[:en]The Existence of Tayub in Nganjuk in 1996-2009[:id]Eksistensi Kesenian Tayub di Kabupaten Nganjuk Tahun 1996-2009[:]

[:en]Summary

 

The Existence of Tayub in Nganjuk in 1996-2009; Wahyu Fitriyani, 120110301012; 2016; 155 pages: History Departement Faculty of Humanities Jember University.

 

This article discusses The Existence of Tayub in Nganjuk in 1966-2009 in terms of its development and/or decline. The subjects of this research are some regions that have high intensity of tayub performances, i.e. Nganjuk-Sambirejo and Tempuran. Nevertheless, both of them have their own characteristics. Meanwhile, the research questions are (1) the background of tayub’s decline, especially its intensity and numbers of artist; (2) the existence of tayub in Nganjuk in 1996-2009; and (3) the effects of tayub toward social, economy, and culture.

The goals of this research is to know the history of tayub’s development since it faces decline in 1996 besides, the government facilitates it through having Padepokan Langen Tayub Anjuk Ladang. At the beginning, tayub comes from the tradition of Javanese kingdoms, including Nganjuk. Unfortunately, tayub in Nganjuk faces up and down development so that the government puts their attention seriously during 1996-2009. Additionally, both the artists and also the society realize that tayub affects to the social, economy, and culture. Tayub is a people-live shows which is related to the life of the artists.

This research uses some kinds of methods, i.e. heuristics, source critics (internal and external), interpretation, and historiography. In addition, the researcher also uses ethnochoreology approach to describe tayub as the cultural products which are able to affect suciocultural life (contextual) and to analyze some supported-factors of tayub, tayub’s elements i.e. dance, music, makeup, wardrobes, and stages (textual). Further art performances-function theory is used in this research, that is primary function and secondary function.

The result of this research shows that tayub has decline in terms of quantity and quality of development in 1996, so that it needs a serious prohibilitions. Besides, The Departement of Local Culture and Tourism that takes care of art in Nganjuk build a workshop as the place to held seminars, sharing-events etc. This workshop also launches a positive event recently, i.e. Tayub Padang Bulan in 2006. Further, that event becomes the trademark of Nganjuk which contains some renewals of rules, wardrobes, and stages, including clarifying the negative perspective of society toward tayub. In Tempuran, Ngluyu most people still uses old-fashioned-tayub although they have given enlightement about Tayub Padang Bulan. In fact, Tayub Padang Bulan has a good responses from many people. Moreover in 2009, the annual event gembyangan waranggana in Sambirejo collaborates with gembyangan in Sedudo Waterfall. Additionally, in 2009 tayub is addressed as the city icon of Nganjuk. Nevertheless, the pro and contra inside the government makes that idea cannot be.

The conclusion in this research is tayub has relevant values with local cultures, i.e. togetherness, unity, and egality. In addition, tayub faces a long and tough process to be the local tradition that is accepted by the society. By the times, tayub does an innovation toward gendhing, makeup, wardrobes, and traditional dances to be more interesting and follows the latest tren without losing its traditional identity. Additionally, artists of tayub have decreased by the years because the young generations are more interested to the modern tren/culture. Besides, the government also makes a lot of rules to limit tayub.

 [:id]RINGKASAN

 

Eksistensi Kesenian Tayub di Kabupaten Nganjuk Tahun 1996-2009;

Wahyu Fitriyani; 120110301012; 2016; 155 halaman; Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember.

Artikel ini membahas tentang Eksistensi Kesenian Tayub di Kabupaten Nganjuk Tahun 1996-2009, yang dilihat dari aspek perkembangan maupun penurunan kesenian tayub. Fokus penelitian ini yaitu di Kabupaten Nganjuk Desa Sambirejo dan Desa Tempuran yang mana memiliki intensitas pementasan tayub yang tinggi, namun kedua desa memiliki ciri khas tayub masing-masing. Permasalahan yang dikaji dalam bahasan ini meliputi apa yang melatarbelakangi kesenian tayub mengalami penurunan intensitas pementasan maupun penurunan jumlah senimannya, bagaimana eksistensi kesenian tayub tahun 1996-2009 di Kabupaten Nganjuk, bagaimana pengaruh kesenian tayub terhadap bidang sosial, ekonomi dan budaya.

Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui sejarah perkembangan tayub mulai dari 1996 yang mengalami penurunan sehingga pemerintah memfasilitasi kesenian tayub dengan berdirinya Padepokan Langen Tayub Anjuk Ladang. Mengetahui sejarah kesenian tayub di Kabupaten Nganjuk yang awalnya tayub berasal dari pusat-pusat kerajaan Jawa hingga sampai ke Nganjuk. Tayub di Nganjuk mengalami pasang-surut yang kemudian mendapatkan perhatian yang lebih serius oleh pemerintah selama tahun 1996-2009. Mengetahui tentang kesenian tayub dapat mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, tidak hanya pelaku seniman saja tetapi juga masyarakat yang ada di sekeliling pertunjukan tayub itu berada. Tayub merupakan pertunjukan kerakyatan yang tidak lepas dari kehidupan senimannya untuk mencari nafkah.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah meliputi heuristik, kritik sumber (kritik dari dalam dan dari luar), interpretasi dan historiografi. Pendekatan dalam penelitian ini yaitu etnokoreologi yang digunakan untuk menguraikan tentang tayub sebagai produk budaya yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial-budaya (kontekstual) dan untuk menganalisis tentang pendukung tayub, elemen-elemen tayub berupa gerak, musik, rias, busana dan panggung (tekstual). Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori fungsi seni pertunjukan yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesenian tayub mulai mengalami penurunan dalam segi kuantitas dan perkembangan dalam segi kualitas pada tahun 1996, sehingga perlu pencegahan yang serius. Kiprah Disbudparda yang menaungi kesenian di Nganjuk membangunkan sebuah padepokan sebagai wadah untuk melakukan pembinaan, berkeluh kesah, sharing dan lain-lain. Hal ini menghasilkan karya yang positif dengan dicetuskannya Tayub Padang Bulan pada 2006. Tayub Padang Bulan merupakan ciri khas tayub Nganjuk yang mengandung pembaharuan-pembaharuan mulai dari peraturan, busana dan panggung. Hal ini untuk menepis perspektif negatif masyarakat tentang tayub. Desa Tempuran Kecamatan Ngluyu masih menggunakan tayub terop atau model lama, walaupun sudah mendapatkan pengarahan tentang Tayub Padang Bulan. Adanya Tayub Padang Bulan mendapat respon yang baik di masyarakat. Pada 2009 acara rutin gembyangan waranggana yang semula di Desa Sambirejo bertambah ritual gembyangan di Air Terjun Sedudo. Tayub pada 2009 akan dijadikan icon Kabupaten Nganjuk namun karena adanya pro dan kontra dari pemerintah hal itu tidak terlaksana.

Kesimpulan penelitian ini yaitu kesenian pertunjukan tayub mengandung nilai-nilai yang relevan dengan budaya lokal yaitu: kebersamaan, persatuan dan egalitarian. Tayub mengalami proses yang sulit dan panjang untuk menjadi kesenian yang lebih diterima oleh masyarakat di tengah-tengah budaya modern. Tayub dari tahun ke tahun melakukan inovasi mulai dari gendhing, tata rias, budasa, dan tari-tarian yang lebih meriah mengikuti selera masyarakat dengan tidak meninggalkan pakem dari tayub itu sendiri. Seniman tayub di Nganjuk semakin tahun berkurang jumlahnya hal ini karena generasi muda lebih tertarik dengan budaya modern. Pemerintah membuat banyak aturan yang semakin mengekang pertunjukan tayub.[:]

Related Posts