HISKI Jember Undang Pakar UGM dan UNEJ, Bahas Spiritualitas dan Religiositas Puisi

Dalam webinar rutin bulanan dengan tajuk NGONTRAS#13 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-13), Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) mengundang pakar puisi dari UGM dan UNEJ. Kedua pakar membahas persoalan spiritualitas dan religiositas dalam puisi. Dipaparkan bahwa spiritualitas berbeda dari religiositas. Spiritualitas untuk mencapai hakikat tanpa konteks apa pun, sedangkan religiositas terkait konteks agama, aliran, atau paham tertentu. Selain tanpa konteks, spiritualitas juga meninggalkan hasrat duniawi.

Demikian rangkuman pembahasan dalam webinar dengan tema “Spiritualitas dalam Puisi.” Webinar secara daring tersebut diselenggarakan kerja sama HISKI Jember dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univesitas Jember (FKIP UNEJ), Jurnal Semiotika, Kelompok Riset Sastra, Tradisi Lisan, dan Industri Kreatif (KeRis SasTraLis-Inkrea), dan Kelompok Riset Pertelaahan Sastra Konteks Budaya (KeRis PERSADA), Sabtu (27/8/2022).

Pakar yang diundang sebagai pembicara berasal dari UGM dan UNEJ. Dr. Aprinus Salam, M.Hum., dosen pascasarjana dan Koprodi Magister Sastra FIB Universitas Gadjah Mada. Dalam perjalanan akademik, Aprinus telah banyak membahas puisi, mulai dari karya akademik dalam skripsi, tesis, hingga buku dan jurnal. Dr. Akhmad Taufiq, M.Pd., dosen PBSI FKIP Universitas Jember. Selain sebagai akademisi yang telah banyak membahas puisi, Taufiq juga seorang penyair dengan banyak karya dan penerima Anugerah Penghargaan Puisi Dunia Numera Malaysia (2014). Webinar dipandu oleh moderator Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum., anggota HISKI Jember sekaligus dosen FIB UNEJ, dengan pewara Muhammad Rizqi Hasan, mahasiswa Sastra Indonesia FIB UNEJ.

 Sebagai pembicara pertama, Aprinus Salam menjelaskan bahwa spiritualitas tidak terkait dengan konteks apa pun. Spiritualitas merupakan hakiki yang netral, bebas konteks. Hal ini juga berlaku dalam puisi. Dijelaskan pula bahwa spiritualitas tidak sama dengan religiositas. Keduanya berbeda. Menurutnya, religiositas merupakan spiritualitas yang mengalami kontekstualisasi tertentu. “Jadi, religiositas itu sudah terkait konteks tertentu. Tidak lagi bebas konteks. Konteks religiositas bisa agama tertentu, misalnya Islam, Katolik, Kristen, atau yang lainnya,” kata Aprinus, yang aktif menjadi pembicara dalam berbagai forum seminar.

Dijelaskan pula bahwa spiritualitas merupakan ranah netral yang sangat halus atau estetik. Dalam lapis tertentu dapat bertumpang tindih dengan kesucian, kebersihan, dan kasih sayang. Juga menyatu dengan nilai-nilai yang mengandung dimensi spiritual. Meskipun demikian, ditekankannya kembali bahwa spiritualitas berbeda dari religiositas.

Aprinus juga mengilustrasikan bahwa jalan agama merupakan religiositas. Hal ini sesuai dengan konteks agama tertentu. Disebutkan bahwa kontekstualisasi agama Islam memiliki religiositasnya sendiri. Demikian juga agama-agama lain, dengan religiositasnya sendiri. Artinya, spiritualitas yang masuk ke ruang-ruang tertentu, akan menjadi religius. “Tetapi dalam tataran spiritualitas, semua agama bisa bertemu,” kata Aprinus, yang aktif menyebarkan pemikirannya di media sosial FB.

Menurut Aprinus, kaidah untuk disebut spiritual haruslah bebas dari ruang dan waktu, bebas konteks, tidak berjenis kelamin, tidak berideologi, dan tidak berhasrat duniawi. Kajian tentang spiritualitas dalam puisi berarti kajian yang menguji puisi terkait kaidah tersebut. “Kalau puisi masih terikat tujuan atau kepentingan tertentu, maka aspek spiritualitasnya menjadi gugur,” kata Aprinus.

Diilustrasikan juga bahwa dalam suatu praktik ritual, ada rangkaian yang bersifat tidak spiritual. Namun, mungkin ada satu momen menjadi spiritual, karena momen itu menembus ruang dan waktu. Juga, menyatu dan ada dalam ruang dan waktu abadi, sehingga membebaskan dirinya dari segala kepentingan dan tuntutan duniawi. “Jadi, spiritualitas juga harus bebas dari hasrat duniawi,” tandas Aprinus.

Sebagai pembicara kedua, Akhmad Taufiq menjelaskan bahwa spiritualitas berbeda dari religiositas. Religiositas dikatakannya sebagai ranah agama, sedangkan spiritualitas merupakan ranah pos-agama, lebih dari atau di atas agama. Karena spiritualitas menyangkut wilayah pos-agama, maka disebutkannya sebagai pekerjaan atau laku yang berat. Taufiq juga berpesan kepada audiens untuk memahami hal ini secara utuh. “Jika pemahaman tidak utuh, saya khawatir ini akan menjadi sesat,” kata Taufiq, yang juga menjadi Wakil Ketua PCNU Jember dan Pembina Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) Jember.

Menurut Taufiq, secara esoteris (bersifat khusus), spiritualitas dimaknai sebagai konsep yang luas dan mendalam dari hakikat sebuah kehidupan manusia. Spiritualitas menyangkut sumber dari energi batiniah manusia. Terkait hal itu, spiritualitas puisi berimplikasi dengan sumber energi atau energi rohaniah dari puisi tersebut. Dengan demikian, spiritualitas puisi menyangkut aspek rohaniah manusia, khususnya penyair, dari mana dan bagaimana sumber energi tersebut. “Sumber energi yang hakiki adalah dari Tuhan,” kata Taufiq, yang mendapatkan Anugerah “Sutasoma” kategori Buku Esai/Kritik Sastra terbaik dari Balai Bahasa Jawa Timur (2018).

Dalam penjelasannya, Taufiq juga mengutip puisi yang dinilainya mengarah ke dimensi spiritualitas. Di antaranya puisi “Bismillahirrahmaanirrohim” karya M. Aris Hj. Hamzah (Singapura), “Manusia Demi Manusia” karya Suratman Markasan (Singapura), dan “99 Warna Cinta” karya Iberamsyah Barbary (Banjar, Kalimantan Selatan). Dijelaskan bahwa dalam puisi-puisi tersebut, hakikat spiritualitas adalah ketika manusia mampu menyandarkan dirinya setinggi-tingginya kepada Allah atau Tuhan.

Taufiq juga memaparkan bahwa religiositas merupakan salah satu jalan menuju spiritualitas. Jalan tersebut dilakukan melalui agama. Karena spiritualitas merupakan dimensi pos-agama, maka dapat dicapai melalui jalan agama dengan religiositas. Kemudian dijelaskan bahwa dalam konteks Islam, ranah religiositas dapat dilalui dengan tiga tingkatan, yakni lillah (karena Allah), billah (dengan Allah), dan fillah (di dalam Allah). Urutan ketiga tataran tersebut menunjukkan tingkatan dari rendah ke tinggi dari dimensi religiositas sekaligus untuk mencapai spiritualitas. Meskipun demikian, Taufiq berpesan bahwa laku tersebut tidak mudah, karena adanya hasrat duniawi yang ada dalam diri manusia. “Puisi-puisi spiritual biasanya ditulis oleh penyair yang mengikuti jalan sufistik, bebas dari hasrat duniawi,” tandas Taufiq.

Acara NGONTRAS#13 yang diikuti sekitar 330-an peserta, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Sesi penutupan dilakukan oleh pewara dengan pantun: Dahan ranting tidak peduli, daun kering yang tenggelam. Terima kasih atas diskusi ini, mengobati kerinduan yang mendalam. Menahan cinta selama sebulan, untuk menaklukkan hati keras. Jika rindu tak tertahankan, tunggu kami di NGONTAS#14.

Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember

Related Posts