adalah

dicampakkan ke panti anak nakal dan

narkoba oleh ibu tirinya. Ia kemudian

memutuskan melarikan diri dari panti.

Pelarian dari panti mengantarkannya

mengenal

kehidupan malam sebagai penata

lampu di diskotek hingga menjadi

penari merangkap penulis.

Penulis merupakan pencapaian paling

tinggi dalam karirnya. Ketika menjadi

penulis, ia menuliskan semua pengalaman

buruknya yang berawal dari masalah

seksualitas ibunya dengan para lelaki

yang membiayai kehidupan mewah mereka.

Di sinilah dimulainya segala refleksi

psikologis kehidupan Nayla yang

kemudian membentuknya menjadi seorang

anak yang tidak hanya terbelah

jiwanya tetapi juga mempunyai kompleks

psikologis yang parah. Hubungan buruk

dengan ibunya membentuk Nayla cenderung

memberontak terhadap segala

yang dulu ditanamkan oleh ibu. Akan

tetapi, ia sangat memuja ibu yang

dianggapnya sebagai figur yang kuat

dan dominan sekaligus sosok yang

menakutkan sekaligus dirindukannya. Itulah

sebabnya, cinta yang tulus diberikan

kepada Juli sahabat dan kekasih sejenis

yang dianggapnya mampu memberi rasa

kasih sayang yang didambakan yang tidak

diperoleh dari seorang ibu. Kekangan

dari Juli yang tidak ingin berbagi membangkitkan

lagi kenangan buruk pada

dominasi ibu yang dulu pernah diterimanya.

Ia mengakhiri hubungannya

dengan Juli dan pemberontakan dalam

diri Nayla kemudian terepresentasikan

dalam perilaku seksualnya.

Nayla digambarkan sebagai seorang

anak perempuan yang sudah mengalami

berbagai masalah psikologis dan traumamasa kecil yang akhirnya terjebak dalam

kehidupan malam kota besar. Kehidupan

yang tak menentu setelah kabur dari rumah

karantina anak nakal, mempertemukannya

dengan Juli; seorang disk jockey di sebuah

diskotek tempat ia pertama kali bekerja

sebagai penata lampu. Kehangatan dan

perhatian yang ditawarkan Juli kepadanya

akhirnya menimbulkan ketergantungan

kepada perempuan itu bahkan ungkapan

hasrat seksual (sexual desire).

“Nafas Juli di telinga Nayla membuat

bulu kuduknya berdiri. Tak pernah

ia rasakan sensasi seperti ini terhadap

satu pun laki-laki. Kini ia yakin, hatinya

sudah memilih Juli. Dan malam itu,

Nayla bermaksud menyerahkan tiap inci

tubuhnya kepada Juli” (Nayla:61).

Data tersebut menunjukkan kecenderungan

seksual Nayla yang lebih

menyukai teman sesama jenisnya yang

bernama Juli. Semua itu berawal dari

kasih sayang yang hilang dari ibu dan

penyiksaan yang diperolehnya dari tokoh

ibu. Namun, ia juga akan memiliki hasrat

seksual kepada mitra jenisnya yang lakilaki,

yakni kekasihnya yang bernama Ben.

Namun, tidak seperti relasi hubungannya

dengan Juli, ungkapan hasrat seksualitas

kepada mitra jenisnya lebih banyak

menggambarkan pemberontakan dan kemarahan

yang terekspresi. Sebagian besar

kisah Nayla dengan Ben adalah kisah

mengenai pertengkaran, kecemburuaan,

dan bahkan kekerasan. Pertemuan pertama

Nayla dengan Ben di sebuah diskotek

dalam keadaan mabuk dan sempoyongan

menggambarkan suatu relasi hubungan

yang tidak kukuh dan rapuh. Ungkapan

hasrat seksual yang diperlihatkan Nayla

kepada Ben tidak seperti ungkapan hasrat

seksualnya terhadap Juli yang penuh kasih

dan ketenangan. Meski Nayla dan Juli

jarang membicarakan cinta saat bersama,

tetapi Nayla merasakan kedamaian dan

kasih seorang ibu yang sesungguhnya

dicarinya dari Juli. Sebaliknya, ketika ia

menjalin hubungan dengan lelaki seperti

Ben, lebih kepada penyaluran hasrat

seksual yang mekanistis dan tanpa cinta.

Representasi seksualitas yang digambarkan

dalam novel karya Djenar Maesa

Ayu ini sangat kompleks dengan masalah

psikologis pada tokoh utama. Sulit untuk

tidak melakukan analisis naratif terhadap

novel ini disebabkan alurnya yang

maju mundur dari masa lalu ke masa

kini. Setiap detail cerita sesungguhnya

saling menunjukkan hubungan logis dan

temporal dengan peristiwa-peristiwa yang

digambarkan secara bolak-balik tersebut.

  1. Kritik terhadap Seksualitas

Perempuan

  1. Pemberontakan Tokoh Nayla

Nayla menggambarkan ungkapan

hasrat seksual tokoh utama dan kritik

terhadap stigmatisasi seks yang berkaitan

dengan perempuan. Berikut data kritik

terhadap seks dari perspektif tokoh

perempuan Nayla.

“Laki-laki menciptakan mitos perempuan

ideal. Perempuan ideal adalah

perawan. Alat kelamin perempuan yang

ideal adalah tidak kelebihan cairan dan otot

vaginanya kencang.

Bagaimana perempuan bisa menikmati

hubungan seksual jika sejak awal

mereka sudah ditakut-takuti oleh mitos

keperawanan? Sejak awal mereka sudah

dibodohi secara massal bahwa hubungan

seksual di hari pertama sakitnya tidak

terkira akibat robeknya selaput dara. Jika

selaput dara robek, vagina mengeluarkan

darah. Itulah bukti kesucian yang harus

dijaga sampai tiba saatnya malam

pertama. Padahal kenyataannya, banyak

sekali perempuan yang vaginanya tidak

mengeluarkan darah ketika pertama

melakukan hubungan seksual. Bahkan

banyak yang tidak merasakan sakit

seperti informasi yang mereka terima“

(Nayla:78-79).

Data tersebut memberikan sudut

pandang tokoh Nayla mengenai konsep

keperawanan bagi seorang perempuan di

tengah institusi sosial budaya yang masih

memandang penting mempertahankan

kesucian pada saat malam pengantin.

Padahal dalam kehidupan modern saat ini, konsep mempertahankan keperawanan itu

agak muskil untuk dapat dipertahankan

karena hilangnya keperawanan tidak

semata-mata diakibatkan oleh hubungan

seksual dengan lawan jenis, melainkan

bisa juga diakibatkan oleh kegiatan olah

raga dan menari.

Selain menemukan ungkapan hasrat

seksual dari tokoh Nayla, gambaran isu

ketubuhan perempuan juga mengemuka

dalam novel ini. Berikut data mengenai hal

tersebut.

“Siang itu, Nayla banyak memberi

penjelasan. Bahwa setelah bersama Juli, ia

bisa mengenali tubuhnya sendiri. Ia baru

tahu, kalau bagian sensitif perempuan

letaknya ada di bagian luar, bukan di dalam.

Karena ketika vagina mereka berdua

bergesekkan, klitoris menerima rangsangan

lewat gesekan itu. Maka terjadilah orgasme.

Beberapa posisi senggama dengan lakilaki

sering tidak memungkinkan klitoris

mengalami pergesekan ini. Posisi-posisi

semacam lotus atau doggy, membuat klitoris

tak tersentuh. Oleh sebab itu, perempuan

sulit mengalami orgasme, apalagi jika

tidak dirangsang terlebih dahulu sebelum

penetrasi. Jadi besar kecil penis sama sekali

tidak bisa dijadikan sebuah patokan. Yang

terpenting adalah ketika masing-masing

pasangan merasa punya hak yang sama.

Keterbukaan dan komunikasi adalah

kuncinya, selain melepaskan diri dari

represi mitos-mitos tak benar itu, tentunya”

(Nayla:82-83).

Data di atas menjelaskan bagaimana

perempuan (dalam hal ini tokoh Nayla)

menikmati tubuhnya sebagai bagian

penting dari idealisme feminis yang sering

diungkapkan oleh kelompok feminis

radikal kultural seperti Mary Daly yang

sangat merendahkan nilai-nilai maskulin

tradisional dan menyerukan androgini

(Tong, 1998:83). Androgini pada Nayla

direpresentasikan menjadi perempuan

biseksual dan tidak patuh pada hubungan

homoseksual. Sebagaimana yang diakuinya

pada kekasihnya Juli mengenai

hubungan intim lainnya dengan lelaki.

Jadi, isu lesbianisme bukanlah hal yang

utama dalam kisah hidup Nayla. Hal ini

berbeda dengan tokoh Juli yang orientasi

seksualnya sebagai lesbian. Sebaliknya,

Nayla lebih mencintai kehidupan itu

sendiri dan untuk itu ia menabrak semua

kemapanan baik bersama lelaki maupun

perempuan.

Nayla dapat digambarkan sebagai

perempuan yang tidak lagi mempercayai

lembaga perkawinan. Kegagalannya

tumbuh sebagai anak perempuan yang

normal berawal dari kegagalan lembaga

perkawinan kedua orang tuanya dan

pemerkosaan yang pernah dialaminya

sebagaimana yang diakuinya kepada

Juli dan Ben, serta selalu muncul agak

berlebihan sepanjang alur cerita ini. Berikut

pengakuan perkosaan yang dialaminya

kepada Juli.

“…Eh, ngomong-ngomong kamu udah

nyoba berapa cowok?”

“Kok nanyanya gitu?”

“Katanya harus terbuka. Selama ini

kamu cuma bilang gak ada yang bisa

muasin kamu kecuali aku. Gak ada yang

bisa berarti lebih dari satu. Lagian wajar

dong aku tanya, kita kan udah hampir

setahun.”

“Gak tauk, gak ngitung. Sepuluh orang

kali.”

“Hah? Kamu kan baru empat belas

tahun. Pertama kali ngelakuin umur

berapa?”

“Sembilan tahun”.

“Hah?! Sama siapa?”

“Pacar nyokap gue!”

“Ya, diperkosa satu laki-laki sejak

umur sembilan tahun. Gue nyoba beneran

sembilan laki-laki lainnya sejak umur tiga

belas tahun. Berarti itu gue lakuin selama

sama kamu!”

“Hahhhhhhhhh!!!!!!” (Nayla:83-84).

Isu perkosaan yang dialami oleh perempuan

selama ini selalu ditutup-tutupi

karena sering dianggap sebagai aib justru

oleh korban, bukan pelakunya. Namun,

tokoh utama dalam novel ini dengan

gamblang dan ringan menceritakan pengalaman

pemerkosaan yang pernah

dialaminya. Berbeda dengan sikap yang

biasanya ditunjukkan oleh korban pemerkosaan

yang umumnya malu mengakui apa yang pernah dialami mereka.

Sebaliknya, rasa takut untuk menceritakan

pengalaman perkosaan yang dialaminya

justru muncul ketika harus berhadapan

dengan Ibunya. Sebab si pemerkosa adalah

pacar ibunya sendiri. Seperti yang dapat

kita ketahui dari data berikut ini.

“Saya takut mengatakan apa yang

pernah dilakukan Om Indra kepada saya.

Padahal saya ingin mengatakan kalau Om

Indra sering meremas-remas penisnya di

depan saya sehingga cairan putih muncrat

dari sana. Bahkan ketika kami sedang

sama-sama nonton televisi dan Ibu pergi

sebentar ke kamar mandi, Om Indra kerap

mengeluarkan penis dari dalam celananya

hanya untuk sekejap menunjukkannya

kepada saya. Om Indra juga sering

datang ke kamar ketika saya belajar dan

menggesek-gesekkan penisnya ke tengkuk

saya. Begitu ia mendengar langkah Ibu,

langsung ia pura-pura mengajari saya

hingga membuat Ibu memandang kami

dengan terharu. Dan pada akhirnya, ketika

Ibu tidak ada di rumah, Om Indra tidak

hanya mengeluarkan ataupun menggesekgesekkan

penisnya ke tengkuk saya. Ia

memasukkan penisnya itu ke vagina saya.

Supaya tidak ngompol, katanya. Saya diam

saja” (Nayla:113).

Berdasarkan data di atas, terdapat

perbedaan sudut pandang Nayla dalam

menceritakan pengalaman pemerkosaan

yang telah dialaminya. Ketika bercerita

kepada Juli, ia dapat menceritakan peristiwa

perkosaan itu sebagai bagian dari

pengalaman seksualnya dengan lelaki.

Sebaliknya, ketika berhadapan dengan

tokoh Ibu, pengalaman perkosaan itu lebih

disimpannya untuk dirinya sendiri karena

ia sadar bahwa ia tidak akan memperoleh

pembelaan dari ibunya. Sebaliknya malah

siksaan yang diterimanya sebagaimana

jika ia ketahuan berbuat salah. Namun,

dengan tidak menceritakan kepada Ibu

bukan berarti Nayla menyerah dan pasrah

terhadap pelecehan seksual yang telah

diterimanya. Jauh di kemudian hari, ketika

ia telah menjadi penulis terkenal, Nayla

memilih membuka persoalan pelecehan

seksual tersebut dengan menuliskan kisahnya

dalam bentuk fiksi.

Dengan menuliskan kisah tersebut ia

merasa terbebaskan. Hal itu yang kemudian

mendapat reaksi yang sudah diduga

dari ibunya, yakni permusuhan dan

kemarahan.

Dalam hal ini, Nayla sebagai

perempuan yang telah dinodai oleh

pacar ibunya lebih realistis memandang

persoalan

pemerkosaan tersebut dibandingkan

ibunya. Nayla sebagai perempuan

korban kejahatan sebagaimana dijelaskan

oleh Noddings (dalam Tong, 1998:233)

lebih mampu menghadapi kejahatan

dibandingkan laki-laki. Menurut Nodding,

pemahaman laki-laki (baca: budaya

patriarki) mengenai kejahatan adalah

abstrak. Bagi perempuan, kejahatan

adalah peristiwa

yang membahayakan

dan dapat melukai

seseorang. Bagi lakilaki

kejahatan merupakan peristiwa yang

melangggar peraturan, suatu pelanggaran

terhadap perintah

Tuhan atau hukum

negara. Keinginan

untuk menggantikan

ide abstrak mengenai kejahatan sebagai

dosa, rasa bersalah, ketidakmurnian, dan

kesalahan

dengan pengalaman kejahatan

yang konkret merupakan sesuatu yang

“membahayakan.”

Sikap ibu yang tidak mendukung dan

menyudutkannya karena si pemerkosa

adalah kekasih ibunya, membuat Nayla

memilih menutup mulut terhadap pelecehan

seksual yang telah dialaminya.

Tokoh Ibu dalam novel tersebut dapat

dianggap sebagai perempuan pendukung

budaya patriarki yang cenderung membela

lelaki dan menyalahkan perempuan yang

sebenarnya menjadi korban dari tindakan

kejahatan tersebut. Setidaknya, itulah yang

terjadi pada tokoh Nayla.

Masalah yang dihadapi Nayla

mirip dengan masalah yang dialami

Shakuntala dalam novel Saman. Bedanya,

Shakuntala lari dari rumah karena ingin

memberontak terhadap dominasi ayahnya,

sebaliknya Nayla lari dari rumah

karena ingin memberontak dominasi

ibu. Pemberontakan

terhadap ibu juga

dapat ditafsirkan sebagai pemberontakan

terhadap nilai budaya patriarki yang jugamendapat dukungan dari perempuan seperti

tokoh ibu dalam novel ini.

  1. Pemberontakan Tokoh Juli

Juli merupakan tokoh perempuan

kedua yang digambarkan dalam novel

Nayla yang sama-sama melakukan pemberontakan

terhadap nilai-nilai kemapanan

dalam keluarga dan masyarakat.

Pemberontakan yang dilakukan

Juli adalah

keberanian memilih dan mengungkapkan

secara terus terang jati diri dan dorongan

orientasi seksual sebagai perempuan yang

menikmati hubungan dan mencintai sesama

jenis. Sebelum bertemu dengan

Nayla, ia digambarkan sudah memiliki

kehidupan

sendiri sebagai seorang DJ

di sebuah diskotek. Isu seksualitas berkaitan

dengan kehidupan Juli sebagai

homoseksual sangatlah menarik dilihat

dari perspektif perempuan yang menjalani

kehidupan lesbian itu sendiri. Berikut ini

ditampilkan

ungkapan hasrat seksual

tokoh Juli ketika ia menjadi kekasih Nayla.

“Sirna sudah harapan Juli. Yang ia

bayangkan

sebelumnya, Nayla akan

gembira menginap satu malam di

kamar suite yang sudah Juli persiapkan

untuknya. Berharap Nayla akan menikmati

kemewahan itu ketimbang tidur di kamar

kosnya yang kumuh. Mereka akan duduk

sambil mereguk anggur merah di tepi

jendela sambil memandang kemilau

lampu-lampu mobil dan jalan raya di

luar sana. Saling menatap mesra seperti

yang seminggu ini mereka lakukan ketika

saling berdekapan di dalam kamar kos

Nayla. Mereka bisa saja bercinta untuk

pertama kalinya, tanpa ada rasa janggal di

hati Juli setiap kali ranjang Nayla berderit

memekakkan telinga” (Nayla:67-68).

Ungkapan hasrat seksual tokoh Juli

kepada Nayla mendapat jawaban yang

di luar dugaannya. Reaksi dingin Nayla

ketika ia melamar dan menanyakan kesetiaannya

untuk tidak berpaling darinya

segera menyadarkan Juli bahwa ia bukan

pasangan yang dapat menambat hati

Nayla. Kecemburuannya terhadap lelaki

dan tubuh lelaki mencuat kembali ketika

ia melihat Nayla mendapat perhatian dari

lelaki-lelaki pengunjung diskotek atau

dari lelaki pengagum lainnya seusai Nayla

menari. Persoalan ini biasanya menjadi

dilema bagi perempuan homoseksual

yang berperan sebagai lelaki (the top)

dalam hubungan kehidupan

kaum

lesbian. Selain itu, perpisahan biasanya

merupakan sebuah siksaan bagi

perempuan gay, karena status hubungan

yang dinegosiasikan, dan khususnya

karena karakter ‘terbuka’ dari identitas

homoseksual (Giddens, 2004:194).

Kompleks masalah ketubuhan yang

masih milik perempuan dengan jiwa kelakilakian

dalam dirinya kembali bergejolak.

Ia kembali merasa terjebak dengan tubuh

perempuan yang dimilikinya ketika terbakar

api cemburu saat Nayla dilirik dan

dikagumi oleh laki-laki lain. Kompleks

kejiwaan Juli terhadap tubuh perempuan

yang memerangkapnya ini terdapat pada

data berikut.

“Kebencian Juli terhadap laki-laki makin

menjadi-jadi. Ia benci dengan jiwa laki-laki

yang mengalir di dalam tubuhnya yang

perempuan. Tapi Juli tak bisa membenci

tubuh perempuannya karena ia mencintai

tubuh perempuan. Juli benci dengan jiwa

laki-laki yang mengalir di dalam tubuh lakilaki.

Tubuh yang tak pernah bisa menjadi

miliknya. Tubuh-tubuh itu yang selalu

menyainginya. Tubuh-tubuh itu yang

selalu merampas kekasihnya” (Nayla:103).

Pertarungan antara ingin menjadi

perempuan sesuai penampilannya atau

menjadi lelaki dalam tubuh perempuan

yang memerangkapnya selalu bercanggahan

dalam diri Juli. Kenyataan itu

menyakitkan, apalagi keluarga dan

masyarakat luas masih belum bisa menerima

perbedaan yang dihadapinya. Alihalih

menjadi perempuan pasif, Juli malah

menolak untuk mengkhianati tubuh yang

dimilikinya dengan keinginan mengganti

tubuhnya dengan tubuh lain. Seperti yang

disampaikannya dalam data berikut.

“…Juli tak ingin mengeluarkan air

mata hanya untuk berkhianat dengan

mendambakan tubuh yang begitu dibencinya

itu menjadi miliknya. Tidak!

Tubuh yang dimilikinya sekarang ini taksepatutnya berganti dengan tubuh laki-laki

yang menjijikkan! Tubuh dengan sebongkol

biji dan sekerat daging lebih bukan sesuatu

yang layak untuk diidamkan. Tanpa

tubuh itu, Juli akan membuktikan. Bahwa

ia adalah juga seorang manusia yang

tak layak diperlakukan bak binatang”

(Nayla:103).

Pada kasus Juli, persoalan tubuh

perempuan

menjadi persoalan psikologis

yakni antara menjadi perempuan yang

sesuai dengan penampilan fisiknya atau

menjadi perempuan yang sesuai dengan

dorongan dan orientasi seksualnya.

Akhirnya ia memutuskan bahwa tubuhnya

boleh perempuan tetapi dorongan seksual

sebagai homoseksual tidak menghalangi

dirinya menjadi manusia yang berbahagia

seperti manusia lainnya. Helena Haste

mengutip konsep yang dibangun oleh

Simone de Beauvoire (2003:xi) yang

menyatakan

bahwa perempuan telah

dianggap

sebagai “yang lain”, tidak hanya

karena

perempuan berbeda dari laki-laki

atau maskulin (dan berarti berimplikasi

pada ketidaksetaraan) tetapi juga karena

perempuan adalah the which man is not

(sesuatu yang bukan laki-laki); suatu

definisi maskulin yang ditopang oleh

negasi (penyangkalan) terhadap feminin.

Berdasarkan pandangan yang diskriminatif

ini, teori feminis kemudian

membangun konsep feminin kepada sebuah

“autentitas

kedirian” (selfhood) yang bukan

lagi sebagai negasi. Melalui konsep autentitas

kedirian ini, feminisme merefleksikan bagaimana

maskulin tidak menghadirkan perempuan

dalam wacananya. Maskulin tidak saja

membuat bermacam stereotip tetapi juga

menghilangkan kehadiran perempuan. Tidak

pula sekadar mengabaikan perbedaan, tetapi

juga mendistorsi dan menjadikan perempuan

tidak autentik. Feminisme kemudian

menganalisis lewat bahasa, mengonstruksi,

serta

mereproduksi gagasan dan makna,

terutama

sebagaimana yang dilakukan oleh

feminis kultural. Semua itu dilakukan untuk

melampaui hal-hal yang menjadi perhatian

seperti hukum, pendidikan bahkan sampai

pada akar-akar makna sistem budaya, sebagaimana

yang dilakukan oleh Djenar Maesa

Ayu dalam Nayla.

  1. Perempuan Menulis Merayakan

Tubuhnya

Djenar Maesa Ayu dalam Nayla, menampilkan

tokoh utama perempuan menjadi

seorang penulis yang berhasil diakui eksistensinya.

Selain untuk menunjukkan eksistensi

dirinya, pekerjaan sebagai penulis

yang dipilih oleh tokoh Nayla dapat juga

ditafsirkan sebagai upaya untuk merayakan

tubuhnya. Upaya merayakan tubuh tersebut

dengan jalan menulis sangat jelas terungkap

ketika ada wartawan yang menanyakan

pemilihan tema-tema seks dalam cerita

yang ditulisnya. Tokoh Nayla menjawab

pertanyaan wartawan tersebut sebagaimana

terungkap dalam data berikut.

“Seks adalah unsur penting dalam

hidup. Saya tidak dengan sengaja

bertendensi pada tema seks. Tapi pada

kenyataannya, seks memang bagian dari

hidup. Jadi memang tidak bisa dipisahkan.

Kalau saya harus menulis masalah

seksualitas maupun aktivitas seksual

dalam karya saya sebagai penunjang cerita,

ya pasti saya akan tuliskan.”

“Seks bukan sesuatu yang mewah

buat saya. Jadi saya merasa biasa-biasa

saja menuliskannya. Saya menulis karena

saya butuh menulis. Saya menulis untuk

jujur. Dalam realitas mau tidak mau kita

tidak bisa jujur setiap saat. Kita harus

menenggang orang dan menyesuaikan

diri, tak bisa terus-menerus menjadi diri

sendiri. Kalau dalam menulis pun saya

masih harus berbohong, lebih baik saya

tidak menulis” (Nayla:121).

Berdasarkan tanggapan yang diberikan

tokoh Nayla terhadap pertanyaan

wartawan, terkesan bahwa Nayla berupaya

membagi ruang tertutup yang

selama ini disimpannya. Kejujuran yang

mendorongnya

menuliskan hal-hal yang

oleh khalayak pembaca dianggap tabu dan

tidak pantas disampaikan.

Namun, tidak

demikian dalam kaca mata kaum feminis

seperti Helena Cixous. Dalam tulisannya

yang berjudul “The Laugh of Medusa”

(1997:334), Cixous menyatakan bahwatubuh atau kenikmatan seksual perempuan

dapat dituangkan melalui penulisan,

literatur atau sastra sebagaimana kutipan

tulisannya berikut ini.

“I shall speak about women’s writing.

Woman must write herself…Woman must put

herself into the text –as into the world and into

history– by her own movement”.

Cixous memprovokasi perempuan

agar menjadikan tulisan sebagai media

untuk mendapatkan kenikmatan (baca:

keuntungan) lain dari tubuh perempuan

yang selama ini dinegasikan, dijadikan

objek bukan subjek, dan cenderung dimanipulasi

untuk kepentingan serta kepuasan

sudut pandang budaya patriarki. Gagasan

ini sangat berguna untuk menemukan

wacana perempuan yang ditemukan dalam

novel pengarang perempuan, yaitu

memperlihatkan keberagaman ekspresi

hasrat seksual dan karakter yang berbeda

dari tokoh perempuan dalam fiksi, seperti

novel yang selama ini hanya diperankan

atau direpresentasikan oleh laki-laki. Pendapat

Cixous sejalan dengan salah satu

pengalaman Luce Irragaray (2005:66) yang

menyatakan, “menulis memungkinkan

untuk menyampaikan gagasanku

kepada

banyak orang yang tidak kukenal, yang

tidak berbicara bahasa yang sama, dan

yang tidak hidup pada zaman yang sama

denganku”. Dalam hal itu, menulis sama

dengan membangun sebuah korpus dan

sebuah sandi makna yang dapat diingat,

disebarluaskan, dan berkesempatan masuk

dalam sejarah. Dari sudut pandang isi dan

bentuk uraianku, penggunaan tulisan

pada akhir abad XX ini merupakan upaya

untuk meletakkan zaman baru dalam

kebudayaan, yaitu: zaman perbedaan jenis

kelamin. Karya ini, menurutku, secara

historis diperlukan pada masa ini jika kita

memandangnya dari masa lalu, masa kini,

dan masa depan.

Itulah yang dilakukan oleh tokoh

Nayla dalam novel ini. Ketika ia

menuliskan kembali kisah-kisahnya, ia

telah membawa masa lalunya ke masa

kini. Ia telah “membangunkan” ibunya

bahwa ada sesuatu dari masa lalu yang

tidak terungkapkan selama ini bahkan

kepada ibunya sendiri; masa lalu yang sulit

dilupakannya ketika ia dilecehkan secara

seksual oleh pacar ibunya; peristiwa masa

lalu yang selalu menghantuinya hingga

dewasa dan membentuk

kepribadiannya

saat ini. Sayang, keputusan untuk

menuliskan kembali kisah masa lalunya

itu tidak memperbaiki hubungan antara

Nayla dan ibunya. Sebaliknya, tokoh ibu

semakin meradang dan semakin merasa

dikhianati oleh anak kandungnya sendiri,

yakni Nayla seperti data berikut.

“Kamu pun menulis tentang Om

Indra. Jika itu benar, Nayla, kenapa

kamu tidak beritahukan aku sejak dulu?

Kenapa kamu berpikir aku akan lebih

memilih binatang itu daripada kamu?

Kenapa kamu memakai cara seperti

ini untuk memberitahuku? Kamu tidak

cuma memberitahuku jika seperti ini.

Kamu memberitahu seluruh dunia! Kamu

tidak sedang membuka aibmu sendiri,

Nayla. Tapi aib keluarga! Apa kamu tidak

sadar siapa dirimu, Nayla. Semua orang

tahu kamu karena kamu anakku. Kamu

menyandang nama besarku dan ayahmu.

Ayahmu yang tidak bertanggung jawab.

Ayahmu yang bejat. Ini semua salahnya.

Bukan aku! Jika ia tidak meninggalkan kita,

Nayla, tidak akan ada nama Om Indra.

Tidak akan ada nama siapa pun! Demi

Tuhan, Nayla. Sadarlah, ini semua salah

ayahmu. Ayahmu. Ayahmu. Bukan aku!”

(Nayla:156).

Selain mendapat reaksi keras dari

ibuya, Nayla juga mendapat tanggapan

yang skeptis dari sekelompok orang yang

mencurigai kemampuannya sebagai penulis.

Bahkan dalam satu wawancara

seorang wartawan lebih tertarik kepada isu

hubungan cinta sesama jenis dalam cerita

yang ditulisnya. Pertanyaan wartawan

tersebut dalam kisah ini menunjukkan

belum adanya keseimbangan antara dunia

lelaki dan dunia perempuan. Perempuan

selalu dicurigai sebagai makhluk yang

hanya mampu mengandalkan fisik

untuk mencapai tujuannya. Misalnya,

untuk menjadi penulis terkenal sepertitokoh Nayla, masyarakat hanya melihat

kemolekan tubuhnya bukan kemolekan

pikiran yang terkandung di dalamnya.

Seperti kata Nayla: “Penulis perempuan

dikaji dan dicurigai karena tubuh. Sementara

laki-laki luput dari risiko itu” (Ayu,

2005:122).

  1. Simpulan

Uraian dalam tulisan ini menunjukkan

bahwa isu representasi seksualitas novel

Saman, Larung, dan Nayla mengungkapkan

hasrat seksual tokoh, wacana ketubuhan,

metafora tentang seks perempuan,

perkawinan,

stereotip terhadap seks

perempuan, dan pemerkosaan terhadap

perempuan. Dalam karya sastra hal tersebut

cenderung didominasi penulis laki-laki.

Oleh karena itu, ketika penulis perempuan

menyampaikan keberanian seorang tokoh

perempuan dan mengeksplorasi masalah

seksual, ia dituduh mengumbar erotisme

perempuan. Reaksi keras juga muncul

sebagai tanggapan atas karya Ayu Utami

dan Djenar Maesa Ayu yang mengungkap

masalah seksualitas.

Berbagai reaksi keras dan kecurigaan

muncul. Penghargaan cenderung muncul

semata karena mempertimbangkan aspek

jenis kelamin penulisnya. Perempuan cenderung

dicurigai sebagai makhluk yang

mengandalkan fisik untuk mencapai tujuannya.

Bagi perempuan, menulis sama

dengan

membangun sebuah korpus dan

sebuah sandi makna yang dapat diingat,

disebarluaskan,

berkesempatan masuk

dalam

sejarah. Representasi seksualitas

dalam novel Saman, Larung, dan Nayla cenderung

sebagai manifesasi dari pengalaman

traumatis masa kecil, seperti tampak pada

Shakuntala dan Cok. Keduanya cenderung

bersifat ekstrover dengan mau berbagi

pengalaman kehidupan seksualnya. Keduanya

bertolak belakang dengan Yasmin yang

cenderung tertutup dan menyimpan sebagai

rahasia.

Perbedaan jender yang sangat kentara

dalam sistem budaya manusia secara

umum yang berimplikasi pada banyak

aspek

kehidupan dan terutama sangat

dirasakan oleh perempuan. Selama

ini perempuanlah

yang menjadi objek

bukan subjek. Dengan demikian, melalui

gerakan feminisme diharapkan kaum

perempuan mempunyai hak menyuarakan

perasaannya yang paling dalam dan

sering dianggap tabu untuk diungkapkan

dan juga pilihan-pilihan hidupnya yang

kontroversi. Ia adalah subjek atas dirinya,

bukan lagi hanya objek yang menunggu.

Pemberontakan terhadap dominasi patriarki

inilah yang hendak diungkap oleh

kedua penulis perempuan dalam ketiga

karya

tersebut.

Daftar Pustaka

Ahmad, Shanon. 1969. “Pengarang-Pengarang

Indonesia yang Malu-Malu

dan Sipu-Sipu,” dalam Horison, No.

10 tahun IV, Oktober 1969.

Amiruddin, Mariana. 2004. ”Memandang

Seks dalam Sastra dengan Eksplorasi

Tubuh,” dalam Media Indonesia. 24

Oktober 2004.

Aveling, Harry.1969. “The Thorny Rose:

The Avoidance of Passion in

Modern Indonesia Literature,”

dalam Majalah Indonesia, No. 7 April

1969.

Ayu, Djenar Maesa. 2004. Jangan Main-

Main (dengan Kelaminmu). Jakarta:

  1. Gramedia Pustaka Utama.

Ayu, Djenar Maesa. 2005. Nayla. Jakarta:

  1. Gramedia Pustaka Utama.

Budiman, Kris. 2003 “Dari Saman ke

Larung: Menemukan Kembali

Sisa-Sisa Feminitas,” dalam Jurnal

Perempuan. Jakarta: Juli 2003.

Cixous, Helena. 1997. “The Laugh of Medusa,”

In Critics Theory Since 1965, dalam

Hazard Adams and Leroy Searle,

(ed). Feminisms on Anthology of Literary

Theory and Criticism. Thallahasse:

Florida State University Press.

De Beuvoir, Simone. 2003. Second Sex. Yogyakarta:

Promethea. Fromm, Erich. 2002. Cinta Seksualitas

Matriarkhi Gender. Jakarta: Fajar

Pustaka Baru.

Giddens, Anthony. 2004. Transformation

of Intimacy: Seksualitas, Cinta dan

Erotisisme dalam Masyarakat Modern.

Jakarta: Fresh Book.

Iragaray, Luce.2005. Aku, Kamu, Kita: Belajar

Berbeda. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia dan Forum Jakarta Paris.

Loekito, Medy. 2003. “Perempuan Sastra

Pria,” dalam Jurnal Perempuan. Jakarta:

Juli 2003.

Mohamad, Goenawan. 1981. Seks, Sastra, Kita.

Jakarta: Sinar Harapan.

Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist

Thought: Pengantar Paling Komprehensif

kepada Arus Utama Pemikiran Feminis.

Yogyakarta: Jalasutra.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.

Utami, Ayu. 2001. Larung. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.

Yusuf, Nova Riyanti. 2003. Mahadewa

Mahadewi. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Yusuf, Nova Riyanti. 2004. Imepremine.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Related Posts

Leave a Reply