Menyoal Kasus Tragedi ‘65, Sastrawan Kita Tiarap

Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Jember (18/9) mengadakan acara Webinar NGONTRAS#2 (Ngobrol Nasional Metasastra) bertema ‘Politik dalam Sastra’. Webinar HISKI Jember bekerja sama dengan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember (FKIP UNEJ) dan Kelompok Riset Sastra dan Tradisi Lisan (KeRis TraLis).

Historiografi tragedi 1965 adalah historiografi yang sangat buruk dan pincang. Apalagi tragedi tersebut selalu dipolitiskan, yang membuat kehidupan kita sebagai bangsa menjadi tidak sehat.

Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, menjelaskan bahwa karya sastra kita, yakni sastra Indonesia, tidak banyak yang berbicara tentang politik. Seakan sastrawan takut dengan tekanan politik dan kekuasaan, sehingga karya-karya yang dihasilkan hanyalah karya yang kerdil dan tandus.

“Kasus tragedi 1965 adalah fase historis yang paling mengerikan dalam sejarah Indonesia. Hal ini bukan hanya menjadi keprihatinan kita bersama, tetapi juga masyarakat internasional. Namun sastrawan kita semuanya tiarap,” kata Yapi, dalam acara webinar NGONTRAS#2 (Ngobrol Nasional Metasastra) bertema ‘Politik dalam Sastra’ yang digelar oleh Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Jember, Komisariat Jember, bekerja sama dengan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember (FKIP UNEJ) dan Kelompok Riset Sastra dan Tradisi Lisan (KeRis TraLis), Sabtu (18/9/2021).

Lebih lanjut Yapi memaparkan bahwa dalam karya-karyanya, sastrawan Indonesia pada umumnya belum berbicara tentang politik. Sastrawan kita ternyata belum leluasa menyampaikan visi kemanusiaan. Hanya Ahmad Tohari yang tergerak untuk memihak para korban tragedi 1965. “Setelah tumbangnya Orde Baru, muncul sastra perlawanan yang dimotori oleh Akhmad Tohari melalui novel Ronggeng Dukuh Paruk. Ahmad Tohari adalah sastrawan yang terbakar jiwanya melihat pembantaian dan penderitaan akibat perbedaan ideologi tahun 1965,” tegas Yapi.

“Luka-luka di masa lalu harus kita bahas secara jujur, kita nilai secara terbuka, dan kita tentukan sikap kita, sehingga kita bisa maju menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Bukan menjadi bangsa yang kerdil dan selalu ketakutan,” kata Yapi.

Di sisi lain, Yapi menjelaskan bahwa jalan menuju kebenaran dapat melalui empat pilar, yakni agama, filsafat, sains, dan sastra. Dengan demikian sastra merupakan jalan keempat untuk menuju kebenaran. Sastra sebagai jalan keempat menuju kebenaran haruslah diciptakan dengan kejujuran dan memihak kepada kaum yang terabaikan. “Karena menjadi jalan menuju kebenaran, maka sastra dan kritik sastra harus berpihak kepada kaum marginal dan tersubordinasi. Tujuan sastra adalah emansipasi untuk mencapai kesetaraan, baik kesetaraan gender, kesetaraan berpendapat, maupun kesetaraan politik,” kata Yapi.

Pembicara kedua, Dr. Akhmad Taufiq, M.Pd., dosen FKIP UNEJ, ketika menjelaskan tentang munculnya fenomena puisi esai Deny JA, menyatakan bahwa fenomena puisi esai Deny JA merupakan strategi tekstual yang canggih dan sah-sah saja. “Kita tidak perlu menolak munculnya puisi esai dari Deny JA. Apakah itu merupakan implementasi dari politik dalam sastra, atau sebaliknya sebagai bagian dari sastra politik, itu nggak perlu dipersoalkan. Kita bisa mencermati dengan seksama, apakah puisi esai sebagai strategi tekstual itu semakin memperkaya khazanah perpuisian kita, atau justru mengerdilkan atau membonsai perpuisian kita? Menurut saya fenomena puisi esai sangat menggairahkan perbincangan dalam forum-forum sastra. Sangat menggairahkan karena ada suntikan energi yang luar biasa,” tegas Taufiq.

Ketika menyinggung puisi Wiji Thukul, Taufiq menyatakan bahwa puisi-puisi perlawanan merupakan bentuk kanalisasi. “Dari perspektif kekuasaan berbasis negara, puisi-puisi perlawanan Wiji Thukul merupakan ancaman yang harus dibungkam. Sebaliknya, dari sisi penyair sendiri, yakni Wiji Thukul, puisi-puisinya merupakan sarana perjuangan untuk mencapai kesetaraan, dengan orientasi ke depan sebagai upaya membangun peradaban yang lebih baik,” kata Taufiq.

Dihubungi secara terpisah sebelum acara NGONTRAS#2 dimulai, Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum., ketua HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ) menyatakan bahwa NGONTRAS#2 memilih tema ‘Politik dalam Sastra’ karena bulan September merupakan bulan politik. “Kehidupan kita, termasuk kehidupan sastra, tidak bisa lepas dari implikasinya dengan ranah politik. Ini menarik untuk didiskusikan sekaligus menjadi pembelajaran yang mencerahkan bagi kita semua,” kata Heru.

Related Posts