Balai Bahasa Jawa Timur (22/10) mengadakan penyuluhan penggunaan bahasa media luar ruang di Aula Sutan Takdir Alisyahbana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember.

Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Prof. Dr. Akhmad Sofyan, M.Hum dalam sambutannya menganalogikan bulan bahasa sebagai jalinan hubungan. Jalinan hubungan harus dimulai dengan rasa bangga. Karena kalau sudah tidak bangga, maka kesetiaan itu akan semakin luntur. Dengan kesetiaan berbahasa, kesetiaan itu kalau sudah setia maka ada kebanggaan. Semakin bangga akan semakin meningkatan hubungan. Kita harus menyadari bahwa sudah menjadi sifat manusia. Manusia punya naluri/potensi untuk tidak setia. Maka agar kesetiaan itu terjaga, Sofyan menyakinkan harus diikat dengan undang-undang. Maka adanya undang-undang no.24 tahun 2009 itu untuk mengikat warga nergara dalam menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian adanya peraturan pressiden (perpres) nomor 63 tahun 2019 tentang penggunaan bahasa Indonesia. Undang-undang dan perpres tersebut harus diikuti pedoman operasional supaya penggunaan bahasa Indonesia tidak terjadi pelanggaran. Pedoman operasional menjadi rambu-rambu dalam penggunaan bahasa Indonesia. Sama seperti rambu-rambu jalan raya, ketika seseorang melakukan pelanggaran, maka pihak polisi memberikan sanksi. Dengan pedoman operasional, disitu ada tekanan dan sanksi. Dengan pengawasan dan sanksi agar orang tidak selalu melanggar penggunaan bahasa.

Akhmad Sofyan melihat, yang hadir  disini ada dari pemda, dinas perhubungan, dari kepolisian, dinas perdagangan, dari FKIP, dan dari FIB.  Yang hadir disini saya lihat perwakilan dari staf. Kedepan penyuluhan dan pelatihan ini bukan hanya diberikan pada staf, tetapi perlu juga disampaikan pada pimpinan. Terkadang kesalahan penulisan bahasa itu terjadi pada hal-hal yang mendasar. Kecermatan itu kadang ironisnya yang lebih cermat adalah staf. Sedangkan pimpinan biasanya kurang cermat dalam penulisan dan tata bahasa. Pimpinan kebiasaannya hanya memberikan paraf dan tanda tangan. Akhmad Sofyan berharap dan berdoa semoga penyuluhan dan pelatihan seperti ini akan membawa  pencermatan dan membantu percepatan dalam birokrasi.

Kepala balai bahasa Jawa Timur yang diwakili Drs. Amir Mahmud, M.Pd menyampaikan bahwa balai bahawa Jawa Timur pada hari ini menjalankan tugas kebahasaan di Jawa Timur dalam penggunaan bahasa baik kepada publik maupun persuratan. Saya kenal Pak Sofyan tahun ’90 sebagai peneliti muda dan beliau sebagai dosen muda, sekarang sudah jadi profesor.

Dalam kedinasan TNI, POLRI balai  bahasa Jawa Timur sudah sering berkolaborasi dalam. Bahasa sebagai alat komunikasi dengan kesantunan. Bahasa sebagai pemersatu bangsa. Sayangnya kadangkala bahasa pemersatu itu justru menjadi tamu dinegara sendiri.

Bahasa kenegaraan sayang belum ada sanksi sebagaimana lambang  kenegaraan lain. Seperti bendera  yang sudah sobek atau rusak, sanksi 5 tahun penjara. Lambang  garuda kalau rusak sedikit, sanksi 5 tahun.

Kita mendidik bangsa Indonesia untuk memahami 3 bahasa, 60% bahasa Indonesia, 40% bahasa daerah, dan 40% bahasa asing. Maka ketika orang asing masuk ke Indonesia harus memiliki sertifikat berbahasa Indonesia. Kalau belum ada sertifikat supaya datang ke balai bahasa Jawa Timur. Kalau mau datang ke Jember, minimal mereka sudah bisa berabahasa setempat, dan baru diperbolehkan ke Jember. Mari kita lebih mentrampilkan dan mengokohkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik, tegas Amir.

Mariati, guru Bahasa Indonesia SMP di Jember melihat adanya pergeseran perilaku berbahasa siswa baik di kelas maupun diluar kelas. Bahasa Inggris, kata Mariati sudah menjadi gaya berbahasa siswa. Mariati bertanya bagaimana solusi menyadarkan siswa  agar lebih mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan  benar.

Menjawab pertanyaan guru SMP itu,  Pemateri media luar ruang, Didik Suhariyadi menekankan pentingnya penyampaian bahasa Indonesia dengan menggugah kecintaan siswa pada bahasa Indonesia.

Kalau kami di perguruan tinggi, cara menggugah mahasiswa lebih cinta bahasa Indonesia melalui media perjuangan. Media perjuangan dan media-media yang dapat menggugah mahasiswa lebih tertarik dengan bahasa, budaya dan apapun tentang ke  Indonesiaan, kata Didik.

Didik dalam paparannya tentang media luar ruang banyak melihat pelanggaran kaidah bahasa yang baku. Didik menghimbau kepada pengguna media luar ruang, seyogyanya menggunakan bahasa baku.

Secara hirarki, sebuah media luar ruang ingin tayangan atau informasinya dapat sanpai pada konsumen.

Leave a Reply